Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Tamu Tak Terduga
Radit tersenyum kecil. "Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, jangan simpan sendiri. Rumi berhak tahu. Dan saya juga."
Setitik air mata jatuh dari sudut mata Anwar. Ia mengangguk pelan, penuh penyesalan sekaligus rasa syukur.
"Bapak pantas dapat ini, Rum. Ini balasan buat semua salah Bapak. Selama ini Bapak kasar, maki-maki kamu, anggap kamu anak pembawa sial. Jadi kamu jangan sedih. Ini mungkin memang hukuman untuk Bapak."
"Bapak, jangan bilang gitu." Rumi menggenggam tangan ayahnya, air matanya tumpah. "Rumi sudah maafin Bapak, bahkan sebelum Bapak sadar. Rumi cuma mau Bapak sembuh. Bapak harus ada, saat Rumi lahiran nanti."
Anwar tersenyum lemah. Ia mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, menggenggam tangan putrinya.
"Bapak sayang kamu, Rum. Maaf, Bapak terlambat bilang. Kalau nanti kamu melahirkan dan Bapak udah nggak ada, titip salam buat cucu Bapak, ya."
"Enggak, Pak. Rumi nggak mau ...." Rumi terisak, suaranya pecah.
Napas Anwar mulai tidak beraturan. Matanya kabur, telinganya berdenging. Rasa sakit menyelimuti seluruh tubuhnya, tapi hatinya terasa ringan.
"Titip Rumi, ya, Dit. Jaga dia. Bahagiain dia. Jangan pernah tinggalin dia."
Satu tarikan napas terakhir terdengar berat, lalu sunyi. Anwar pergi, dengan wajah yang damai, seolah semua beban akhirnya selesai.
Rumi tertunduk, menggenggam tangan ayahnya yang kini dingin. Air matanya terus mengalir, tanpa bisa dihentikan. Radit memeluknya dari samping, penuh kehangatan dan kekuatan.
"Kita akan jalanin semuanya bareng, Rum," bisiknya. "Aku di sini. Selalu."
Satu bulan kemudian.
Sore itu, hujan baru saja reda. Udara masih lembap, dan langit menguning perlahan menjelang senja. Rumi sedang menyiram tanaman kecil di balkon. Radit duduk di ruang tamu, laptop terbuka di pangkuannya.
Ketukan pintu tiba-tiba memecah suasana. Bukan suara satpam. Bukan juga suara asisten rumah tangga. Radit bangkit, berjalan ke arah pintu dengan dahi sedikit berkerut.
Saat daun pintu terbuka, tubuhnya sontak menegang.
Seorang perempuan paruh baya berdiri di sana—berbalut jaket panjang elegan dan syal abu-abu yang biasa ia kenakan. Wajahnya lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu.
Bu Widya.
Radit tak langsung bicara. Bahkan tidak mempersilakan masuk. Tapi Bu Widya membuka suara lebih dulu, dengan nada yang tak lagi tinggi. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan orang lelah.
"Mama hanya ingin bicara. Sebentar saja."
Setelah jeda yang canggung, Radit mengangguk pelan dan membuka jalan. Rumi datang beberapa menit kemudian, matanya penuh tanya dan ketidaknyamanan yang tak disembunyikan.
Bu Widya duduk tenang. Tangannya terlipat rapi di pangkuan, seperti seseorang yang sedang mencoba jadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
"Mama tidak datang untuk menuntut apa-apa. Mama tahu, sudah banyak hal yang Mama hancurkan. Termasuk hubungan kita, Radit."
Radit tak menjawab. Pandangannya tajam, tapi tak mengandung kebencian. Lebih ke waspada tepatnya.
"Selama di penjara, tiap malam Mama berpikir. Hidup Mama cuma diisi kebencian. Mama lupa, caranya menjadi manusia."
Lalu ia menoleh ke Rumi.
"Dan kamu, kamu mungkin orang yang paling Mama sakiti. Tapi kamu tetap di sini. Di samping Radit. Bahkan ketika Mama mencoba menjatuhkanmu."
Rumi mengangguk kecil. Bukan sebagai tanda memaafkan, tapi lebih kepada menghargai seseorang yang mencoba mengaku salah. Dalam hatinya, luka yang ditinggalkan wanita ini terlalu dalam untuk sembuh hanya dengan satu kali permintaan maaf.
"Mama nggak mengharapkan ampunan," lanjut Bu Widya. "Mama cuma ingin kalian tahu, Mama menyesal. Itu saja."
Ia berdiri. Tidak meminta pelukan. Tidak menawarkan janji. Hanya pergi, meninggalkan satu kesan. Bahwa ia kembali, dan kini lebih berhati-hati.
Setelah pintu tertutup, Rumi berdiri mematung di dekat jendela. Hujan kembali turun rintik-rintik.
"Bu Widya, kapan bebasnya, Mas?"
"Kemarin," jawab Radit pelan. Tangannya terkepal di sisi tubuh. "Bebas bersyarat. Nauval yang kasih tahu."
"Mas percaya, dia benar-benar tobat?"
Radit menatap lurus ke arah pintu yang baru saja tertutup. Hening sejenak, sebelum akhirnya ia menjawab, datar tapi tajam.
"Musuh yang datang dengan senyum, biasanya datang dengan rencana."
Hari-hari setelah kedatangan Bu Widya tak berjalan seperti yang Rumi atau Radit bayangkan. Mereka pikir itu hanya akan menjadi satu pertemuan penuh basa-basi dan penyesalan palsu. Tapi rupanya, wanita itu datang lagi.
Tidak membawa amarah. Tidak dengan nada tinggi atau ejekan seperti dulu.
Pertama, ia datang mengantar makanan. Bukan mewah. Hanya sup hangat dalam wadah sederhana, katanya ia masak sendiri. Rumi sempat menolak secara halus, tapi Radit memintanya menerima saja.
"Anggap saja bentuk niat baik. Gak perlu dimakan," ujar Radit, berusaha tenang meski dalam hatinya ia masih ragu.
Lalu, hari-hari berikutnya, Bu Widya mulai muncul lebih sering. Ia tak pernah datang tanpa alasan. Kadang membawakan buku parenting untuk Rumi, kadang hanya mampir sebentar untuk memastikan kehamilan Rumi berjalan baik. Ia juga pernah datang hanya untuk menanyakan kabar yayasan sosial Radit yang dulu ia kelola. Bukan dengan nada menuntut, melainkan seperti seseorang yang benar-benar ingin tahu kabar rumah lamanya.
Mereka tidak sadar bahwa dengan memberi celah, mereka sedang membuka pintu. Sebab niat baik tidak selalu polos. Dan tidak semua yang datang dengan bunga membawa ketulusan.
Penyesalan yang ditampilkan Bu Widya ternyata bukan akhir. Justru itu adalah awal dari langkah baru yang lebih tenang, lebih terencana, dan jauh lebih berbahaya.
Beberapa minggu setelah kedatangannya yang mengharukan, ia mulai bergerak. Bukan di hadapan Rumi dan Radit, tapi di luar jangkauan mereka. Ia menghubungi nama-nama yang dulu pernah ada di bawah kendalinya di yayasan. Pegawai lama yang loyal, tapi kecewa karena diberhentikan begitu saja ketika Radit mengambil alih.
Salah satunya, Pak Daryan. Dulu ia menjabat sebagai kepala pengelola administrasi keuangan yayasan. Ia diberhentikan oleh Radit karena diduga menutup-nutupi laporan keuangan. Namun, tak pernah ada bukti kuat. Dan itu membuatnya menyimpan amarah yang dalam.
Bu Widya datang menemuinya di sebuah kafe kecil, dengan gaya yang sama seperti saat ia pertama kali mengatur banyak strategi dulu. Dingin, berwibawa, dan sangat meyakinkan.
"Kamu tahu kan, apa yang terjadi kalau orang seperti dia terus memegang kendali?"
"Dia sudah menghancurkan karier saya," gumam Daryan dengan rahang mengeras.
"Bukan cuma kariermu. Dia juga menarik semua asetku. Mengambil semua yang aku bangun. Tapi yang lebih menyakitkan, dia percaya wanita itu—Rumi. Bukan aku, yang membesarkannya sejak kecil."
Percakapan itu adalah awal dari persekutuan diam-diam. Dendam lama yang saling bertemu. Dan perlahan, jaringan lama Bu Widya kembali disusun.
Ia mulai membangun pengaruhnya secara senyap. Menghubungi eks donatur yang pernah kecewa dengan arah baru yayasan. Menyebarkan narasi bahwa Radit menyalahgunakan dana saat proses transisi. Bahkan menyusupkan satu orang baru ke dalam salah satu proyek Radit.
Dari luar, wajah Bu Widya tetap lembut. Ia masih datang ke rumah Radit sesekali, membawa oleh-oleh kecil, menyapa Rumi dengan senyum palsu, menanyakan usia kehamilan dengan kepura-puraan tulus.
Rumi perlahan merasa aneh. Tapi ia masih berusaha positif. Ia berpikir mungkin mertuanya memang ingin berubah.
Yang mereka tak tahu, wanita itu tak ingin berdamai. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjatuhkan segalanya dari dalam.
kapal ku gak boleh karammmm!!/Sob/