Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Hari terakhir perburuan
Perjalanan turun dari puncak bukit dimulai saat mentari mulai condong ke barat, melemparkan cahaya lembut ke pucuk-pucuk pepohonan. Tim Orion bergerak perlahan menuruni sisi bukit yang berbeda dari jalur mereka naik kemarin. Jalur ini lebih menantang penuh bebatuan licin, akar pohon menjulur seperti tangan-tangan tua, dan kabut tipis yang mulai turun menyelimuti pandangan mereka.
Suasana cukup tenang. Tawa kecil sesekali terdengar dari Danzzle yang mencoba mencairkan suasana. Lyra berjalan di dekatnya, tampak tenang meski sorot matanya tidak sehangat biasanya. Kate sendiri lebih memilih berjalan di belakang bersama Damian, yang sejak pagi belum banyak berbicara, hanya mengamati sekeliling dengan tatapan tajam.
Tiba-tiba dari balik semak-semak rapat, terdengar suara gemerisik cepat lalu muncul seekor rusa berwarna perak keemasan yang tubuhnya tinggi ramping dengan tanduk bercabang unik seperti mahkota. Kulitnya memantulkan cahaya dengan lembut, dan matanya mengilap seperti kristal giok. Makhluk itu tak tampak takut. Rusa itu menatap rombongan sebentar, lalu berbalik dan melesat menuruni jalur berbatu dengan kecepatan luar biasa.
“Rusa eksotik!” seru Jasper.
“Cepat! Tangkap dia!” Lyra langsung mengambil busurnya dan berlari, disusul beberapa yang lain.
Namun rusa itu lincah, hewan itu bergerak seolah tahu setiap celah dan batu di lereng bukit itu. Orion memerintahkan tim untuk menyebar, tetapi hasilnya nihil. Hewan itu terlalu cepat dan cerdas, setiap serangan panah tak pernah benar-benar mengancamnya. Saat rusa itu mulai menuruni tebing sempit, hanya Kate dan Damian yang masih mengejarnya.
“Jangan pakai serangan frontal,” kata Damian sambil mengeluarkan busur berukir dari balik jubahnya. “Kita harus buat dia bingung, bukan takut.”
Kate mengangguk dan memutuskan untuk naik ke atas batu besar di sisi kanan, lalu meloncat ke batu lainnya dengan ringan, mengikuti arah rusa dari ketinggian. Damian sendiri bergerak dari sisi lain, seperti dua pemburu yang mengapit mangsa dengan gerakan simetris.
Angin berhembus kencang di tebing itu, tetapi tubuh Kate bergerak mantap. Ada perasaan aneh di dalam dirinya, seperti tubuhnya tahu apa yang harus dilakukan. Setiap lompatan, setiap pijakan di batu, terasa seperti gerakan yang pernah ia lakukan entah kapan dan di mana.
Ia melirik Damian yang juga melayang ringan di antara bebatuan, gerakannya nyaris senada dengan dirinya. Dalam satu momen, mata mereka bertemu. Hanya sedetik, tapi cukup untuk membuat dada Kate berdebar tak jelas. Deja vu. Rasanya seperti mereka pernah melakukan ini bersama dan berulang kali.
“Sekarang!” teriak Damian, lalu melepaskan satu tembakan akurat dari sisi kanan. Panah melesat cepat, dan mengenai rusa tepat di bahu.
Rusa itu terjatuh, meringkuk perlahan, tapi tidak mati. Damian segera melompat turun dan menenangkannya dengan sihir tidur ringan, membuat tubuh makhluk itu tertidur damai.
Kate turun menyusul. Nafasnya terengah, tapi wajahnya bersinar puas. “Kau tidak membunuhnya?”
“Makhluk eksotik ini tidak layak mati sia-sia,” ujar Damian sambil mengelus leher rusa itu. “Tapi kita tetap butuh bukti buruan.”
Ia mengambil bulu dari ekor rusa sebagai simbol keberhasilan. Mereka kembali ke rombongan dengan rusa yang kini digendong ringan oleh salah satu anak buah Damian. Saat mereka muncul dari balik bebatuan, tawa dan kekaguman langsung terdengar dari para anggota tim. Namun tidak dari Orion. Pria itu berdiri kaku di tempatnya, rahangnya mengeras, dan matanya tak lepas dari Kate yang masih berdiri agak dekat dengan Damian.
“Bagus sekali, kalian dapat buruannya,” kata Orion akhirnya, nada suaranya datar dan hambar.
Damian hanya meliriknya sekilas dan membalas dengan anggukan malas, lalu berbalik memperhatikan Kate dengan senyum tipis. Kate tak menyadari ketegangan itu, ia masih tenggelam dalam pikirannya sendiri tentang rusa, lompatan-lompatan di tebing, dan rasa asing yang kini perlahan mulai terasa sangat akrab.
Sedangkan di kejauhan, mata Lyra yang setengah tersembunyi di balik tudung mantelnya, mengamati semuanya. Diam-diam senyuman samar tersungging di bibirnya, senyuman yang tidak bisa dibaca.
***
Malam kedua dalam perjalanan turun dari bukit membawa tim Orion dan Damian ke sebuah lembah sempit yang dikelilingi tebing tinggi. Rerumputan lebat dan semak duri tumbuh liar di sekeliling area perkemahan yang mereka pilih. Angin tidak banyak bergerak di dasar lembah ini, udara terasa lebih lembap, dingin, dan berat.
Mereka telah mendirikan tenda, menyalakan api unggun, dan makan seadanya dari hasil buruan serta bekal kering yang tersisa. Tak seperti malam sebelumnya yang hangat dan penuh canda ringan, malam ini terasa berbeda. Sunyi. Terlalu sunyi bahkan suara jangkrik pun nyaris tak terdengar.
Kate yang biasanya menikmati berjaga di dekat api, malam itu memilih beristirahat. Damian pun tak banyak bicara. Ia hanya duduk memandangi langit, seperti membaca sesuatu yang tak kasatmata dari bintang-bintang di atas. Orion memasang sihir penghalang sederhana di sekitar tenda, dan giliran jaga pertama dipercayakan pada Jasper.
Jasper duduk bersila dekat api unggun sambil menggoyang ranting kering. Matanya mengawasi sekitar dengan tenang, meski sesekali memandangi lembah yang gelap gulita seperti mulut raksasa yang siap menelan mereka.
Hingga suara geraman berat dan dalam terdengar dari balik celah batuan besar tak jauh dari tenda mereka. Bulu kuduk Jasper berdiri. Ia segera berdiri, menyiapkan senjatanya, dan tanpa ragu membunyikan sinyal sihir alarm.
“BANGUN! SEMUA BANGUN!”
Semua anggota tim segera keluar dari tenda, senjata di tangan. Api unggun semakin membesar karena Kate menyulut energi cahaya ke dalamnya untuk memperjelas pandangan. Dan di sanalah dari kegelapan di ujung cahaya api, muncul sesosok beruang coklat raksasa dengan mata merah menyala, bulunya berdiri, tubuhnya penuh luka seperti makhluk itu telah lama bertahan di alam liar penuh kekerasan.
Beruang itu menggeram dan mengamuk. Dengan satu ayunan cakarnya, ia menghancurkan batu besar di dekatnya. Damian dan Orion langsung maju bersamaan, menyerang dari dua sisi berbeda. Namun kekuatan makhluk itu tidak bisa diremehkan. Serangan-serangan mereka hanya mampu memperlambat laju beruang itu. Jasper dan Lyra menyusul memberi dukungan dari belakang, tetapi tekanan tetap besar.
Kate yang melindungi Danzzle di sisi belakang, menoleh ke pria itu. “Kau harus mencoba kekuatanmu sekarang, Danzzle!”
“Aku belum pernah mencobanya pada makhluk hidup sebesar itu…”
“Kau bisa!” Kate menggenggam tangan Danzzle, menyalurkan kekuatan mentalnya ke pria itu. “Fokus. Rasakan air di tubuhnya. Kendalikan dari dalam.”
Dengan gemetar, Danzzle mengangkat tangannya ke arah beruang. Matanya memicing, mulutnya bergumam pelan. Energi alam di sekitarnya mulai bergetar. Ia mencoba menyentuh air yang mengalir dalam tubuh beruang itu. Darah, cairan otot, saraf, tapi makhluk itu terlalu besar dan terlalu liar.
Gagal.
Kate kembali menyuntikkan dorongan mental kedua. “Lupakan rasa takutmu. Rasakan dia bukan sebagai monster, tapi sebagai makhluk yang terdiri dari unsur air dan udara.”
Danzzle menahan nafas, mencoba sekali lagi. Saat beruang itu bersiap meloncat ke arah mereka, mendekat dengan raungan menggema. Tiba-tiba tubuhnya menegang. Beruang itu berhenti, matanya membelalak dan mulutnya berbuih.
Danzzle menggertakkan giginya dan menekankan telapak tangannya ke tanah. “Sekarang!”
Dalam satu hentakan tak terlihat beruang itu roboh, seluruh tubuhnya jatuh seperti kantung kosong. Hening.
Semua terdiam.
Orion, yang semula bersiap menyerang dari samping menghentikan langkahnya, menatap tubuh raksasa itu lalu menatap Danzzle yang berdiri gemetar dengan peluh menetes di pelipisnya.
“Dia yang melakukannya?” gumam Jasper pelan.
Orion mendekat, memeriksa tubuh beruang. Tidak ada luka luar yang mematikan. Hanya darah yang perlahan keluar dari pori-pori, sebuah kematian dari dalam. Ia berdiri kembali, pandangannya tertuju pada Danzzle. Tidak ada rasa marah ataupun terkejut, tapi lebih ke rasa penasaran.
“Bagaimana kau bisa membunuhnya tanpa menyentuh?” tanya Orion.
Danzzle hanya menunduk, masih diliputi ketakutan dan kelelahan.
Kate mendekat, merangkul Danzzle. “Dia hanya memanfaatkan apa yang sudah ada di dalam tubuh makhluk itu. Air dan sedikit bantuan mental dari…”
“Menggabungkan dua sihir berbeda, bukan hal mudah,” gumam Damian yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekat mereka.
Tidak ada yang bicara untuk waktu cukup lama. Hanya suara hembusan angin yang kini kembali terdengar di lembah itu.
Namun satu hal pasti malam itu berubah segalanya untuk Danzzle. Ia bukan lagi si pria lemah di tim, ia kini adalah pemilik potensi yang bisa menaklukkan monster dari dalam.
***
Cahaya matahari pagi menyelinap lembut di sela pepohonan saat rombongan Orion dan timnya menuruni bukit terakhir. Mereka tampak lebih tenang dibanding sebelumnya, meski lelah masih terasa di wajah-wajah mereka. Dua ekor hewan buruan berupa seekor rusa eksotik dan beruang coklat besar ikut dibawa turun, diangkut dengan bantuan kereta sihir Damian yang sejak awal menunggu di kaki bukit.
Begitu mereka mencapai pelataran mansion, para pelayan dan penjaga Damian segera menyambut, membantu menurunkan perlengkapan, dan membawa dua hewan buruan itu ke tempat masing-masing. Damian sendiri turun dari kudanya dan langsung mengarahkan pelayan untuk membawa rusa eksotik ke bagian belakang, ke kandang khusus yang dilindungi dengan sihir penyembuh.
“Aku ingin dia dirawat. Jangan sembarangan memberinya makan. Pastikan sihir penenang bekerja dengan stabil,” perintah Damian tenang.
Sementara itu, beruang besar yang tubuhnya sudah mulai membeku, diserahkan pada tukang pengulitan dan pengolah artefak. Damian hanya menginginkan bulunya, yang akan dijadikan jubah khusus sebagai simbol keberhasilan acara perburuan ini.
Satu per satu, tim Ksatria Cahaya mulai kembali berdatangan. Ada yang membawa buruan kecil seperti rubah hutan atau burung berwarna langka. Wajah-wajah mereka tampak puas dan riang meski tubuh mereka penuh debu, noda tanah, dan peluh. Tidak ada yang terluka parah. Bahkan Lyra, yang sempat menghilang sehari penuh, tampak kembali dengan seekor kucing liar hutan kecil yang terperangkap dalam kantong sihirnya.
Kate berdiri di teras mansion, memperhatikan semuanya sambil membenarkan syal putih di lehernya. Entah mengapa, melihat para Ksatria Cahaya yang dulu menatapnya sinis kini tertawa lepas di halaman Damian, memberi sensasi aneh di hatinya seolah dinding antara dirinya dan dunia mereka mulai mencair.
***
Malam pun tiba, dan seperti yang dijanjikan sejak awal, Damian menyelenggarakan sebuah pesta makan malam megah di aula utama mansion. Meja panjang dari kayu mapple dibentangkan penuh makanan dan minuman dari seluruh negeri. Cahaya dari lentera kristal menyinari ruangan, menari-nari di atas permukaan gelas kaca dan piring perak.
Semua duduk dalam pakaian santai namun rapi. Damian duduk di kursi utama, dikelilingi para tamu kehormatan. Kate duduk tak jauh darinya, meski awalnya enggan, tetapi Damian tak memberi pilihan. Ia hanya tersenyum lembut sambil menarik kursi di sebelahnya, menepuk sandarannya dengan isyarat menggoda.
“Untuk malam terakhir,” kata Damian pelan saat Kate duduk dengan canggung.
Suasana pesta hangat dan penuh tawa. Orion sesekali menatap Damian dan Kate, tapi memilih sibuk mengobrol dengan Jasper dan Lyra, meski matanya tak benar-benar tenang. Danzzle duduk di dekat Kate, wajahnya berbinar senang karena semua orang memuji keberaniannya malam sebelumnya. Bahkan beberapa Ksatria Cahaya perempuan yang biasanya mengabaikannya, kini mendekat dan menanyakan tentang kekuatan alamnya. Namun pesta bukan akhir dari segalanya.
Setelah para tamu kembali ke kamar masing-masing dan pelayan sibuk membereskan sisa pesta, Damian menyusul Kate ke kamar pribadi di lantai atas, sebuah ruang mewah yang menghadap taman belakang mansion.
Kate sedang berdiri di dekat cermin, melepaskan jubah luarnya saat pintu dibuka pelan. Ia tahu siapa yang datang.
“Kau seharusnya tidak masuk begitu saja ke kamar orang,” gumam Kate pelan, tetapi tidak berbalik.
Damian menutup pintu di belakangnya dan berjalan mendekat. “Kau bukan orang lain, Kate. Kau istriku. Di tempat ini, kamar ini sudah menjadi milikmu sejak lama.”
Kate mendesah pelan. “Damian, jangan buat semua ini lebih rumit…”
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Damian sudah berdiri di belakangnya. Bayangan mereka terpantul di cermin besar, ia yang tinggi, penuh kekuatan gelap dan misterius, dan Kate yang pucat dan rapuh, tetapi dengan cahaya lembut dalam dirinya yang terus menyala.
“Kau tahu, malam ini bisa menjadi akhir atau awal dari sesuatu. Aku tidak akan memaksamu, tapi aku ingin kau tahu,” ucap Damian, tangannya menyentuh bahu Kate lembut, “aku tidak pernah melihatmu sebagai alat atau musuh, atau sekadar pengikat takdir. Kau adalah satu-satunya alasan aku masih bertarung.”
Kate menunduk, perasaannya berkecamuk. Antara rasa marah yang belum sepenuhnya padam, dan getaran aneh yang terus tumbuh sejak hari-hari terakhir ini. Sejak malam di bukit dan di bawah sayap yang melindunginya dari dingin.
“Aku tidak tahu harus merasa seperti apa lagi, Damian,” ucap Kate nyaris berbisik. “Terlalu banyak luka dan terlalu banyak yang kau hancurkan.”
“Aku tahu,” Damian mengangkat wajahnya pelan. “Tapi aku ingin membangun sesuatu baru bersamamu, mulai malam ini.”
Dengan hati-hati, Damian mengulurkan tangan dan Kate yang semula ingin menolak, memilih diam tidak bergerak. Ia hanya menatap Damian, dalam keheningan yang dipenuhi pertanyaan dan ketakutan.
Malam pun berjalan perlahan, dalam kehangatan yang ambigu, dalam ruang antara cinta dan luka. Sebelum semuanya kembali berubah.