NovelToon NovelToon
Aku Yang Untukmu

Aku Yang Untukmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Angst / Pihak Ketiga
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: jewu nuna

Dari sekian banyak yang hadir dalam hidupmu, apa aku yang paling mundah untuk kau buang? Dari sekian banyak yang datang, apa aku yang paling tidak bisa jadi milikmu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AYU 22

Disini gue sekarang. Menangis tak henti saat melihat Bunda terisak dipelukan Ayah. Gue yakini hatinya terluka melihat anak kandungnya kritis didalam sana.

Sesekali gue masih bisa menyeka air mata yang tak kunjung kering. Berbalik badan untuk tidak menampakkan kesedihan gue didepan kedua orang tua. Gue ngga boleh selemah ini kan?

Gue meremat rambut saat justru dada lebih terasa sesak karena air mata gue tambah deras. Sebenarnya apa yang gue lakukan dimasa lalu sampai harus melihat Jihan berlinang darah seperti ini? Ditambah melihat tunangannya yang termenung tanpa suara, didalam lamunan yang entah ada dimana.

Sarah, gadis itu hanya diam tak berkutat. Bahkan saat sahabatnya sedang berusaha untuk bisa kembali menyadarkannya.

"Jihan pasti sembuh kan?"

Gue yakin Sarah terluka, lebih dari gue dan Bunda. Suara lirih itu menyayat dada gue, rasanya seperti luka kecil yang ditabur garam. Walau gue ngga lihat bagaimana wajah Sarah secara langsung, ucapannya sudah cukup mendeskripsikan seberapa sedihnya dia sekarang.

"Jihan pasti bangun lagi, Sya!"

Gue mendunduk, kembali mengeluarkan suara isak saat Sarah berseru tangis. Kali ini, gue melangkah menjauh saat Bunda melepas pelukannya dari Ayah dan mendekap calon menantunya.

"Tan, Jihan pasti bangun lagi"

Apa yang harus gue katakan saat langkah justru gontai? Deru suara Sarah membuat gue terduduk di sudut lorong, menangis dengan luka akibat Jihan. Hanya ada seorang berdiri tegap didepan gue, menunduk menatap kesengsaraan belaka gue sebelum berjongkok untuk merapihkan rambut gue.

"Lo bilang Jihan baik baik aja"

Abiyan menarik gue kepelukannya, untuk pertama kali tanpa kata gue bisa rasakan gimana dia menyalurkan kesedihannya juga untuk turut berduka atas kecelakaan Jihan.

"Bi, lo jahat!" Gue memukul dada Biyan bahkan saat pria itu justru lebih mengeratkan pelukannya.

"Gimana kalau Jihan kenapa napa, Bi?!"

"Berdoa, Na. Tuhan pasti jabah doa lo" kali ini gue bisa rasakan usapan lembut di rambut gue, tepat saat gue memutuskan untuk berhenti menyalahkan keadaan. Suara sejuk yang sekali lagi pria itu lontarkan, membuat gue menghentikan tangis di pelukan.

"Berdoa sama sama ya?"

"Jihan abang yang baik, tapi kenapa cobaannya berat banget, Bi"

"Justru karena dia baik"

"Kenapa ngga adil banget?"

Biyan melepaskan pelukannya, kali ini tangan kekar itu mengusap air mata gue yang hampir kering. Menyaksikan bagaimana bengkak kedua mata gue dan pasti merah juga hidung gue.

"Tuhan tau apa yang terbaik, Na"

Malam ini akan jadi malam yang panjang untuk menangisi Jihan. Terlebih saat gue bisa pulih dan kembali menatap Sarah, seakan semua tangis kembali pecah melihat keterpurukan gadis itu.

Apa harus gue egois untuk tidak menampakkan kesedihan ini demi Sarah?

Lamunan gue terpecah saat Abiyan duduk disamping gue. Melihat beberapa pasien rumah sakit yang ada disekitaran taman dengan penderitaan dan atau justru kebahagiaan mereka masing masing.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, memang masih boleh berkeliaran jam segini?

"Udah sholat isya?"

"Baru aja," gue menoleh, menatap rambut pria itu yang masih cukup basah karena air wudhu "lo balik aja gapapa, kasihan tante dirumah sendiri"

"Lo mau disini aja? Mau balik sama gue ngga?"

"Nanti gue balik, kayanya" gue kembali mengalihkan pandangan.

"Inget ya, Na. Semua yang datang bakal pergi, yang dihidupkan akan mati, semuanya akan pulang ke Tuhan"

Gue kembali menitihkan air mata. Ngga siap kalo terima kata kata sejenis ini, terlebih dari mulut Biyan yang terdengar lebih sejuk dari dinginnya malan.

"Gue yakin Bang Jihan kuat, dia bakal bangun buat lo"

"Makasih, Bi"

"Udah jangan nangis lagi" Biyan tersenyum saat gue kembali menatapnya, namun kali ini dengan air mata yang baru saja menetes.

"Gimana ngga nangis sih saat anggota keluarga baru aja kecelakaan? Jangan ngaco deh, Bi" gue menyeka air mata.

"Iya maaf"

"Ngga usah minta maaf, gue bakal terus nangis sampe ngga bisa nangis lagi" ucap gue dengan sedikit kekesalan.

Terakhir kali gue ngelihat Sarah, seakan dunianya baru saja hancur, dan gue romantisasi hal itu. Tapi Biyan justru berpikir sebaliknya, pria itu beranggapan sikap yang gue, Sarah, dan Bunda lakukan hanyalah sebuah drama kecil yang tersirat.

Dia seperti Ayah, tidak bisa diajak diskusi soal kesedihan didunia. Tidak bisa mendramatisir yang terjadi tentang luka. Hanya bisa termenung dengan pikiran tentang Tuhan. Perihal meninggalkan dan ditinggalkan jawabannya adalah pasti, karena sekali lagi benar kata Biyan, yang datang akan pergi dan yang hidup akan mati.

"Ya udah ayo pulang, bilang dulu sama tante"

"Tadi udah ijin kok"

"Terus ngga pulang?"

Gue menghela napas sejenak sebelum beranjak, sedikit menunduk untuk mengisyaratkan Biyan bangun dari duduknya.

"Kan isya'an dulu"

"Sekarang udah?"

Gue menghela napas lagi dan lagi, sementara Biyan terkekeh melihat ekspresi kesal gue. Bergabung berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit.

"Ijin sampai kapan?"

"Sampai Jihan bangun"

"Emang bisa?"

Gue mendongak, menatap Biyan seakan dia tidak percaya dengan bualan gue barusan. Lagian bodoh juga jika pria itu percaya.

"Lo selalu percaya sama gue?"

"Percaya aja kalo elo mah"

"Hah, paling seminggu aja" gue melipatkan tangan didepan dada, melindungi tubuh dari udara dingin Jakarta yang menusuk tulang. Seperti cuma gue aja yang kedinginan, mungkin juga karena habis nangis seharian.

"Ambil motor dulu"

Gue menangguk berdiri didepan pintu utama rumah sakit, sementara Biyan mengambil motornya di parkiran.

Sambil menunggu Biyan, gue membuka ponsel yang sejak terakhir kali Biyan telfon tidak gue buka. Menampilkan beberapa pesan Natalia, Zidan, Juna, dan beberapa notifikasi media lain. Ada satu notifikasi yang tertinggal, pesan dengan nama Gibran yang baru saja muncul.

Sudah lama semenjak gue pindah ke Bandung, Gibran mengirim pesan lagi. Entah atas dasar apa, hanya saja pria itu mengirim pesan bertanya kabar tentang Jihan yang dia tau dari Biyan.

"Ayo naik"

Gue mendongak, menyelipkan kembali ponsel ke saku dan memilih tidak mengubris apapun.

1
suka baca
good
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!