Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minta Maaf Tapi Begitu?
Novia menatap Januar yang berdiri di hadapannya, wajahnya menunjukkan keputusasaan. Permohonan Januar untuk membebaskan Diana, ibunya, membuat hati Novia serba salah. Di satu sisi, ia mengingat semua perlakuan kejam Diana: hinaan, fitnah, pengusiran, hingga percobaan tabrak lari. Rasa sakit dan dendam masih membekas. Namun, di sisi lain, ia melihat Januar yang terpuruk, dan terbersit rasa iba. Ia tahu, meskipun Diana jahat, ia adalah ibu dari Januar.
Novia menghela napas panjang. Ia tahu keputusannya ini akan menjadi dilema besar baginya. Jika ia menolak, Diana akan terus mendekam di tahanan, dan itu mungkin akan memperburuk kondisi Januar. Jika ia setuju, ia merasa seolah membiarkan kejahatan tak dihukum, dan mungkin Diana akan kembali mengganggunya.
Setelah beberapa saat berpikir keras, Novia akhirnya mengangguk. Namun pada akhirnya ia pun setuju untuk membantu. "Baiklah, Januar," katanya pelan, suaranya terdengar berat. "Saya akan datang ke kantor polisi bersamamu."
Januar mengangkat kepalanya, matanya berbinar penuh harap. "Benarkah, Novia? Kamu serius?"
"Iya," jawab Novia. "Tapi ada syaratnya."
Januar mengangguk cepat. "Apa saja, Novia? Aku akan lakukan apa pun."
"Pastikan Ibu Diana tidak akan mengganggu saya dan keluarga saya lagi. Jangan pernah lagi menghina saya di depan umum. Dan pastikan dia minta maaf atas semua perbuatannya," ucap Novia tegas. Ia ingin memastikan ada efek jera, bukan sekadar pembebasan.
Januar mengangguk mantap. "Aku akan pastikan, Novia. Aku akan bicara dengannya. Terima kasih banyak, Novia. Kamu... kamu sangat baik."
Rasa lega terpancar jelas di wajah Januar. Ia menatap Novia dengan tatapan penuh syukur. Januar berterima kasih pada Novia berkali-kali, mengulang-ulang kata terima kasih seolah tak percaya Novia akan membantunya.
Keesokan harinya, Novia dan Januar berangkat menuju kantor polisi. Sepanjang perjalanan, keduanya sama-sama diam. Novia merenung, memikirkan apa yang akan terjadi di sana. Ia tahu Kenzi pasti tidak akan setuju dengan keputusannya ini. Kenzi telah berusaha keras untuk melindungi Novia, dan sekarang Novia sendiri yang akan mengintervensi proses hukum.
Setibanya di kantor polisi, mereka langsung menemui penyidik yang menangani kasus Diana. Januar menjelaskan niat Novia untuk mencabut laporannya. Penyidik terkejut, namun tetap profesional.
"Saudari Novia, apakah Anda yakin ingin mencabut laporan ini?" tanya penyidik. "Ini adalah kasus serius."
Novia mengangguk. "Iya, Pak. Saya ingin memberikan kesempatan kedua. Dengan syarat, pihak terlapor tidak akan mengulangi perbuatannya dan bersedia meminta maaf secara tulus."
Penyidik menatap Novia sejenak, lalu menghela napas. "Baiklah. Kami akan mencoba memediasi kembali. Tapi perlu diingat, jika ada pengulangan, proses hukum akan dilanjutkan dengan lebih berat."
Novia mengangguk. Ia tahu risikonya. Namun, ia berharap keputusannya ini bisa mengakhiri lingkaran dendam yang tak berujung ini. Ia hanya ingin kedamaian.
****
Di ruang mediasi kantor polisi, suasana kembali tegang. Diana duduk dengan wajah masam, matanya menatap tajam ke arah pintu saat melihat Novia masuk bersama Januar. Raut wajah Diana jelas menunjukkan kemarahan yang belum padam. Ia nampak hendak memaki Novia begitu melihatnya.
"Untuk apa wanita ini datang?!" sembur Diana, suaranya terdengar ketus.
Novia mengabaikan Diana, ia melangkah maju dan duduk di samping meja. Penyidik mencoba mengambil alih kendali. "Ibu Diana, Saudari Novia datang ke sini untuk memberikan keterangan terkait kasus Anda."
"Keterangan apa lagi?! Dia itu pembohong!" teriak Diana, emosinya kembali memuncak. Ia hendak berdiri dan menghampiri Novia, namun Januar dengan cepat menahan lengannya.
Januar mendekatkan mulutnya ke telinga ibunya. Januar membisikkan pada ibunya sesuatu dengan nada penuh peringatan. "Bu, dengarkan aku. Kalau Ibu tidak mau ditahan, Ibu harus menuruti apa kata Novia. Kenzi itu sudah sangat berkuasa. Kita tidak punya pilihan lain." Ia juga mengingatkan ibunya tentang konsekuensi hukum yang lebih berat jika Diana tetap keras kepala.
Bisikan Januar, yang mungkin juga berisi ancaman halus tentang reputasi dan kehidupannya jika sampai ditahan, perlahan meredakan amarah Diana. Wajahnya yang tadinya merah padam kini sedikit memucat. Ia menatap Januar, lalu melirik ke arah Novia dengan tatapan penuh kebencian bercampur keterpaksaan.
Setelah bisikan Januar, Diana menghela napas kasar. Ia kembali duduk, namun tubuhnya masih kaku. Penyidik menatap Diana. "Ibu Diana, apakah Anda bersedia meminta maaf kepada Saudari Novia?"
Diana terdiam sejenak. Lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan kata maaf kepada wanita yang sangat ia benci. Namun, ia tahu ini adalah satu-satunya jalan keluar.
Dengan suara yang sangat pelan dan terpaksa, diana kemudian meminta maaf pada novia walau terlihat terpaksa. "Baiklah... saya minta maaf," ucap Diana, matanya tak menatap Novia, melainkan ke arah dinding di depannya. Nadanya datar, tanpa sedikit pun ketulusan.
Novia menatap Diana. Ia tahu permintaan maaf itu tidak tulus, namun setidaknya Diana mengucapkannya. "Saya menerima permintaan maaf Anda, Bu Diana," kata Novia, nadanya tenang dan terkontrol.
Penyidik mengangguk. "Baiklah. Dengan adanya pencabutan laporan dari Saudari Novia dan permintaan maaf dari Ibu Diana, maka kasus tabrak lari ini kami selesaikan secara kekeluargaan. Namun, kami akan tetap memantau Ibu Diana. Jika ada pengulangan tindakan serupa, kami tidak akan segan untuk kembali memproses secara hukum."
Diana hanya diam, mengangguk enggan. Ia masih terlihat kesal, namun terpaksa menuruti. Ia tak berani lagi berteriak atau membuat ulah di hadapan polisi yang sudah siap mengamankannya. Januar menghela napas lega. Ia berhasil menyelamatkan ibunya dari jeruji besi, setidaknya untuk saat ini.
Setelah proses mediasi singkat itu selesai, Novia dan Januar keluar dari ruangan. Januar kembali mengucapkan terima kasih pada Novia.
"Novia, terima kasih banyak. Kamu sudah banyak membantu," kata Januar.
Novia hanya tersenyum tipis. "Sama-sama, Januar. Semoga ini yang terakhir."
****
Suasana di rumah kontrakan baru Novia terasa lebih tenang dan damai. Setelah drama dengan Diana dan Bu Desi sedikit mereda, meskipun masih meninggalkan bekas luka, keluarga itu mencoba menata kembali hidup mereka. Suryani dan Tarman berusaha keras membuat rumah baru itu nyaman, meskipun barang-barang mereka masih terbatas.
Suatu sore, saat Suryani sedang merapikan dapur dan Tarman sedang membaca koran di teras, sebuah mobil van hitam berhenti di depan rumah mereka. Dua orang pria bertubuh tegap turun dari van, membawa beberapa kotak besar. Mereka menghampiri Suryani dengan senyum ramah.
"Selamat sore, Ibu Suryani? Bapak Tarman?" sapa salah satu pria itu sopan.
Suryani mengerutkan kening. "Iya, saya sendiri. Ada apa, ya?"
"Kami diutus oleh Bapak Kenzi. Beliau mengirimkan ini untuk Bapak dan Ibu," kata pria itu sambil menunjuk kotak-kotak di belakangnya.
Suryani dan Tarman saling pandang, terkejut. Kenzi tidak datang secara langsung, namun ia mengirim seseorang untuk mengantarkannya ke rumah kontrakan keluarga Novia. Rasa penasaran bercampur haru menyelimuti mereka.
"Untuk kami?" tanya Suryani tak percaya.
"Iya, Bu. Ini semua hadiah dari Kenzi untuk Bapak dan Ibu," jawab pria itu.
Kedua pria itu mulai menurunkan kotak-kotak dari van. Suryani dan Tarman hanya bisa terpaku melihat banyaknya barang yang dibawa. Ada kotak-kotak besar yang berisi makanan pokok seperti beras, minyak, gula, dan berbagai bumbu dapur. Ada pula bungkusan-bungkusan berisi pakaian baru yang terlihat bagus, baik untuk Suryani, Tarman, maupun Novia.
Kemudian, mereka juga menurunkan beberapa kardus yang berisi alat rumah tangga seperti panci baru, wajan, set pisau, bahkan sebuah kompor gas kecil yang masih terbungkus rapi. Ada pula satu set meja makan lipat dan beberapa kursi plastik, yang sangat mereka butuhkan.
"Ini... ini terlalu banyak, Nak," kata Suryani, matanya mulai berkaca-kaca.
"Bapak Kenzi ingin memastikan Bapak dan Ibu nyaman di tempat baru ini. Beliau juga berpesan agar Bapak dan Ibu tidak sungkan menerima ini," jelas pria itu.
Ketika semua barang sudah berada di dalam rumah, Suryani dan Tarman mulai membukanya satu per satu. Setiap kali mereka menemukan sesuatu yang baru, air mata mereka menetes. Ini bukan hanya tentang nilai barang-barang itu, melainkan tentang ketulusan hati Kenzi yang selalu ada untuk mereka, bahkan tanpa diminta.
"Ya Allah, Mas... Kenzi ini memang malaikat tak bersayap," isak Suryani, memeluk salah satu bungkusan pakaian baru. "Dia tahu apa yang kita butuhkan, padahal kita tidak pernah bilang."
Tarman mengangguk, matanya juga berkaca-kaca. "Betul, Bu. Kita beruntung sekali Novia bertemu orang sebaik Kenzi. Dia sudah terlalu banyak membantu kita."
...baca nya cerita nya penuh dgn caci maki