Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemukan Pintu Batu Terukir Naga sebagai Gerbang Awal
Kabut tipis di lembah akhirnya sepenuhnya terurai saat rombongan tiba di kaki punggung Puncak Perak. Di hadapan mereka terbentang dataran rendah yang dipagari dua tebing batu yang di tengahnya, satu terang cahaya senja menyorot relief naga raksasa terukir pada pintu batu. Batu itu setinggi dua puluh hasta, permukaannya lembap oleh lumut hijau tua, dan pahatan naga yang melilit pilar seakan hidup di bawah sinar matahari yang mulai merunduk.
Liang Feng menatap terpesona, kagum pada kesempurnaan ukiran yang tak tergerus oleh waktu. Ia melangkah maju, pedang naga terhunus di punggungnya, Tianlong Mark di dadanya berdenyut dengan tenang, sebuah denyut kecil yang menjadi penuntun keberanian. Di sisinya, Bai Xue mendarat perlahan, bulu peraknya berpendar lembut seakan memantulkan cahaya naga batu.
Liang Feng berbisik. “Inilah… gerbang awal yang diceritakan Nenek Li.”
Bai Xue mencondong, moncongnya menyentuh pahatan batu. “Dua puluh abad… naga ini menyatu dengan pikuk gunung. Kita sekarang berdiri di hadapannya.”
Di belakang mereka, relawan dan para pertapa senior berdiri menunggu. Dua pertapa menyalakan lentera kristal, menciptakan badai titik cahaya hijau dan perak di kaki batu.
Liang Feng mengamati relief naga yang memiliki sisik yang halus dengan mata yang menunduk, serta cakar yang mencengkeram permukaan batu seolah siap melompat. Di bawah gambar naga, ukiran aksara kuno membujur, hampir tak terlihat tertutup lumut.
Lin Hua maju, mengeluarkan kertas catatan dan pena bambu. “Aksara ini sejenis bahasa purba dengan tulisan ‘Naga terbang, pintu terbuka’,” bacanya perlahan. “Sepertinya petunjuk untuk membuka gerbang.”
Liang Feng mengangguk. “Ada tiga lambang di samping aksara.” Ia menunjukkan tiga lingkaran batu kecil di bawah pahatan dengan lingkaran satu di kepala naga, satu di dada, satu lagi di ekor.
Pertapa Wu berbicara dengan suara serak. “Itu… tombol mekanisme kuno. Tekan dengan pola yang tepat, maka gerbang akan terbuka.”
Bai Xue mengepak lembut, menyalurkan aura peraknya untuk menenangkan energi batu. “Gunakan getaranku juga, supaya batu meresap kekedua aura kita.”
Liang Feng menarik napas dalam-dalam, menutup mata sesaat, lalu memusatkan Tianlong Mark ke dalam telapak tangan. Kilatan hijau-perak berpendar di setiap lipatan kulitnya. “Satu…” gumamnya, menempatkan tangan pada lingkaran pertama dengan kepala naga.
Aura naga meloncat, menggetarkan batu. Sekilas, gemerisik halus terdengar, lumut di sekitarnya berguguran sedikit. Lingkaran kedua, di dada naga, Bai Xue menambatkan aura peraknya: “Dua…” desisnya dalam benak Liang Feng.
Saat aura perak menari di permukaan batu, kilatan hijau menyatu di lingkar pertama. Liang Feng dan Bai Xue saling bertukar pandang, ini kerja sama murni dua kekuatan hati dari manusia dan roh.
Liang Feng berbisik. “Dua… sekarang… ekor naga.”
Ia mengangkat tangan ke lingkaran ketiga, memancarkan paduan aura naga hijau dan aura perak rubah. Seketika, sebuah denyut gemuruh terdengar, seakan batu besar di depan mereka bernapas.
Dinding batu bergetar, retakan halus merayap di permukaan. Para relawan mundur dua langkah, memegang senjata dan lentera. Seekor kupu-kupu cahaya hijau terbang di atas gerbang yang menjadi tanda energi purba sedang bangkit.
Pertapa Zhao gemetar. “Hati-hati… ini baru permulaan.”
Gerbang batu, perlahan, terbelah dua. Sinar senja menembus celah, menuntun sorot ke dalam kegelapan hangat dengan lorong pertama menuju jantung gunung. Serta-merta, udara di depan mereka terasa hangat lembap, menyambut langkah dengan aroma akar dan mineral kuno.
Liang Feng menunduk dengan hormat. “Gerbang awal tertembus… Bai Xue, terima kasih.”
Bai Xue mengepak senang, aura peraknya menyebar. “Bersama kita tembus batas dunia.”
Lorong di balik gerbang batu menganga selebar dua hasta, langit-langitnya menjulang tinggi, dipahat relief naga dan rubah silih berganti. Permukaan batu cadas memancarkan kilauan perak lembut, sisa aura rebusan hutan. Di atasnya tergantung stalaktit kecil, tetesan air jatuh satu per satu dengan denting halus.
Di kejauhan, suara gemerisik menuntun langkah mereka. Wei Xin menyalakan anak panah penerang, lekukan lembut cahaya biru menelusup ke lorong. Lin Hua mendekat, memeriksa kompas kayu. “Arah utara, ini sudah sesuai peta.” Ia mencatat perlahan.
Liang Feng melangkah di depan, ekor matanya menangkap celah kecil di dinding, terlihat retakan batu selebar genggaman tangan. “Ini… mungkin celah untuk pos pemeriksaan selanjutnya ” gumamnya. Ia menempelkan tangan, mantra TIanlong Mark menelusup, retakan bergetar dan menyisihkan batu kecil.
Tiba-tiba, lantai lorong berdenyut halus, pilar-pilar batu merunduk, lalu tumbuh sulur-sulur lumut yang bergerak seperti tentakel. Beberapa relawan terkejut, lalu mundur dengan senjata terhunus siap untuk menebas.
Liang Feng berbicara dengan tegas. “Ini jebakan roh animasi. Kita butuh harmoni energi buat mengalahkannya.”
Ia menepis sulur-sulur lumut dengan sapuan pedang naga, melepaskan gelombang hijau-perak yang memutus gerakan. Bai Xue menyusul, aura peraknya merambat ke akar lumut, lalu menenangkan getaran dara kegelapan.
Bai Xue berdesis. “Tarik napas… lepaskan niat suci.”
Sulur lumut berputar lembut, lalu lemas seperti dipengaruhi mantra. Rombongan menahan napas, relawan menurunkan pedang. Sulur-sulur lenyap, menyisakan permukaan batu polos.
Ketika jebakan animasi sirna, Liang Feng meneguk air dari botol kecil. “Reruntuhan ini bukan hanya ukiran… tapi buku pelajaran roh batu.” Ia menoleh pada relawan. “Ingat, kalau kekuatan tidak selalu tentang menghancurkan, tapi terkadang meredam.”
Lin Hua mencatat. “Perangkap lumut animasi: diselesaikan dengan harmoni energi, bukan kekerasan.”
Pertapa Wu mengangguk pelan. “Pelajaran berharga… kita harus terus belajar dari roh kuno di sini.”
Di ujung lorong, sebuah tangga batu menanjak mengarah ke luar. Batu-batu tangga ukurannya seragam, licin oleh embun kuno. Relawan mengatur napas, bersiap untuk menaikinya.
Liang Feng memimpin. “Kita lanjut ke Pos Bayangan Atas, itu satu persinggahan sebelum padang salju.”
Mereka menapaki anak tangga satu per satu, merasakan dingin lembab di udara, hingga akhirnya menembus sinar matahari sore terakhir dan pintu Lorong Naga terbuka, menampilkan tanah lapang kecil di ketinggian.
Mata mereka terpaku pada panorama, dimana di satu sisi, lembah hijau merentang hingga lembah kabut, sedangkan di sisi lain, lereng salju tampak mengerucut ke puncak perak. Di tengah lapangan kecil, sisa puing batu membentuk altar setinggi satu hasta, simpan relief naga kecil menghadap timur.
Lin Hua mengangkat buku catatan. “Pos Bayangan Atas, namanya sesuai bayangan gunung dari sudut ini.” Ia memetakan titik mereka dalam catatan.
Wei Xin meregangkan otot-ototnya yang pegal. “Dingin ini… lebih menggigit.” Ia menarik mantel tebalnya.
Bai Xue menyalurkan aura peraknya, menciptakan perisai hangat di sekeliling rombongan. “Kita tiba di tempat aman untuk beristirahat singkat.”
Setelah udara dingin berhasil ditahan, Nenek Li kembali muncul dengan kendi air embun purnama. “Minumlah ini… dan jika kalian butuh hangat, gunakan permen klinci.” Ia membagi potongan manisan akar klinci.
Liang Feng meneguk air embun, menutup mata merasakan getar dingin mengalir ke dalam, lalu hangat mereda. “Terima kasih, Nenek Li.” Ia menoleh ke relawan: “Sesaat lagi kita masuk Padang Salju, jadi pastikan kalian untuk siapkan persiapan seperti panah penerang, tali pengaman dan hati yang teguh.”
Lin Hua bersemangat. “Aku sudah menulis semua petunjuk sampai pos ini, selanjutnya adalah bab paling menantang.”
Liang Feng memandang puncak perak yang kini lebih dekat, menggetarkan. “Besok fajar… kita tak hanya mencari Hati Bumi, tapi juga menapaki kiprah baru persahabatan kita.”
Bai Xue memancarkan aura peraknya dengan lembut, sebuah isyarat kesiapan bersama.