Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlahan Bangkit
Hujan rintik-rintik membasahi jendela saat Nayra duduk di ruang kerja kecil di pojok lantai dua.
Di hadapannya terbuka sebuah buku sketsa lamamasih berisi gambar-gambar dari masa kuliah.
Gaun pengantin, setelan kerja wanita modern, gaun anak kecil.
Semua dengan coretan luwes tangan Nayra.
Tangannya menyentuh kertas itu perlahan, seolah menyentuh kembali bagian dari dirinya yang sempat hilang.
“Mama?” suara kecil memanggil dari arah pintu.
Alma berdiri dengan piyama ungu, mata bulat mengantuk, boneka rubah digendong erat di pelukan.
Nayra tersenyum, menutup bukunya, lalu meraih putrinya ke pangkuan.
“Kok belum tidur, sayang?”
“Alma mimpi mama hilang,” gumam Alma.
Nayra mengecup pipinya. “Mama nggak akan hilang. Mama cuma... lagi cari sedikit cahaya.”
Alma tak mengerti. Tapi pelukannya erat dan untuk Nayra, itu cukup sebagai pengingat bahwa mimpi boleh besar, tapi rumah tetap di sini. Di pelukan kecil yang hangat ini.
***
Malam itu, Nayra duduk bersama Arka di ruang tengah sambil menonton film dokumenter fashion. Sesekali ia memberi komentar konyol tentang model yang bajunya mirip sprei hotel.
Arka tertawa. “Kamu harus mulai kerja di industri fashion lagi, Nay. Suaramu udah nggak sabar ngebully model dari tadi.”
Nayra diam sejenak. Lalu, pelan-pelan ia berkata,
“Ka… boleh aku jujur?”
Arka menoleh, fokus. “Selalu.”
“Aku pengen mulai lagi. Bukan kerja full, bukan yang tiap hari pergi. Tapi aku pengen... punya ruang untuk berkarya. Entah buka butik kecil atau jual sketsa.”
Arka tersenyum, tapi menunggu.
“Aku takut, Ka. Takut gagal. Takut... jadi ibu yang nggak hadir. Alma masih kecil. Aku nggak mau jadi orang tua yang pergi waktu dia butuh aku.”
Arka mengusap tangan Nayra. “Kamu tahu... aku jatuh cinta sama kamu pertama kali bukan cuma karena kamu lucu atau bawel. Tapi karena kamu punya api dalam dirimu.”
Nayra menunduk.
“Kamu itu punya sayap, Nay. Jangan patahkan sendiri. Soal Alma... kita bisa atur. Aku bisa bantu. Kita bisa cari jam fleksibel. Bikin workspace di rumah. Bahkan bikin brand bareng, kalau kamu mau.”
Nayra menatap Arka. “Serius?”
Arka mengangguk. “Kita bisa namai brand-nya ‘NAKA’ dari singkatan nama kita, Nayra dan Alma.”
Nayra tergelak. “Itu nama brand atau nama susu bayi sih?”
Tapi dalam tawanya, ada binar baru.
Semacam keyakinan kecil yang mulai tumbuh kembali.
***
Beberapa hari kemudian, Nayra mulai membongkar lemari lama tempat dia menyimpan bahan-bahan kain, benang, pita, dan ratusan sketsa dari masa lalu.
Alma ikut-ikutan, menempel kain di pipinya dan berkata, “Mama, Alma mau jadi manekin!”
Nayra tertawa. “Manekin nggak bisa ngobrol terus kayak kamu, sayang.”
Alma mengerucutkan bibir, “Tapi manekin ini cantik.”
“Cantik banget,” bisik Nayra sambil mencium pipinya.
Ia merasakan jiwanya yang dulu perlahan kembali.
Tapi kali ini lebih dewasa, lebih lengkap, karena ada suara kecil yang memanggilnya Mama dan ada suami yang tak lagi hanya ‘CEO’, tapi juga penjaga hatinya.
Nayra memulai dari kecil. Menjual sketsa desain digital di platform online.
Dibantu Arka, ia membuat akun sosial media khusus karya-karyanya.
Awalnya hanya satu pesanan dalam seminggu. Lalu dua. Lalu pesan masuk dari butik kecil di Yogyakarta yang tertarik memproduksi salah satu desainnya.
Saat Nayra mendapat kabar itu, dia sedang menyuapi Alma.
“Apa, Mah?” tanya Alma yang melihat ibunya mendadak melongo.
“Mama.. laku!” teriak Nayra dan dia langsung menari-nari keliling meja makan sambil masih pegang sendok.
Arka yang baru masuk rumah terdiam melihat istrinya jingkrak-jingkrak pakai daster robek di ujung.
“Ada selebrasi dadakan, nih?”
“Brand pertamaku laku!” seru Nayra sambil memeluk suaminya.
Arka mengangkat tubuh Nayra seperti baru menang pertandingan tinju.
“Makanya, sayap jangan dilipat terus, Nyonya CEO!”
Malamnya, Nayra menulis jurnal lagi,
"Hari ini aku masih takut. Tapi aku lebih berani dari kemarin. Hari ini aku masih belajar. Tapi aku juga sudah melangkah dan hari ini aku tahu bahwa menjadi ibu, istri, dan perempuan dengan mimpi bukan hal yang harus dipilih salah satu. Aku bisa jadi semua. Pelan-pelan, tapi pasti."
***
Nayra duduk di depan laptop dengan wajah kecut. Mata cekung, rambut dikuncir asal, dan tangan kanan masih belepotan sisa lem dari sesi crafting bersama Alma tadi pagi.
Di layar, desain yang ia buat sejak dua malam lalu baru saja ditolak oleh klien pertamanya.
Alasannya?
“Kurang sesuai selera kami. Terlalu feminin. Coba lebih bold dan mature.”
“Lha aku ini feminin! Aku bukan mesin desain!” gerutu Nayra sambil memukul bantal sofa.
Alma yang sedang menyusun puzzle menoleh. “Mama marah?”
Nayra buru-buru senyum. “Enggak, sayang. Mama cuma… ehm… kesel sama komputer.”
“Disuruh minta maaf ya sama komputer.”
Nayra tertawa kecil, lalu mengacak rambut Alma. “Komputer udah mama maafin kok.”
Tapi jauh dalam hatinya, Nayra mulai merasa jenuh.
Bangun pagi, urus rumah, mandiin Alma, nyuapin, lalu nyolong waktu buat buka laptop, revisi desain, kirim proposal, pasang konten medsos.
Malam baru bisa mandi. Itu pun kadang sambil bawa Alma yang nggak mau ditinggal.
Ia pernah mimpi punya studio sendiri, duduk di ruang yang harum dan tertata, pakai baju santai dan musik instrumental.
Tapi kenyataannya?
Ia revisi desain di meja makan, sambil nginjak serpihan biskuit dan ngelap tumpahan susu.
Di minggu ketiga, Nayra nekat ambil proyek pre-order baju couple ibu-anak.
Ia buat desain, buka sistem pre-order online, dan hanya ada 3 pemesan.
Padahal target awal 30.
“Nay, jangan kecewa dulu,” hibur Arka sambil bantu cuci piring.
“Gimana enggak? Tiga? Itu bahkan belum bisa bayar tukang jahit!”
“Kamu mulai dari nol, sayang yang penting kamu jalan. Bukan hasilnya dulu.”
Nayra mengangguk pelan. Tapi tetap saja ada suara dalam kepala yang mencibir.
“Kamu pikir kamu siapa? Influencer?”
“Kamu itu ibu rumah tangga biasa.”
“Udah bersyukur aja di rumah, ngurus anak.”
Pagi berikutnya, Nayra harus kirim bahan kain ke tukang jahit. Tapi Alma demam.
“Mama…” suara Alma serak. “Ngantuk…”
Nayra panik. Suhu anaknya 38,6°C.
Ia mengurungkan niat keluar rumah. Semua urusan bisnis dibatalkan hari itu.
Ia menggendong Alma sambil menatap layar ponsel yang penuh notifikasi telat kirim.
Darahnya seperti direbus. Tapi bukan karena emosi. Melainkan karena rasa bersalah.
“Aku gagal lagi…”
“Ibu yang buruk. Pebisnis yang gagal.”
Tangisnya pecah pelan di balik kepala Alma yang bersandar di dadanya.
Malamnya, Arka pulang membawa sekotak kue dan satu kejutan kecil.
“Ini buat CEO butik kesayanganku,” katanya, menyerahkan sebuah kotak kecil.
Nayra membuka isinya. Sebuah plakat kayu dengan tulisan sederhana.
“Kamu cukup.”
“Kamu bisa gagal. Tapi kamu tetap layak dicoba lagi.”
Nayra langsung menangis.
“Ka… kenapa kamu baik banget?”
Arka mencium keningnya. “Karena kamu satu-satunya orang yang tetap tinggal di samping aku, waktu aku nggak pantas dicintai.”
Beberapa hari kemudian, Nayra mulai menata ulang ruang belakang rumah menjadi mini workshop.
Alma dibiarkan ikut menggambar, kadang nyoret-nyoret kain, kadang tidur di lantai. Sambil di awasi oleh Mbak Intan.
Kain tetap kusut.
Desain tetap direvisi.
Kadang dia lupa makan.
Kadang frustasi karena feedback klien yang berubah-ubah.
Tapi hari-hari itu terasa… hidup.
Dan perlahan, Nayra tidak lagi terlalu keras pada dirinya sendiri.
Dia belajar menerima bahwa gagal bukan tanda menyerah, tapi tanda sedang bergerak.
Satu malam, Alma tidur lebih awal.
Nayra duduk di meja kerja dengan teh hangat dan mata letih.
Arka masuk pelan dan memeluknya dari belakang.
“Gimana CEO hari ini?”
“Masih miskin klien,” jawab Nayra.
“Tapi kaya keberanian,” sahut Arka sambil tersenyum.