Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 22.
“Tidak… tidak mungkin…” Suara Rama begitu lirih, nyaris tak terdengar. Bibirnya bergetar hebat, kedua tangannya mengepal lalu mencengkraam rambutnya sendiri seolah ingin mencabut paksa derita yang mencaabik jiwanya. Napasnya tersengal, matanya memerah menyala oleh gejolak batin, namun air mata enggan jatuh. Seakan tubuhnya masih menolak mengakui kenyataan getir yang baru saja menelannya hidup-hidup.
“Rama…” Erika melangkah pelan, tangannya terulur ragu.
“JANGAN MENDEKATIKU…!” Suara Rama memecah udara. Lantang, parau dan retak dalam satu waktu.
Ruangan sontak membeku.
Bahunya bergetar hebat, sorot matanya liar, seolah mencari pegangan di dunia yang tiba-tiba kehilangan fondasi. “Selama ini, ternyata aku hidup dari kebohongan. Aku... anak dari perselingkuhan dan dari para penipu! Aku mencurigai anak yang dikandung Alina… padahal aku sendiri adalah hasil dari aib hina! Kenapa Aku harus lahir dari wanita tak berperasaan yang selalu menyakiti hati istriku!?“
Suaranya tercekat.
Ia terjatuh berlutut, kedua tangannya menghantaam lantai. Tubuhnya terguncang hebat, kepalanya tertunduk dalam dan dadanya naik turun tak terkendali.
“Kenapa aku harus lahir dari semua kebusukan ini?!” serunya lirih, namun menggema tajam hingga menusuk setiap hati yang mendengar.
Air mata Rama akhirnya luruh, jatuh tanpa henti membasahi pipi yang sudah memerah oleh gemuruh emosi.
Kesunyian meraja.
Hanya isak tangis Rama yang bergema, memilukan dan menyesakkan.
Sementara itu, Davin berdiri tenang. Sorot matanya hanya tertuju pada Alina dan Daffa. Suaranya lembut, namun tegas. “Sayang… kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil mengeeluus lembut kepala Daffa.
Alina mengangguk pelan, menatap anaknya yang telah mulai tenang dalam pelukannya. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti anakku lagi…”
Davin merangkul keduanya erat, dalam pelukan yang sarat keteguhan dan perlindungan. “Tidak, sayang. Selama aku ada, tak seorang pun akan bisa menyentuh kalian.”
Rama hanya bisa memandangi kebersamaan itu, pemandangan sederhana yang semakin menyayaat hatinya. Kebahagiaan kecil yang seharusnya menjadi miliknya, andai ia tidak dibutakan oleh ego dan kebencian pada segumpal janin. Kini, semua telah terlambat.
Pandangannya kabur oleh air mata yang kembali menggenang, ia ngin mendekat dan ingin menyentuh anaknya sekali lagi. Namun ia tahu, kehadirannya hanya akan melukai Alina lebih dalam. Dengan lunglai, Rama bangkit dan berbalik pergi meninggalkan mereka semua dalam diam.
Dan untuk pertama kalinya… Alina melihat punggung itu pergi tanpa kata. Ada luka yang kembali terkoyaak di hatinya, namun di sisi lain ada kekuatan yang lahir demi melindungi anaknya.
Alina takkan membiarkan siapapun, bahkan masa lalunya sendiri... merebut Daffa dari sisinya lagi.
Prabu melihat putranya pergi dengan wajah terluka, lalu ia menatap dingin ke arah keluarga Davin. “Semuanya salah kalian! Tunggu balasan dari kami!“
Setelah berkata demikian, Prabu menarik Dita pergi beserta anak buahnya.
Erika sendiri telah berlari menyusul Rama, namun pria itu telah hilang tanpa jejak.
.
.
.
Beberapa hari kemudian...
Erika datang ke kediaman Mahesa. Wajahnya pucat, kelelahan dan penuh kecemasan. Ia meminta bertemu dengan Alina.
Alina sempat enggan, luka lama masih belum benar-benar sembuh. Namun kini, ia berpikir... mungkin Erika ditakdirkan menjadi alat untuk memutuskan ikatan jodohnya dengan Rama.
“Untuk apa kamu ingin bertemu dengan ku? Apa suamiku sudah mengirim pengacara nya untuk menuntut perbuatan mu padaku lima tahun lalu?“
Erika mengangguk pelan. “Aku sudah menerima panggilan dari kepolisian. Aku juga sudah diperiksa, tapi belum ditahan. Aku siap menjalani prosesnya… Aku tak ingin menjadi lebih buruk dari ini. Tapi, hari ini aku datang bukan soal hukum. Aku ingin memberitahumu, bahwa Rama menghilang. Dan aku rasa… itu salahku.”
Alina menaikkan alisnya, tatapannya tajam. “Itu bukan urusanku lagi. Antara aku dan Mas Rama, kini hanya ada satu ikatan. Hanya tentang anak kami, Daffa.”
“Aku mengerti, Lin. Tapi aku takut… sebenarnya sebelum Rama benar-benar menghilang tanpa kabar, aku sempat memberitahunya lewat pesan jika ibunya juga turut menjebak mu lima tahun lalu. Aku bilang, jika Tante Dita memanfaatkan aku agar kalian berpisah. Dan… aku memang berhasil. Tapi aku juga sudah memberikan kesaksian pada polisi bahwa Tante Dita turut terlibat. Alina… maafkan aku.”
Alina hanya menarik nafas, ia tidak terkejut mendengar mantan mertuanya ikut terlibat sebab Dita memang membencinya sejak awal.
“Jadi, kau khawatir Rama melakukan sesuatu yang nekat setelah tahu ibunya pun mengkhianatinya?”
Erika mengangguk lemah. “Aku memang bersalah, aku terlalu mencintainya sampai kehilangan akal dan terobsesi. Tapi setelah dia kini menghilang, aku sadar... cinta tidak harus memiliki. Dan aku… hanya ingin dia hidup dengan baik.”
Dengan mata yang mulai basah, Erika menatap Alina dalam. “Kalau kau tahu keberadaan Rama… tolong, kabari aku. Sepertinya aku akan ditahan sebentar lagi, aku hanya ingin tahu dia masih hidup.”
Alina termenung sejenak, ia sempat ingin menolak, namun… bayangan Daffa yang kerap bertanya tentang ayah kandungnya beberapa hari ini membuat hatinya luluh. Jika bukan untuk Erika, maka ini akan ia lakukan demi putranya.
Dan akhirnya, ia mengangguk.
.
.
.
Di sebuah rumah megah yang berdiri kokoh di tengah kota, suasana mencekam menggantung di udara. Seorang pria paruh baya tampak mondar-mandir di ruang kerja bernuansa klasik. Sorot matanya gelisah, rahangnya mengeras menahan kekhawatiran yang makin membuncah di dada.
Sudah hampir seminggu dan tak ada satu pun kabar dari Kirana, putri semata wayangnya.
Gadis itu... terlalu rapuh. Terlalu mudah hancur sejak Davin menolak cintanya.
Bukan karena Davin kejam, tetapi karena Kirana mencintai dengan cara yang keliru. Cinta yang membabi buta dan tak tahu batas. Obsesi yang menggila telah menjeratt akalnya, dan ketika kabar pernikahan Davin sampai ke telinganya... jiwa Kirana kian terpecah.
“Tuan Dharma... maafkan saya. Kami belum menemukan jejak Nona Kirana, hingga kini.”
Tuan Dharma menghentikan langkahnya yang mondar-mandir, matanya yang mulai keriput menatap tajam ke arah lelaki itu.
“Aku mulai curiga... Kirana kemungkinan besar membuntuti Davin. Apa saja aktivitas Davin akhir-akhir ini?” Suaranya terdengar rendah namun tegas, mengandung ancaman yang membungkus kekhawatiran.
“Setelah pernikahan, Tuan Davin pergi berbulan madu. Kini ia sudah kembali dan beraktivitas seperti biasa. Namun, ia masih tinggal di kediaman keluarga Mahesa, bukan di rumah pribadinya.”
Dharma menyipitkan mata, nafasnya tertahan sejenak. “Periksa tempat bulan madu Davin. Jika dugaanku benar, Kirana mungkin meninggalkan jejak di sana. Cari tahu semuanya, segala hal sekecil apa pun. Temukan dia... sebelum semuanya terlambat!”
“Segera, Tuan.”
Setelah pelayan itu berlalu, Tuan Dharma berdiri mematung di depan jendela. Jemarinya menggenggam erat tongkat kayu mahoni, seolah mencoba menahan gemuruh cemas yang mulai menguasai dadanya.
Kirana belum berhenti mengonsumsi obat penenangnya, obat antidepresan. Jika Kirana putus meminum obat dan pikirannya kacau... maka segalanya bisa terjadi.
Dan... kemungkinan terburuk, Kirana bisa melukai orang lain. Termasuk menyakiti Alina, istri Davin yang kini menjadi pusat luka putrinya.
🌺🌺🌺
__Bersambung...
Jadi gugatan cerai tetap berjalan sesuai keinginan Galang. Tapi sekarang bukan kelegaan yang Galang dapatkan, hanya penyesalan yang dia raih.