“Anak? Aku tak pernah berharap memiliki seorang anak denganmu!”
Dunia seolah berhenti kala kalimat tajam itu keluar dari mulut suaminya.
.
.
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
Hari besar yang di nanti-nanti pun tiba. Airin menyewa seseorang untuk berpura-pura menjadi orang tuanya. Gadis itu sangat nekat, pernikahannya pun digelar tanpa wali aslinya.
Di gedung mewah, meski acara digelar secara privat. Tapi pesta itu masih cukup terlihat megah karena selain dihadiri keluarga inti, beberapa tamu penting pun turut hadir.
Niko dan Airin sudah bergandeng tangan siap menelusuri altar pernikahan. Disambut dengan beberapa riuh dan antusias para tamu undangan.
Tapi, di sela antara riuhnya tamu undangan ada sosok yang memperhatikan dengan tatapan tajam.
“Apa kita beri secara langsung saja hadiah besarnya, Bos?” Laudia berbisik sembari menatap dengan seringai muak ke arah layar lebar, yang menampilkan potret sang pengantin.
Laudia berdiri di sudut ruangan gedung. Ia mengenakan seragam staf — menyamar sebagai salah satu pelayan di acara pernikahan Niko dan Airin.
“Tunggu. Bergerak sesuai rencana pertama.” Adrian memantau di antara kerumunan tamu-tamu undangan.
“Reza? Sudah di posisi?” bisiknya melalui benda kecil yang terselip di telinga kanannya.
“Saya masih di tempat persembunyian, Bos. Keamanan sangat ketat di ruangan operator,” keluh Reza yang masih belum berhasil menyelinap masuk.
“Kalian butuh bantuan?” tanya Jay dari seberang.
Seperti biasa, tugas Jay adalah bersiaga di dalam kendaraan. Tapi, sesekali ia ikut ke lapangan apabila rekannya dalam keadaan darurat.
“Nggak perlu, Bang. Pantau aja terus dari sana, biar aku yang urus di dalam,” sahut Adrian tegas.
Rey alias Adrian, selaku ketua geng Shadow Cure segera bergerak menyelinap ke arah ruang kontrol. Ia mengendap-endap, berjalan pelan merapatkan tubuhnya di sisi tembok, mata elangnya menyapu sekitar — waspada.
Tatapannya tertuju pada dua pria bertubuh sedikit besar — orang suruhan Niko, tengah bersiaga di depan pintu ruang operator. Bola matanya berputar cepat, berusaha mengatur siasat untuk mengalihkan fokus para penjaga tersebut.
“Reza, siaga. Aku akan mengurus dua penjaga itu, dan kau segera masuk, percepat gerakan kita,” ujar Adrian.
Di balik pintu gudang tak jauh dari ruangan tujuannya, Reza duduk sambil memeluk tas ranselnya. “Baik, Bos.”
Adrian pun mulai dengan memancing kedua penjaga tadi. Ia sengaja merobohkan tumpukan kardus mineral yang disiapkan untuk pesta pernikahan Niko — yang terletak tepat di hadapannya.
Bruk!
Kedua security pun menoleh cepat.
“Apa itu?”
“Kucing?”
“Mana ada kucing di sini?”
“Ya sudah, biar kuperiksa. Kau tetap bersiaga di sini,” ucap salah satunya, lalu melangkahkan kaki ke arah terjatuhnya kardus tersebut.
Adrian berjongkok di sisi tumpukan kardus lain. Si penjaga pun semakin mendekat, ia mencondongkan tubuh menelisik sekitar, kemudian dalam hitungan detik tatapan mereka bertemu.
“Anda—”
Bugh!
Adrian melayangkan satu pukulan tepat di perut buncit si penjaga. Beruntungnya dalam satu kali hantaman pria berkumis tipis itu pun tergeletak.
“Lah semaput? Gitu doang?” ucap Adrian terheran.
Adrian pun buru-buru menyeret tubuh gendut pria tadi ke ujung lorong lalu menyembunyikannya di dalam ruangan yang kebetulan kosong.
“Maaf ya, Pak. Saya nggak bermaksud menyakiti Anda,” bisik Adrian pada penjaga tadi. “Anda cuma pingsan karena syok. Sepuluh menit saja, saya pinjam seragamnya dulu, ya.”
Adrian bergumam sambil melucuti seragam pria itu, wajahnya tampak tak tenang, enggan meraba tubuh seorang pria. Tapi demi melancarkan aksinya tangannya bergerak cepat.
Ia sudah memakai seragamnya, lengannya sedikit ngatung kurang pas dengan tubuh tingginya. Untungnya, celana mereka senada, jadi Adrian tak perlu repot melucuti celananya.
Adrian kembali menyelinap keluar. Dengan langkah mantap ia berjalan menghampiri penjaga satunya, wajah dinginnya mendadak berubah ramah kala manik tajam mereka saling bertemu.
“Ketua bilang kau boleh istirahat, biar aku yang gantikan posisimu,” ujar Adrian.
Si penjaga menatap Adrian seolah tak yakin. “Anak baru? Aku baru melihatmu,” tanyanya.
Adrian mengangguk. “Benar, aku baru bergabung belum lama ini,” dustanya kemudian.
Penjaga itu tampak curiga, tapi ia menahan diri untuk tidak bertanya. Wajahnya jelas kepepet — ia sudah ngempet ingin ke kamar kecil. “Baiklah, kuserahkan ruangan ini padamu.”
Adrian menatap bahu pria itu yang nyaris lenyap ditelan lorong sempit di ujung gedung. Ia buru-buru membuka pintu dan mendekati seorang staf yang bertugas mengontrol layar lebar acara.
Adrian membekap erat wajah pria itu.
“Emppttt ….” Staf itu tercekat, tak bisa bersuara.
Adrian semakin mengeratkan tangannya ke wajah staf laki-laki tersebut, sehingga si pria lunglai di atas kursinya. Setelah membereskannya, ia pun kembali mengucap maaf.
“Maaf, Mas! Sebentar saja, saya pinjam komputernya,” ujarnya pelan.
“Reza, aman. Cepat!”
Reza pun segera bergerak, keluar dari persembunyian.
“Maaf, Bos. Jadi mengulur waktu,” ucap Reza begitu ia tiba di ruangan operator.
“Lakukan saja tugasmu dengan cepat, jangan ulur waktu lagi,” sahut Adrian sambil menepuk pelan bahu Reza.
“Baik, Bos.”
Adrian pun lekas keluar ruangan, tangannya menyentuh telinga sebelah kanan. “Danar, gimana keadaannya? Kalian sudah dekat?”
“Kami terjebak macet, Bos,” balas Danar dari seberang.
Adrian melangkah mantap sambil berulang kali menatap arlojinya. “Sebentar lagi waktunya. Di mana Kayuna?”
“Dia … duduk di sebelah saya,” sahut Danar.
Kayuna duduk di kursi penumpang, dengan raut wajah yang sulit diartikan. Tangannya terus mengepal erat di atas pangkuan. Sorot matanya seakan mampu membelah padatnya kemacetan.
Sementara di kursi belakang sudah ada dua orang paruh baya duduk dengan tatapan gusar.
“Nggak bisa kayak gini. Danar, kita tukar posisi,” tutur Kayuna.
“Hah?!” Danar tampak terkejut.
“Buruan! Kita bisa telat ini.”
“Ta-tapi ….”
“Ah, lama kamu!”
Kayuna pun segera turun dari mobil, ia melangkah memutari kap mobil hingga akhirnya berdiri di sisi pintu pengemudi.
“Keluar.”
Danar ragu-ragu tapi akhirnya menuruti titah Kayuna.
Kayuna duduk dengan dagu terangkat, tangannya memegang setir kuat-kuat. Sementara Danar berlari berpindah posisi ke kursi sebelah.
“Pakai sabuk pengamanmu!” perintah Kayuna.
“Baiklah,” sahut Danar, wajahnya masih kebingungan.
Ia menelan ludah, memasang seat belt dengan erat. Tangannya terangkat meraih pegangan di atas sisi pintu mobil.
‘Ya gusti … lancarkanlah jalan hambamu ini, selamatkanlah hamba sampai tujuan,’ bisiknya dalam hati, memohon perlindungan tuhan.
“Hati-hati, Mbak Yun … ini mobil masih baru,” kata Danar.
Kayuna hanya melengos singkat. “Minta ganti rugi sama bosmu kalau sampai lecet nanti.”
Kayuna pun dengan lincah memutar setir, kemudian tancap gas — menyelip ke tiap sisi jalan sempit dan dipadati kendaraan.
“Astaga … Gusti nu Agung ….” Danar terus mengucap sepanjang jalan.
Sementara sepasang pria dan wanita paruh baya tampak duduk tegang di kursi belakang.
“Gusti! ….” Danar berteriak was-was.
*
*
Bersambung.