Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosok yang tak pernah kulepas
“KELUAR KALIAN SEMUA!” Suara tegas dan nyaring itu berhasil membuat dokter-dokter koas itu berhenti tertawa, nada bicara senior mereka terdengar penuh tekanan. Mereka saling melirik penuh kebingungan.
“Siapa yang bilang Ibu Alena tidak bisa baca?” masih tanpa malu wanita blasteran tadi mengangkat tangan, dan tanpa diduga satu tamparan mengenai wajahnya.
Suasana semakin tegang, pendidikan dokter terkadang memang terlalu keras dan tidak memandang gender tapi tetap saja mereka tidak menyangka akan mendapat pendidikan secara tiba-tiba, bahkan orang yang mereka panggil profesor menampar wajah mereka satu-satu dengan tatapan marah.
“Apa begini seorang dokter menilai seorang? Apa seorang dokter pernah dididik untuk merendahkan orang lain, hah?” Suara itu membuat mereka semua tidak berkutik.
Plak! Belum tuntas rasa bingung mereka, para dokter itu kembali dikejutkan karena satu tamparan kembali mengenai wajah rekan mereka yang berdiri tidak jauh dari senior mereka, tamparan itu cukup keras membuat seseorang yang baru saja ditampar langsung terduduk dengan bibir yang mengeluarkan darah.
“Orang yang baru saja kalian katakan tidak bisa baca, yang kalian tertawakan adalah adik dari Profesor Aleon.”
“Gila kalian semua, HAH?”
Seketika wajah bingung dan panik menyerang mereka, tidak bisa dipercaya apa saja yang baru mereka dengar tapi melihat kemarahan sang senior benar-benar menunjukkan tidak ada guratan kebohongan, apalagi canda.
“Berlutut sekarang!” perintah telak tidak ada yang mencela, mereka dengan sigap menjatuhkan lututnya. Dokter itu menarik sopan tubuh Alena membuatnya berdiri di antara dokter-dokter muda tadi yang mentertawakan dirinya.
“Minta maaf sekarang!” Alena berusaha mencegah mereka untuk berlutut sebuah permintaan maaf saja sudah cukup tidak perlu sampai begini, Alena merasa tidak nyaman dalam situasi ini tapi dia tidak mampu berkata.
Setelah dokter-dokter kaos itu berlutut dan memohon ampun barulah senior mereka melepaskan mereka untuk sementara. Sebenarnya sebagai seorang pembina dokter tersebut masih ingin memberi pelajaran atas perlakuan tidak sopan murid-muridnya, tapi dia tahan ada wanita sederhana yang begitu ia hormati berdiri di depannya.
“Maaf Ibu Alena, atas perlakuan mereka.” Alena hanya mengangguk tipis,
“Maaf Ibu saya sedikit lancang, Ibu mau ke mana, atau ada yang bisa saya bantu?” Ujar dokter itu hati-hati.
“Saya ingin ke ruangan Danendra, ada barang yang tertinggal.”
“Terima kasih atas bantuannya profesor, saya permisi.” Tanpa menunggu jawaban Alena melangkah cepat meninggalkan dokter tersebut.
Hanya beberapa langkah Alena berhasil menggeser pintu ruangan kerja suaminya. Tapi ruangan tersebut lenggang bahkan lampunya pun belum menyala, benar-benar tidak ada tanda kehidupan.
Dokter tadi mengikuti Alena, dia berdiri tepat di belakang atasannya.
“Kevin, Danen belum sampai?” Alena menggunakan bahasa santai, karena memang dokter yang berdiri di belakangnya itu sempat menjadi teman sekelasnya dulu saat dia masih kuliah kedokteran.
Alena memang kuliah kedokteran tapi tidak lanjut ke tingkat selanjutnya karena memutuskan menikah muda. Setelah menyelesaikan gelar sarjana kedokterannya Alena tidak berniat melanjutkan pendidikan lebih lanjut, ia malah menerima lamaran dari Danendra dan mengubur semua mimpinya.
Dokter Kevin yang dilontarkan pertanyaan mengernyit heran, bukankah rekannya itu telah izin bahkan mengambil cuti tiga hari.
“Ibu tidak tahu?”
“Apa?”
“Danendra hari ini izin, bahkan mengambil cuti untuk tiga hari ke depan.”
Alena mendongak tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar, bagaimana mungkin suaminya mengambil cuti padahal tadi pagi dia pamit untuk bekerja.
“K-kevin!” Panggil Alena pelan.
“Iya Bu?” Seseorang yang dipanggil menjawab cepat dengan postur tubuh begitu tegak dengan kedua tangan yang terlipat di antara kedua perutnya.
“Kamu serius dengan ucapan kamu, kamu tidak lagi membohongi saya?”
“Maksud Ibu, Ibu tidak tahu?” Kevin semakin heran dengan reaksi yang Alena keluarkan, wanita itu terlihat sangat terkejut.
“Danendra memang sering mengambil cuti, dia beralasan ingin menghabiskan waktu di rumah bersama kedua anaknya. Maka itu setiap mengambil cuti dia langsung mendapat ACC dari tim managemen. Ini perintah langsung dari Profesor Aleon, bahkan setahu saya Profesor Aleon juga mengurangi jam kerja Danendra.” Kalimat yang begitu panjang dijabarkan oleh lawan bicara Alena cukup membuat dirinya membeku.
“Jam kerja? Apa maksudnya, bukankah selama ini Danen sering lembur bahkan menginap?”
Kevin tercengang tidak percaya dengan apa yang Alena ucapkan, lembur katanya yang benar saja. Sudah beberapa bulan ini dia kerepotan karena harus mengambil jadwal pasien Danendra.
“Alena?” tidak ada lagi atasan dan bawahan, mengingat dulu mereka cukup dekat jadi dengan sendirinya pembicaraan mereka tidak terstruktur.
Kevin panik sendiri saat melihat tubuh teman lamanya itu seketika melemah, dengan hati-hati pria itu memapah tubuh Alena membaringkannya di sofa. Dia semakin panik karena Alena tiba-tiba menunjukkan gejala sesak napas.
“Lena?”
“Alena?”
“In-haler… sesak!” Dengan terbata-bata Alena menyelesaikan kalimatnya dia terus menekan dadanya berusaha mengurangi sesak napasnya yang tiba-tiba kambuh.
Kevin kalang-kabut, dia mencoba merogoh sakunya mencari sebuah seluler namun benda itu ternyata tertinggal di ruangannya, karena panik Kevin berusaha menggendong tubuh Alena berniat membawanya ke ruang perawatan hanya dengan cara itu Alena bisa ditolong.
“Maaf Alena.” Dengan suara pelan namun penuh penyesalan, Kevin meraih tubuh Alena yang tampak lemas. Tangannya sedikit bergetar Kevin mencoba meraih tubuh seorang wanita yang terlihat sangat kesakitanㅡAlena terus kesulitan bernapas dahinya penuh keringat dengan sorotan mata yang tidak fokus.
Alena yang saat itu hanya menggunakan daster rumahan sepaha menyebabkan ketika Kevin mencoba menggendong tubuhnya pahanya jadi terlihat, bahkan tangan kekar sang dokter tanpa disadari juga menyentuh paha mulus tersebut, tidak bisa dihindari karena baju yang Alena kenakan tidak cukup untuk menutupi pahanya.
Bukh!
Saat berusaha membopong tubuh Alena, seseorang tiba-tiba melayangkan satu pukulan di wajah sang dokter. Karena mendapat serangan tiba-tiba otomatis cengkraman Kevin pada tubuh Alena semakin erat, tanpa dia sadari tangan kirinya yang mencengkram batang paha tersebut bergerak semakin dalam.
Melihat itu tubuh Danendra semakin mendidih
Bukh!
Danen kembali melayangkan satu pukulan, lalu merebut paksa tubuh Alena dari gendongan rekannya, “beraninya kau menyentuh wanitaku!” Belum sempat menjelaskan situasi Kevin sudah ditinggal sendirian, sambil memegangi rahangnya yang baru saja dipukul ia melihat prihatin tubuh Alena yang di bawa pergi suaminya.
“Alena, sudah kuperingat dulu, Danendra itu bukan pria yang baik.” Kevin bergumam lemah saat menyadari punggung Alena sudah semakin jauh.
Kevin dengan cepat memahami situasi. Ketika Alena mengatakan tidak tahu apa pun tentang Danendra yang cuti bahkan juga tidak tahu dengan jam kerja suaminya yang selalu berkurang. Dengan cepat Kevin menyimpulkan, cukup jelas dengan fakta Danen tidak jujur sudah pasti pria itu pasti bermain api.
Bahkan dulu pun, dia juga tahu di masa sekolahnya Danendra adalah pemain handal, memang benar mana mungkin pemain bisa berubah begitu saja.
“Danendra sialan!”
“Aku telah memberimu kesempatan, tapi kau menyia-nyiakannya. Jangan salahkan jika aku mulai lagi merebut Alena seperti dulu.”
Bersambung.