"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duniaku Menyempit
Ruangan dingin itu, lengkap dengan segala peralatan medis yang menunjang hidup manusia. Terdengar suara monitor yang tak pernah berhenti. Ada beberapa manusia di ruangan ini yang bergantung padanya. Binar perlahan mendekat ke arah Ibunya yang sedang berbaring tenang, peralatan medis menempel di tubuhnya. Wanita yang dulu sangat kuat itu nampak lemah tidak berdaya. Baru beberapa hari kemarin mendengar kabar jika Ibunya sudah membaik dan masa pemulihan, kini Ibunya tergolek lemah.
Binar menatap wanita itu lekat, berharap Ibunya segera membuka mata dan mereka bisa bercerita tentang segala hal yang indah, apapun itu. Binar mendekat ke arah ranjang, mencari jemari Ibunya. Perlahan dia memegang tangan itu, tangan yang selalu memberikan rasa hangat. Ingatan-ingatan saat masa kecil dulu memenuhi pikirannya, wanita yang suka memeluknya dan suka menenangkannya saat dia sedih, saat hatinya gundah. Kini wanita itu benar-benar tidak berdaya.
"Buu.....aku datang, pengen banget cerita banyak ke Ibu, banyak hal-hal indah yang pengen aku ceritakan...Ibu bangun ya...." Binar mencium tangan Ibunya, pandangannya ke wajah Ibunya yang tertidur lelap. "Akhir-akhir ini hidupku menyenangkan Bu, nanti kita jalan-jalan ya," Binar menambahkan. Tidak ada respon apapun dari Ibunya, Binar mengelus tangan Ibunya dengan lembut. Beberapa saat dia berada di sana, sambil terus berharap Ibunya bisa meresponnya dan membuka matanya. Namun usahanya masih belum berhasil.
"Aku keluar dulu ya Bu...Ibu istirahat dulu, nanti kalau tenaga Ibu sudah penuh, Ibu bangun dan mari kita bercerita indah,"
Binar keluar dari ruang ICU yang dingin itu, menutup pintu perlahan. Nampak dua laki-laki di hadapannya, Ayahnya dan Aksa. Binar terkejut melihat Aksa berada di sana.
"Pak Aksa...," Binar mengangguk, tidak menyangka jika Aksa berada di sini saat ini. "Maaf Pak, saya cuti tiba-tiba," Binar mendekat.
"Tidak apa,"
***
"Kamu pasti belum makan sejak pagi tadi," Aksa melirik jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 3 sore. Binar tersenyum samar, hampir tidak terlihat. Beberapa menu berada di mejanya, Aksa yang memesankannya.
"Apakah Bapak tidak sibuk?" Binar tahu jadwal Aksa tidak selonggar ini.
"Masih ada Putra dan yang lainnya,"
"Pak, boleh minta sesuatu?" tanya Binar lirih, tangan kanannya memainkan sendok. Aksa melihat ke arah Binar, begitu juga Binar.
"Katakan,"
Binar terdiam sejenak, "Tolong jangan katakan pada siapapun tentang saya dan Tama," kalimatnya ragu, tapi penuh harap. "Maaf, jika selalu melibatkan Bapak,"
Aksa masih menatapnya, tapi tatapan Binar sudah beralih ke sendok yang dimainkannya. Dia yakin jika Aksa sudah mengetahuinya, jika tidak tahu maka Aksa tidak akan sampai di sini. Aksa memperhatikan cara Binar menunduk, bagaimana ujung jarinya mengetuk sendok perlahan seperti menahan sesuatu yang lebih berat dari apa yang nampak.
"Tidak perlu minta maaf," suara Aksa terdengar pelan, hampir seperti gumaman. "Aku di sini karena aku ingin memastikan kamu baik-baik saja,". imbuhnya. Ya, itu yang harus diingat Binar. Bahwa apa yang dilakukan oleh Aksa adalah hanya murni pimpinan dan bawahannya. Binar mengangguk.
"Terima kasih, Pak." Binar mencoba tersenyum, mengangguk dan menunduk belum mampu menatap wajah Aksa. Ada sesuatu yang menegang di dada Aksa saat dia melihat wajah itu. Pucat, lelah, namun tetap berusaha untuk kuat. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan ini seharusnya ada atau tidak. tapi rassanya justru dia sulit untuk menahan diri.
"Makanlah walau sedikit," Aksa kembali mengingatkan. Binar menatap makanannya yang masih utuh, rasanya tak ada selera untuk menyantapnya. Perlahan, Aksa mendorong piring itu untuk lebih dekat ke Binar, Aksa mengangguuk perlahan, mengisyaratkan untuk Binar segera makan. "Jangan sampai kamu sakit, pasti beliau juga tidak akan senang melihat kamu sakit,"
Binar tersenyum kecil, meskipun samar tapi terlihat. "Iya, saat saya kecil, Ibu selalu marah kalau aku nggak mau makan, dan biasanya setelahnya Ibu akan sedih," Binar mengingat kembali memori masa kecilnya.
"Makanlah,"
"Oh ya Pak, Bapak bisa sampai sini?" Binar sudah berani menatap Aksa, bahasannya sudah berbeda kini.
"Oh itu...ada kerjaan," menjawab sekenanya. Terdiam sesaat, Binar mencoba mengingatnya dengan baik. Jadwal yang sudah tersusun masih teringat di pikirannya, bahwa hari ini tidak ada urusan pekerjaan di kota ini. Meskipun sedang kalut, tapi Binar tidak lupa.
"Oh," Binar mengangguk. Aksa senang karena Binar tidak bertanya lebih lanjut.
Binar mengambil sesendok dan mengunyahnya, Aksa memperhatikan sebentar lalu membuang pandangan. Memberikan ruang agar Binar makan dengan nyaman.
"Kalau kamu masih ingin di sini, nggak apa-apa, biar kerjaan kamu diambil alih Putra untuk sementara,"
"Baik, Pak. Terima kasih untuk kemurahan hati Bapak,"
***
Binar dan ayahnya masih menunggu di depan ruang ICU, sambil tak henti berdoa agar Ibunya lekas melewati masa kritis ini dan segera sadar.
"Jadi dia pimpinan kantormu?"
"Iya, Yah"
Laki-laki itu melihat ke arah Binar, sorot matanya mengisyaratkan sesuatu. Kemudian dia mengangguk.
"Dia tidak ada hubungan apa-apa dengan semua ini," Binar menegaskan sebelum pertanyaan itu muncul. Ayahnya kembali mengangguk. Dia sangat memahami putrinya lebih dari siapapun.
"Maaf, kamu harus lelah bekerja untuk saya dan Ibumu,"
"Ayah jangan pernah meminta maaf, Ayah dan Ibu tidak ada salah, ini tanggung jawabku sebagai anak,"
"Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahan kamu?" pertanyaan itu akhirnya muncul. Binar terdiam sesaat, bingung mau mulai dari mana mengatakannya.
"Terlalu kelihatan ya, Yah?" Binar kembali melontarkan pertanyaan. Dia adalah orang yang tidak bisa berbohong, selalu ketahuan jika berbohong, dan itu membuatnya tidak nyaman.
"Kamu tidak bisa bohong dengan Ayahmu," laki-laki itu menyentil hidung Binar. Hal yang dilakukan agar putrinya terhibur. Meskipun hatinya sendiri tak karuan, tapi Binar membutuhkan sandaran. Dan diaah yang dia miliki saat ini.
"Ya, aku tahu. Dan aku nggak mau bohong sama ayah," Binar jujur.
"Bagus," Ayahnya mengangkat kedua jempolnya, memberikan pujian.
Laki-laki itu mengelus rambut putrinya dengan lembut, dia percaya Binar lebih dari apapun. Dia percaya apa yang diceritakan Binar dari pada apa yang diceritakan orang.
"Aku nakal ya yah?"
"Kalau kamu nakal, sudah ayah penjara dari dulu," goda ayahnya, membuat sedikit tawa keluar dari bibir Binar.
"Maaf jika sudah berbohong sampai membuat Ibu masuk ICU,"Binar amat menyesal, tapi dia melakukannya juga karena alasan. Nyatanya seperti makan buah simalakama, sama saja. Mereka berdua menghabiskan malam ini di rumah sakit, hawa dari luar menyeruak menembus kulit Binar dan ayahnya, mereka saling menjaga, saling menguatkan dan menyatukan doa untuk orang tercinta agar selalu sehat dan bisa kembali berkumpul dengan mereka nantinya.