Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Istana Hanbei, Paviliun Baihua (Seratus Bunga)
Hari pertama Wei Lian sebagai Permaisuri resmi dimulai bukan dengan pesta atau kemewahan, melainkan dengan rapat pagi bersama para kepala pelayan, tabib istana, dan bendahara istana dalam.
“Kita mulai dari hal terkecil,” ucap Wei Lian sambil menyisir daftar panjang di hadapannya. “Dapur istana mencatat pemborosan dalam pengadaan bahan jamuan setiap minggu. Namun dalam laporan dapur utama, hanya separuh dari bahan itu digunakan.”
Kepala pelayan dalam menelan ludah. “Yang Mulia… itu hanya—”
“Salah hitung?” Wei Lian memotong tenang. “Kalau begitu, besok dapur akan diaudit. Jika terbukti bersih, tidak akan ada hukuman. Tapi jika ada satu catatan saja yang tidak sesuai... maka aku yang akan turun langsung memeriksa.”
Semua orang langsung menunduk dalam-dalam.
—
Tiga hari setelah penobatan
Wei Lian tak sekadar menjadi simbol. Ia hadir dalam setiap sidang yang menyangkut kebutuhan rakyat. Ia meminta laporan dari wilayah-wilayah miskin di perbatasan, mempelajari persoalan pertanian, dan bahkan mendatangi gudang pangan bersama Jenderal Wei secara mendadak.
“Aku tidak ingin hanya tahu dari laporan,” ujarnya pada Jenderal Wei di sela pemeriksaan. “Aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri, sebelum memutuskan sesuatu.”
Jenderal Wei mengangguk dengan bangga. “Kau tidak pernah berubah, putriku. Kuat, keras kepala… dan sekarang lebih bijaksana.”
Wei Lian tersenyum kecil. “Ayah mengatakannya seperti aku tidak pernah membuat masalah sebelumnya.”
“Saat kecil, kau melempar sepatu ke kepala guru sastra karena kau bosan belajar syair,” balas sang ayah tenang.
Keduanya tertawa—tawa yang dulu seolah tak mungkin mereka rasakan kembali, dan kini menjadi bukti bahwa luka keluarga mereka perlahan pulih.
—
Di kediaman Mo Yichen malam itu
Kaisar Hanbei tengah membacakan gulungan dari para pengamat langit yang memperingatkan badai besar akan datang dalam waktu dekat—bukan hanya badai cuaca, tapi juga tanda dari negeri-negeri tetangga yang diam-diam memperkuat pasukan.
“Ada gerakan dari selatan?” tanya Wei Lian yang baru masuk membawa nampan berisi teh hangat.
“Ya. Negara Xi menambah pasukan di wilayah perbatasan timur. Mereka tahu kita sedang dalam masa transisi.”
Wei Lian duduk di sisinya. “Kalau begitu, kita kirim utusan sebelum mereka bergerak. Tunjukkan bahwa Hanbei tidak sedang lemah—justru lebih stabil dari sebelumnya.”
Mo Yichen memandangnya lekat-lekat.
“Setiap kali kau bicara seperti itu, aku makin yakin… aku tak memilihmu sebagai istri. Tapi sebagai belahan takhtaku.”
Wei Lian menghela napas panjang. “Satu per satu kita tata ulang… di dalam dan luar istana. Tapi Yichen…”
“Ya?”
“Janji padaku, kalau pun nanti badai datang… kita hadapi berdiri, bukan bersembunyi.”
Mo Yichen menggenggam tangannya dan menjawab tegas:
> “Kau adalah permaisuriku, Wei Lian. Tapi lebih dari itu… kau adalah tameng, pedang, dan cahaya bagi negeri ini. Selama aku masih bernapas, kita tidak akan mundur.”
—
Dan tepat saat mereka berdua menatap langit dari balkon atas istana…
Sebuah kabar datang dari selatan.
Pasukan Negara Xi mulai bergerak. Tapi bukan hanya pasukan…
Seorang putri dari keluarga bangsawan Xi yang memiliki dendam lama terhadap keluarga Wei… dikabarkan memimpin misi khusus.
Dan di dalam surat rahasia itu, hanya satu kalimat yang mencuri perhatian Wei Lian:
> "Terlalu lama aku menunggu waktu untuk menghancurkan putri jenderal itu. Kini saatnya.”
Wei Lian menutup surat itu pelan.
Mo Yichen menatapnya. “Apa kita akan memulai pertempuran baru?”
Wei Lian menggeleng pelan. “Bukan kita yang memulainya. Tapi kali ini, kita pastikan kebenaran menang… tanpa harus kehilangan orang-orang yang kita cintai.”
—
Dan demikianlah langkah baru sang Permaisuri dimulai.
Bukan hanya sebagai istri Kaisar.
Tapi sebagai pemimpin sejati—yang membawa luka masa lalu sebagai kekuatan, bukan kelemahan.
Bersambung