Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Future Abilities
Setelah beristirahat sejenak, Agatha mencari cara untuk menyelinap keluar rumah.
"Aduh..." Agatha meringis, mencoba bangkit dari tempat tidur. Tubuhnya masih terasa sakit saat digerakkan.
Namun, matanya enggan terpejam, pikirannya dipenuhi bayangan buruk yang mungkin menimpa Larast.
Dengan langkah tertatih, ia keluar kamar. Matanya menyapu sekeliling, bergerak gesit dalam keheningan. Ibunya tak terlihat di sudut mana pun.
"Apa Ibu pergi ke pasar?" pikirnya.
"Yes!" Ia mengepalkan tangan, senyum tipis terukir di wajahnya.
Langkahnya dipercepat menuju pintu depan.
Cklek! Cklek! Cklek! Handle pintu ditarik berulang kali, namun tetap terkunci.
"Asem..." Ia mendengus kesal. Tanpa menyerah, Agatha mencari jalan keluar lain. Pikirannya tertuju pada dapur yang terhubung ke pintu belakang.
Cklek! Cklek! Cklek!
"Astaga..." Pintu itu juga terkunci, membuat Agatha semakin frustrasi.
"Berpikir... berpikir..." Sambil memijat pelipisnya, ia berusaha mencari solusi lain.
Pandangannya tertuju pada pintu kamar orang tuanya. "Oh, iya... kamar Emak ada jendelanya." Ia berjalan menuju kamar itu.
Matanya membulat, senyumnya merekah. "Akh... aduh... aduh," ia meringis, rahangnya terasa sakit saat mulutnya bergerak.
Melihat celah, Agatha segera membuka jendela kamar orang tuanya yang ternyata tidak terkunci. Ia melompat keluar, menahan sakit di sekujur tubuhnya.
Di halaman belakang, ia melihat motor ayahnya terparkir. "Asyik... motor nganggur, pasti Ayah naik mobil," batinnya. Ia bergegas mengambil helm, lalu menuju garasi untuk mengambil kunci motor yang biasa disimpan ayahnya di sebuah kotak.
Hap!
Kunci motor dilambungkan dan ditangkapnya dengan senyum bahagia. Agatha menyalakan mesin motor dan bergegas menuju rumah Larast, mencari informasi.
Brummm... Brummm...
Motor melaju, membelah jalanan. Di tengah perjalanan, ia melihat ibunya. Mata mereka bertemu. Ibunya yang mengenali motor ayahnya segera berteriak, "Agatha! Mau kabur ke mana lagi? Ya Tuhan... anak itu," keluhnya. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Agatha terus memacu motornya, mengabaikan panggilan ibunya.
Setibanya di mulut gang rumah Larast, Agatha melihat dua polisi berjaga. Ia mendekat, mencari tahu. "Selamat sore, Pak!" ucapnya dengan nada berat, sambil memberi hormat.
Kedua polisi itu membalas hormatnya.
"Jangan masuk! Komandan melarang siapapun masuk ke dalam," ucap salah satu polisi sambil merentangkan tangannya.
“Tapi, Pak, saya hanya ingin melihat kondisi ibunya Larast,” ucap Agatha, nada suaranya memohon.
Polisi itu tetap teguh, tak memberi celah sedikit pun. “Ibunya baik-baik saja, sudah pulang. Tinggalkan motor ini di sini, ini ongkos buat naik ojek!” Polisi itu mematikan mesin motor, mengambil kunci dari kontak, lalu menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan pada Agatha.
“Aduh, Pak, sebentar saja... mohon...” Agatha menangkupkan kedua tangannya, memohon dengan sangat.
Kedua polisi itu saling bertukar pandang, tampak ragu. “Baiklah, cepat ya, jangan lama-lama... setelah itu langsung pulang. Jangan pergi ke mana-mana,” Polisi itu membuka pintu pagar besi. “Komandan sudah bersama tim Cyber Crime menuju lokasi, jadi kamu tidak perlu ikut campur, Agatha,” pesannya dengan nada tegas.
“Apa? Jadi lokasi Larast sudah ditemukan?” Agatha terkejut, namun matanya berbinar bahagia.
Polisi itu hanya mengangguk singkat, enggan memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Em... Em…” Ibunya Larast, melihat Agatha, mendekat tergesa dengan wajah penuh harap. Ia meraih tangan Agatha, menggenggamnya erat. Dengan bahasa isyarat yang cepat, ia menyampaikan pesan. Menunjuk Agatha, lalu membuat gerakan mencari, seolah berkata, “Kamu tahu tentang Larast…” Kemudian, menangkupkan tangan di depan wajah, memohon sambil menunjuk ke arah gang, “Tolong... temukan putriku.” Air mata mengalir, genggamannya semakin erat, menyalurkan harapan dan keputusasaan.
Agatha menggenggam tangan Ibunya larast, mencoba menguatkan. Dengan bahasa gerakan isyarat, mengangguk mantap, menunjuk diri sendiri, “Pasti…” Meletakkan tangan di dada, mengusap lembut, “Ibu tenang…” lalu menunjuk diri dan polisi, membuat gerakan mencari, lalu mengepalkan tangan ke atas, “Kami akan menemukan Larast.” Agatha menatap mata Ibu Larast, meyakinkan dengan kesungguhan.
Ibunya Larast masih menggenggam tangan Agatha dengan erat, menyalurkan segala harapan dan kecemasannya. Namun, tiba-tiba...
Bug!
Genggaman itu terlepas. Tubuh Ibunya Larast limbung dan ambruk di depan Agatha. Agatha tercekat, jantungnya berdegup kencang karena terkejut.
“Pak, tolong!” teriak Agatha, memanggil polisi yang berjaga di depan pagar.
Teriakan Agatha membuat kedua polisi itu bergegas masuk, wajah mereka dipenuhi tanda tanya.
“Loh? Apa yang kamu lakukan? Kenapa bisa pingsan?” tanya salah seorang polisi, nada suaranya bercampur curiga dan panik.
“Nggak tahu, Pak! Tiba-tiba saja. Tolong bantu angkat ke dalam!” ucap Agatha, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar tak karuan.
Polisi itu membopong tubuh Ibunya Larast masuk ke dalam rumah. Dengan wajah cemas, Agatha mengikuti dari belakang. Insting seorang dokter yang sudah tertanam kuat dalam dirinya, meski berada di masa lalu tanpa peralatan medis canggih, bergejolak hebat.
Agatha berlutut di sisi Ibunya Larast yang terbaring lemah di karpet usang. Tanpa ragu, ia segera memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan. “Nadinya lemah dan tidak teratur,” gumamnya lirih, dahinya berkerut. Kemudian, ia memeriksa pernapasannya. “Dangkal dan cepat,” bisiknya lagi, semakin khawatir.
Dengan cekatan, Agatha membuka satu kancing pakaian Ibunya Larast, memberi ruang agar wanita itu bisa bernapas lebih leluasa. Kemudian, Agatha bergegas masuk ke dalam dapur, mencari lap bersih dan baskom yang diisi air hangat dari termos. Setiap gerakannya cepat dan efisien.
Agatha kembali dengan peralatan sederhana yang ia temukan. Ia mencelupkan kain lap ke dalam air hangat, lalu meremasnya hingga tidak terlalu basah. Dengan lembut, ia mengompres dahi dan leher Ibunya Larast.
“Ini akan membantu menenangkan dan menurunkan suhu tubuhnya,” jelas Agatha kepada kedua polisi yang memperhatikan dengan seksama. Polisi itu hanya mengangguk, terkesan dengan ketenangan dan pengetahuannya Agatha.
Kemudian, Agatha membasahi bibir Ibunya Larast dengan air hangat, mencegah dehidrasi. Matanya menyapu ruangan lagi, mencari sesuatu yang bisa membantu. Agatha mengambil bantal tipis yang tergeletak di sofa. “Kita tinggikan sedikit posisinya agar aliran darah ke otaknya lebih lancar,” jelas Agatha. Polisi itu mengangguk lagi, semakin mengagumi kehebatan anak komandannya.
Beberapa saat kemudian, Ibunya Larast mulai menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Kelopak matanya bergerak-gerak, lalu perlahan terbuka. Agatha mendekatkan wajahnya dan berbisik lembut ke telinga wanita itu. “Tenang, Bu... Tarik nafas dalam-dalam... Keluarkan perlahan…” Ia mencoba memandu wanita itu mengatur pernapasannya.
Agatha mengecek lagi denyut nadi Ibunya Larast, dan kali ini terasa lebih kuat dan teratur. Lega, ia menghela napas.
“Pak, sebaiknya Ibunya Larast segera dibawa ke rumah sakit,” ucap Agatha. “Saya khawatir beliau akan mengalami serangan panik lagi tanpa pengawasan medis yang memadai. Ini demi keselamatannya.”
Tanpa menunggu lebih lama, kedua polisi itu dengan sigap membopong tubuh Ibunya Larast menuju mobil patroli yang terparkir di depan gang. Agatha dengan cepat membuka pintu belakang mobil dan masuk.
Sementara, seorang polisi ditugaskan untuk berjaga di depan rumah Larast, memastikan tidak ada orang yang keluar atau masuk tanpa izin.
Mobil patroli membawa Agatha dan Ibunya Larast melaju dengan cepat menuju rumah sakit terdekat, membelah jalanan kota yang mulai ramai.
Bersambung.
eh itu jmnya nyla lgi sprt waktu dia mau pergi ke masa lalu ya .
ada apa iti?