Luna tak pernah bermimpi bekerja di dunia hiburan, ia dipaksa pamannya menjadi manajer di perusahaan entertainment ternama.
Ia berusaha menjalani hidup dengan hati-hati, menaati aturan terpenting dalam kontraknya. Larangan menjalin hubungan dengan artis.
Namun segalanya berubah saat ia bertemu Elio, sang visual boy group yang memesona tapi kesepian.
Perlahan, Luna terjebak dalam perasaan yang justru menghidupkan kembali kutukan keluarganya. Kejadian aneh mulai menimpa Elio, seolah cinta mereka memanggil nasib buruk.
Di saat yang sama, Rey teman grup Elio juga diam-diam mencintai Luna. Ia justru membawa keberuntungan bagi gadis itu.
Antara cinta yang terlarang dan takdir yang mengutuknya, Luna harus memilih melawan kutukan atau
menyelamatkan orang yang ia cintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Latihan Keras
Hari-hari berikutnya, para anggota Neonix berlatih dengan sangat giat.
Setiap orang tampak menonjol dengan bakat mereka masing-masing.
Untuk penampilan pertama, mereka memilih konsep kerajaan, di mana masing-masing akan berperan sebagai pangeran.
Dengan rambut perak yang diikat rapi dan mata tajam, Elio berlatih memainkan pedang di bawah sorot lampu studio. Gerakannya tegas, elegan seolah pedang itu adalah bagian dari dirinya sendiri.
Luna berdiri di sisi ruangan, memperhatikan diam-diam. Matanya tertegun, bibirnya tanpa sadar menyunggingkan senyum kecil.
"Dia benar-benar seperti pangeran yang keluar dari buku dongeng," batinnya.
Namun pandangannya teralihkan ketika terdengar suara kecil dari sisi lain ruangan.
Rey, yang sedang berlatih koreografi sulit, tiba-tiba meringis kesakitan. Tanpa pikir panjang, Luna bergegas menghampirinya.
“Kau baik-baik saja? Ada yang sakit?” tanyanya cemas.
Rey menggeleng cepat, mencoba tersenyum. “Tidak apa-apa,” jawabnya, meski tangannya masih menekan punggung bagian bawah.
Melihat itu, Luna segera mengambil kompres dingin dari kotak pertolongan dan menempelkannya lembut di area yang sakit.
Rey terdiam hanya mengangguk pelan sebagai tanda terima kasih, sementara Luna tetap menatapnya penuh khawatir. Setelah beberapa saat, ketika rasa sakitnya mulai mereda, Ia kembali berdiri dan melanjutkan latihannya seolah tak terjadi apa-apa.
Marcel mendekati Luna. “Begitulah dia,” ujarnya pelan sambil menghela napas. “Jarang sekali mengeluh, bahkan saat jelas-jelas kesakitan. Justru karena itu aku khawatir padanya.”
Luna menoleh sekilas, lalu memandang Rey kembali. Wajahnya tenang, namun matanya tampak menyimpan empati.
“Ya,” bisiknya lirih, “sepertinya dia tipe orang yang memendam segalanya dan terlalu tegas pada dirinya sendiri.”
***
Malamnya, latihan telah selesai sejak satu jam lalu. Lampu-lampu studio sebagian sudah dimatikan, hanya tersisa cahaya temaram dari sudut ruangan yang masih menyala.
Luna sedang membereskan catatan latihan dan botol air yang tertinggal di meja, samar-samar ia mendengar bunyi langkah dan hentakan sepatu menembus lantai kayu.
Ia menoleh, itu adalah Elio. Pemuda itu masih berlatih sendirian, memainkan pedang yang dipadukan dengan koreografi berulang kali. Gerakannya mulai melambat, napasnya memburu.
“Dia belum pulang juga.” gumam Luna pelan, kemudian melangkah mendekat.
Saat Elio memutar tubuh. Ia terhuyung sedikit sebelum menahan diri dengan bertumpu pada lutut. Luna segera berlari menghampiri.
“Elio!” panggilnya cepat, lalu menatap pemuda itu khawatir.
“Kau kenapa tidak istirahat dulu? Latihan sudah cukup untuk hari ini.”
Elio tersenyum lemah, keringat mengalir di pelipisnya.
“Kalau aku berhenti sekarang, rasanya seperti belum pantas untuk tampil di atas panggung.”
Luna menghela napas pelan. “Kau tidak harus menyakiti dirimu untuk membuktikan itu.”
Elio menunduk, terdiam sejenak, sebelum berkata lirih.
“Dulu, aku pernah gagal. Aku takut hal itu terjadi lagi. Jadi, aku hanya ingin memastikan semuanya sempurna.”
Luna memandangnya lama, lalu mengambil tissu dan mengelap keringat di dahinya.
“Tahu tidak? Justru karena kau takut gagal, kau jadi sangat berharga di mata tim ini.”
Suara Luna lembut, namun mengandung kejujuran yang menenangkan.
“Orang yang berusaha terlalu keras biasanya lupa bahwa dia sudah cukup.”
Elio menatapnya. Ada takjub, keteduhan yang membuat dadanya lega. Namun ia baru menyadari badannya sudah terlalu lelah.
"Ayo pulang." ajak Luna.
Belum sempat berbalik, Luna mendengar suara perut Elio keroncongan. Elio memang belum sempat makan dari tadi, karena ia sangat fokus untuk berlatih.
"Aku lapar." ucap Elio, ia menutup mukanya karena malu. Elio tak bisa berkilah karena memang suara perutnya cukup keras.
Luna hanya terkekeh, "Baiklah kita makan dulu." Luna merapikan lagi tasnya.
"Luna, aku ingin makan sesuatu. Apa boleh?"
"Makanlah. Kenapa kau harus meminta izin segala?"
"Hmm, tapi aku ingin makan burger."
Elio merasa kikuk, karena Luna selalu mewanti-wanti mereka untuk sebisa mungkin rutin mengkonsumsi makanan sehat.
"Kebetulan, aku tadi meminta sopir ayahku untuk mengantarkan mobilku ke sini. Ayo temani aku makan." lanjut Elio. Dia bergegas bangun dan meraih tasnya.
Luna menaikkan bahunya, "Baiklah." Nada bicaranya malas, padahal dalam hatinya dia merasakan debaran yang cukup kencang.
Mereka berjalan keluar kantor. Elio melirik ke sisi sebelah kiri kantor, bibirnya menyungging senyum begitu melihat mobilnya terparkir di tepi jalan.
Sopir itu menunduk dan menyerahkan kuncinya kepada Elio. Dengan gerakan refleks, Elio membuka pintu untuk Luna.
Luna sedikit terkejut bukan hanya karena sikap Elio yang sopan, tapi juga interior mobil yang tampak mewah dan bersih sempurna.
Begitu duduk, ia diam beberapa detik. Dalam hatinya ia baru sadar, Elio jelas bukan anak dari keluarga biasa.
Dia bisa saja hidup santai menikmati kemewahan ini. Tapi entah mengapa, dia memilih jalan sulit menjadi idol yang berjuang dari bawah..
“Sudah pasang sabuk pengamannya?” tanya Elio, menoleh sekilas.
Luna yang sibuk berbicara dengan pikirannya, buru-buru menarik sabuk dan memasangnya.
“Sudah,” jawabnya cepat.
Elio tersenyum kecil, "Siap nona?"
Luna mengangguk.
“Let’s go!” seru Luna riang.