Walau sudah menyandang status sebagai istri selama satu tahun, wanita yang bernama lengkap Arina Mafaza ternyata masih perawan. Entah alasan apa sehingga sang suami tidak menyentuhnya.
Dan malam itu Arina harus menerima kenyataan pahit, ia di jebak oleh suami nya sendiri sehingga ia tidur dengan pria yang tidak ia kenal. Hidup Arina benar-benar hancur apalagi saat suaminya justru menuduh dirinya selingkuh.
Namun tidak ada seorang pun tau kalau pria yang bersama Arina malam itu ternyata seorang Milliader.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indah R Y, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DSDM-Bab 32
Arga mengerutkan kening tajam saat melihat Arina menerobos masuk. Tak seorang pun pernah berani bersikap gegabah padanya, namun wanita ini kembali menabrak batas. Ini sudah kali kedua dia masuk ke kantornya tanpa izin. Kurang ajar.
Tatapan dingin Arga menelusuri sosok Arina dengan cepat dan tajam, menilai bentuk tubuhnya yang sempurna dalam diam. Hanya sedetik, tapi cukup untuk mengukir penilaian dalam pikirannya sebelum menatap langsung ke matanya dengan dingin yang menusuk.
Tatapan itu bisa membekukan siapa pun. Tapi Arina bukan wanita biasa. Dia menegakkan tubuhnya, menolak diintimidasi.
"Tuan Arga," katanya tajam, mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya, "aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi. Di mana anakku?"
Arga tetap diam. Pandangannya meluncur dari jari-jari Arina ke wajahnya tanpa menyembunyikan sikap menghina.
"Jangan berani-berani mengabaikanku!" seru Arina lagi. "Kau tidak bisa mengambil Ghazi dariku,"
"Anak itu," suara Arina meninggi, "adalah hasil dari malam yang bahkan kau sendiri tak punya keberanian untuk mengakui! Kau tidak punya hak atas nya. Tidak setelah kau memperkosaku!"
Arga berhenti menulis. Pena dijatuhkannya dengan bunyi pelan, tapi efeknya seperti dentuman keras di ruangan itu.
"Apa kau sadar bahwa kau sedang berbicara dengan Presiden perusahaan ini ? " tanyanya pelan, nyaris menggeram. "Atau kau benar-benar ingin berbicara dengan pria yang dulu menidurimu tanpa izinmu?"
"Mungkin baik juga kau mengingatkanku," sahut Arina sinis. "Karena pria yang kuajak bicara ini adalah orang yang menghancurkan hidupku, menghamiliku, lalu berpura-pura tak terjadi apa-apa."
Dia mendekat. Nafasnya tercekat oleh emosi. "Kembalikan Ghazi dan aku akan berpura-pura ini semua tidak pernah terjadi. Tapi jika tidak—aku bersumpah, Tuan—aku akan membuatmu membayar. Di pengadilan. Di depan umum. Di mana pun!"
"Aku adalah satu-satunya orang tua yang berhak atas Zi!" Ia nyaris berteriak. "Kau pikir kau bisa semena-mena karena kau punya uang dan kekuasaan?"
Tatapannya membakar. "Apa ini yang kau lakukan selama ini? Meniduri wanita tak bersalah di hotel lalu berpura-pura tak mengenalnya? Apa ini permainanmu?"
"Cukup!!" Arga akhirnya meledak. Suaranya menggelegar. "Apa kau sudah gila?!"
Ia berdiri. Aura dinginnya mengisi ruangan. "Beraninya kau masuk ke ruanganku dan menuduhku seenaknya? Siapa kau? Apa aku terlihat seperti pria miskin yang harus memaksa wanita punya anak denganku?"
Arina gemetar, tapi dia tidak mundur.
Arga menggeram, matanya menyala oleh amarah. "Kalau aku benar-benar menginginkan wanita, aku tak akan memilihmu! Kau bahkan tidak memberiku kenikmatan apapun!"
"Kalau kau datang lagi ke sini tanpa izin," suaranya serak menahan emosi, "aku akan pastikan kau dipermalukan di depan umum. Ini bukan peringatan, Arin. Ini ancaman."
Ia menghantam meja dengan tinjunya. "Dan kalau kau memaksa lagi soal anak itu… Aku bersumpah demi hidupku, kau tidak akan pernah melihat Zi lagi! Sepanjang hidupmu yang menyedihkan ini!!"
Arina nyaris runtuh. Dia berdiri kaku, tak bisa menahan rasa takut yang tiba-tiba menyergap. Tatapan Arga penuh dengan penghinaan, dan itu menusuk lebih tajam dari kata-kata apa pun.
Tanpa sepatah kata pun, Arga menunjuk ke arah pintu. Dan bagai dikendalikan, Arina berjalan keluar. Setenang mungkin. Meski di dalamnya, badai tak henti berkecamuk.
Dia harusnya memberitahu Arga semuanya. Tapi dia malah membuat semuanya lebih buruk. Dia terlalu keras kepala. Terlalu terluka.
Di ruangannya sendiri, Arina tak mampu lagi berpura-pura kuat. Ia menunduk. Isak tangisnya akhirnya pecah. Hatinya rapuh. Terlalu rapuh.
Ia mengingat semuanya. Saat ibunya meninggal. Saat dia dibesarkan oleh ayah dan ibu tiri yang ia kira mencintainya—hingga surat wasiat dibacakan dan kenyataan menghancurkannya.
Lalu perjodohan. Suami yang tak mencintainya. Yang berselingkuh dengan saudara tirinya. Yang mengkhianatinya.
Lalu kehamilan. Anak itu adalah satu-satunya alasan dia bertahan. Dan kini, Ghazi pun diambil darinya.
Kosong. Hampa. Apa lagi yang bisa dia perjuangkan sekarang? Arga adalah atasannya. Dia lebih berkuasa, lebih kaya. Sementara dia? Tak punya sumber daya, tak punya tenaga. Bahkan semangat pun perlahan mati.
Tenggelam dalam pikirannya, ia nyaris lupa bahwa ia harus menyerahkan dokumen ke ruangan Arga, Panggilan dari sekretaris menyadarkannya.
Telepon berdering. Nama sekretaris Arga menyala. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat.
"Segera bawa rencana desain ke ruangan tuan Arga," ujar suara di seberang.
"Oke…" suara Arina parau. Ia menyeka air matanya. Tak ada yang bisa dia lakukan hari ini selain menangis dan meratap. Tapi ia tak bisa menyerah.
Dia bangkit. Ke kamar mandi. Cuci muka. Sedikit riasan. Tapi matanya tetap merah dan bengkak.
Dia tidak boleh terlihat lemah. Tidak di hadapan pria itu. Dia menguatkan diri, membawa rencana yang bahkan belum selesai, dan menuju ruangan Arga.
Namun saat ia tiba, bukan Arga yang menyambutnya, melainkan Danis adik Arga—yang sedang duduk di sofa. Danis tersenyum dan melambaikan tangan agar Arina duduk di sampingnya.
"Apakah Kakakku mengganggumu?" tanya Danis pelan. "Matamu merah. Kau menangis?"
Arina mengangguk pelan, menahan isak. Tapi air matanya tumpah juga.
Danis segera memeluknya. "Tenanglah... Aku di sini," katanya lembut, mengelus punggung Arina sambil menyodorkan saputangannya.
Pintu ruangan terbuka.
Arga melangkah masuk.
Ia menyipitkan mata melihat Arina menangis dalam pelukan adiknya. Wajahnya mengeras. Itu adalah wanita yang melahirkan anaknya—dan adiknya sendiri sedang memeluknya begitu erat.
Sesuatu dalam dirinya berdenyut marah. Ini kantornya, bukan tempat bermain perasaan. Dengan wajah tanpa ekspresi dan aura dingin, ia bertanya:
"Apa yang terjadi di sini?"
😀😀❤❤❤❤
❤❤❤❤❤❤
❤❤❤❤
Arga kesirep...
❤❤❤❤❤❤
lanjuttttt..
❤❤❤❤❤