Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Klarifikasi Part 2
Rekaman demi rekaman telah mengguncang ruangan itu. Namun Bayu belum selesai.
Ia memutar rekaman terakhir—rekaman video call beberapa jam lalu. Suaranya lirih saat memperkenalkan klip itu:
"Dan ini... adalah kebenaran yang selama dua puluh satu tahun tak pernah bisa saya terima, namun tetap saya hormati. Karena pengorbanan seorang perempuan... yang mencintai saya dengan cara yang paling menyakitkan."
Rekaman terakhir diputar.
Layar besar menampilkan wajah Ayla—tenang, seperti biasanya, namun sorot matanya menyiratkan kecemasan yang tak sempat ia sembunyikan dari tatapan Bayu. Wajahnya sedikit pucat, dan bayangan kelelahan melekat di bawah kelopak matanya.
“Bayu?” sapanya pelan.
Di layar, Bayu tampak menatapnya dengan mata tajam, penuh luka. Ia tak langsung menjawab. Napasnya tertahan, seolah mencoba menahan ribuan pertanyaan yang berdesakan di tenggorokannya.
“Jawab aku dengan jujur, Ayla.” Suaranya rendah, nyaris bergetar, namun mengandung tekanan yang dalam. “Dulu… kau menikah dengan Edward bukan hanya karena ancaman dan paksaan dari dia dan keluargamu, 'kan?”
Ayla tak menjawab. Diamnya adalah jawaban yang menyesakkan.
“Bukan hanya itu,” ulang Bayu. Nadanya meninggi, meski ia jelas menahan amarah dan kesedihan yang mendidih di dadanya. “Tapi juga karena rekam medis palsu itu. Karena kau percaya kau nggak bisa jadi istri yang sempurna… nggak bisa jadi ibu. Karena kau pikir aku butuh perempuan yang utuh.”
Bayu memalingkan wajahnya sebentar, mencoba menelan emosi yang menggenang.
“Kau menikah dengan Edward… dan kau pura-pura mencintainya, hanya supaya aku bisa menikah dengan wanita lain yang bisa memberiku keturunan. Kau... bahkan menunggu sampai aku hampir menikah sebelum mengajukan gugatan cerai ke Edward, 'kan?”
Ayla menutup mata sejenak. Air mata menggenang di pelupuk, tapi ia tetap berusaha kuat. Perlahan, ia mengangguk.
“Maaf,” bisiknya. “Aku... hanya ingin kau bahagia. Aku tahu betapa besar keinginanmu punya keluarga. Anak-anak. Dan saat itu... aku pikir aku bukan orang yang bisa memberimu semua itu.”
Bayu terdiam, menunduk. Satu tangannya menutupi mata, mencoba menyembunyikan rasa perih yang tak lagi bisa ia bendung.
“Tapi kenapa kau nggak pernah bicara padaku, Ay?”
Suara Ayla pecah, namun tetap lirih dan tulus. “Aku takut, Bay. Aku takut kau tetap memilihku... padahal aku mungkin tidak bisa memberimu apapun. Aku takut jadi beban... dan akhirnya kau membenciku karena aku mengecewakanmu. Jadi aku pikir... lebih baik aku jadi luka daripada jadi penyesalan.”
Ia terisak, meski berusaha menahan.
"Maaf, Bay... Aku cuma ingin kamu bahagia. Meski bukan denganku."
Video berhenti.
Keheningan menyelimuti ruangan. Tak satu pun suara terdengar dari para wartawan, eksekutif, maupun para undangan yang hadir. Sorot kamera mengarah pada Bayu, yang berdiri membatu di hadapan layar. Matanya sembab, rahangnya mengeras menahan segala emosi yang bergolak di dalam dirinya.
Saat itu, semua orang tahu:
Kebenaran akhirnya bicara.
Dan cinta yang selama ini terkubur dalam luka, akhirnya muncul ke permukaan, tak bisa lagi dibungkam.
DI TEMPAT LAIN, PADA SAAT YANG SAMA
Di sebuah kamar kecil yang sederhana, jauh dari keramaian ibu kota, layar tablet menyala. Gambar Bayu terpampang jelas di layar, berdiri di hadapan puluhan wartawan dan kamera yang menyorotnya dari segala arah. Ayla duduk dengan tubuh gemetar, kedua tangannya menggenggam cangkir teh yang tak lagi mengepul.
Matanya menatap layar tanpa berkedip. Napasnya tersengal saat mendengar suaranya sendiri diputar—pengakuan yang seharusnya hanya menjadi luka pribadi mereka, kini disaksikan dunia.
"Maaf, Bayu... Aku cuma ingin kamu bahagia. Meski bukan denganku."
Suara itu... tangis itu... kini menjadi saksi atas luka yang selama ini ia simpan sendiri. Dunia tahu. Bayu telah membuka semuanya.
Ayla menutup mulutnya, berusaha menahan isak yang mulai pecah. Namun gagal. Tetes demi tetes air mata mengalir melewati pipinya. Perih. Malu. Haru. Semuanya berbaur jadi satu.
"Kenapa, Bay...?" bisiknya pada kaca jendela, suaranya nyaris tak terdengar. "Kenapa kau harus membakar nama papamu demi aku? Aku tak ingin menjadi penyebab retaknya hubungan kalian."
Ponselnya bergetar di meja. Puluhan notifikasi berita mulai masuk. Pesan dari nomor-nomor tak dikenal. Semuanya memuat nama Bayu dan Ayla. Semua memuat kisah yang dulu hanya ia tangisi dalam diam.
Di Ruang Konferensi, London
Bayu berdiri tegap, namun matanya berkaca-kaca.
"Saya menikahi Ellen karena diancam. Jika saya tidak menurut, Ayla—perempuan yang saya cintai—akan dihancurkan oleh ayah saya sendiri. Saya memilih menyerah, menikahi perempuan yang tidak saya cintai demi menyelamatkan hidup Ayla. Tapi hari ini saya sadar... kebohongan hanya menumbuhkan luka."
Sorot kamera menangkap air mata di pelupuk Bayu yang akhirnya jatuh.
"Saya bukan korban. Saya hanya seorang pria... yang terlalu lama diam."
Bayu melangkah maju. Tatapannya menyapu ruangan yang kini hening—sunyi seperti pusara.
Ia menatap layar yang kini padam, seolah menatap pantulan masa lalu yang tak bisa diulang. Lalu ia menghadap ke hadapan semua orang—kamera, wartawan, pengacara, bahkan para direktur dari grup Shailendra.
Suaranya pelan saat ia mulai bicara. Tapi setiap katanya menancap tajam, penuh beban yang selama ini ia pikul dalam diam.
"Saya tahu... ini semua terdengar gila. Terlalu rumit untuk dipercaya. Tapi karena kalian semua sudah menyaksikan rekaman tadi, saya akan katakan semuanya sekarang. Tanpa dusta. Tanpa manipulasi."
Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan.
"Malam itu, malam yang disebut-sebut jadi awal dari segalanya... adalah malam pertama saya bertemu Ayla lagi setelah lebih dari dua dekade kami berpisah. Dua dekade lebih... tanpa komunikasi, tanpa pertemuan, tanpa jejak."
Ia menelan ludah, menahan emosi yang bergetar di suaranya.
"Saya... tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Saya sedang berada dalam kondisi tidak sadar sepenuhnya. Saya mengkonsumsi segelas minuman yang disediakan di sebuah acara pertemuan bisnis... yang membuat pikiran saya kacau. Malam itu seharusnya tidak terjadi. Tapi saya tidak bisa membantah kenyataan yang terjadi setelahnya."
Matanya mulai memerah. Tapi ia tetap berdiri tegak.
"Ayla tidak merayu saya. Dia tidak pernah mencoba mendekati saya. Dia bahkan menghindari saya selama lebih dari dua puluh tahun karena dia pikir saya lebih pantas bahagia bersama orang lain. Dia selalu menjaga jarak. Dia selalu memilih untuk menjadi luka dalam diam."
Ia berhenti sejenak, mengeraskan rahangnya sebelum menatap ke arah kamera.
"Saya bersumpah demi anak yang dikandung Ayla—anak saya—bahwa malam itu bukan rencana. Bukan jebakan. Bukan permainan."
Ia menunduk sesaat. Tangannya mengepal.
“Kesalahan itu… tidak pernah direncanakan. Tidak oleh Ayla. Dan bahkan… tidak oleh saya.”
Ia memberi isyarat pada tim teknis.
Layar kembali menyala, kali ini menampilkan rekaman CCTV dari ballroom tempat pertemuan bisnis itu berlangsung dua bulan lalu.
“Ini… adalah hari di mana semuanya bermula.”
Tayangan di layar menampilkan ruangan elegan. Para pebisnis sibuk berbincang, saling menyapa dan menukar kartu nama.
Bayu berdiri di sebelah Ellen, mengenakan setelan rapi. Mereka nampak berbincang singkat.
Lalu seorang pelayan lewat, membawa nampan berisi gelas-gelas tinggi.
Salah satunya—entah kenapa—terlihat sedikit berbeda. Lebih keruh, atau mungkin pencahayaannya saja yang menipu.
Tanpa banyak pikir, Bayu mengambil gelas itu dan meneguknya setengah.
Beberapa menit berlalu.
Rekaman memperlihatkan Bayu berjalan sendirian. Langkahnya goyah. Tangannya sempat menyentuh dinding. Matanya berkedip lambat.
Ia menuju lift, lalu menyusuri lorong kamar hotel. Gerakannya makin tak terarah.
Hingga akhirnya… Bayu berhenti di depan sebuah pintu kamar.
Tangannya memutar gagang pintu.
Masuk.
Rekaman berhenti.
Ruangan hening. Semua mata tertuju padanya.
Bayu menarik napas. Lalu, dengan suara tenang namun berat, ia berkata:
“Pandangan saya mulai kabur.”
“Lift terasa jauh. Lorong-lorong tampak sama semua. Saya tidak bisa lagi membaca angka pintu dengan jelas.”
“Nomor kamar saya… saya lupa. 912? Atau… 921?”
Bayu menunduk sejenak, menguatkan diri sebelum melanjutkan.
“Saya membuka pintu… tanpa tahu itu kamar siapa. Atau siapa yang… mungkin sudah menunggu di dalamnya.”
“Pelayan itu… mengaku dalam penyelidikan internal bahwa ia diminta menyajikan minuman itu kepada orang lain. Minuman yang sudah dicampur obat, bagian dari jebakan busuk yang entah siapa dalangnya saat itu. Tapi saya… tanpa tahu apa-apa, mengambil dan meminumnya.”
Bayu menunduk sejenak.
“Itu kesalahan. Kesalahan yang lahir dari sebuah kelalaian. Tapi kesalahan itu tidak pernah—tidak akan pernah—menjadi alasan untuk mencoreng nama Ayla. Jika ada yang pantas disalahkan, itu saya. Bukan dia.”
Hening. Lalu terdengar kilatan kamera.
Bayu kembali menatap hadirin dengan sorot tajam.
“Dan untuk kalian yang berani menyebut anakku sebagai anak haram... atau menyudutkan Ayla sebagai wanita penggoda—kalian sedang menyerang perempuan yang telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk menjaga kehormatanku.”
Tangan Bayu gemetar saat ia menahan gejolak di dadanya. Tapi ia tetap tegak.
“Mulai hari ini, hentikan semua fitnah. Hentikan semua penghinaan. Karena jika kalian tetap menyerang Ayla... maka kalian harus berhadapan langsung denganku.”
...🍁💦🍁...
.
To be continued
berhadap Ayla Dan debaynga Selamat Ellen yg hancur kalau g di penjara seunir hidup bisa meninggal Karna tertembak
lanjut kak....