Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingatan yang menghilang
Setelah usia kehamilan Aira memasuki lima bulan, ia mulai merasa bosan hanya berdiam diri di rumah.
Untuk menyegarkan pikiran, Aira memutuskan pergi ke supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan dan buah-buahan kesukaannya.
Namun, saat hendak menuju ke parkiran, langkah Aira tiba-tiba terhenti.
Ia berdiri mematung di tengah lorong, matanya kosong, dan napasnya mulai tersengal.
Dalam sekejap, semua ingatan tentang siapa dirinya, mengapa ia ada di sana, bahkan tentang kehamilannya, hilang begitu saja.
Air mata mulai menetes perlahan. Ia terduduk di lantai, kebingungan dan menangis pelan, memegangi perutnya yang membesar.
Seorang pelayan toko yang melihat kejadian itu segera menghampirinya dan dengan sigap menghubungi nomor darurat yang tersimpan di ponsel Aira atas nama Abraham.
Tak lama kemudian, Abraham datang dengan wajah panik.
"Aira!" serunya, berlutut di samping istrinya yang masih terlihat kebingungan.
Aira memandangnya lekat-lekat. “Kamu siapa?”
Abraham tercekat. Dunia seperti runtuh seketika.
Abraham membawa Aira yang pingsan ke rumah sakit Puri dengan panik dan ketakutan.
Setibanya di ruang gawat darurat, dokter segera melakukan penanganan cepat sambil mendengarkan penjelasan dari Abraham.
"Istri saya tiba-tiba tidak mengenali saya, dia kehilangan ingatannya. Saya mohon lakukan apa pun yang bisa menyelamatkannya dan bayi kami," ucap Abraham dengan suara gemetar.
Dokter menyarankan untuk segera dilakukan tes MRI untuk memastikan kondisi neurologis Aira.
"Kami harus melihat aktivitas otaknya secara menyeluruh, kemungkinan ini bukan sekadar kelelahan atau stres."
Abraham mengerutkan kening. “Tapi… dia sedang hamil lima bulan. Apakah MRI aman untuk ibu hamil?”
Dokter menatapnya serius, lalu menghela napas.
"Dalam beberapa kasus, MRI memang dilakukan dengan sangat hati-hati pada ibu hamil. Kami akan menggunakan pengaturan paling aman. Ini satu-satunya cara untuk mengetahui pasti apa yang terjadi."
Setelah beberapa jam yang penuh ketegangan, hasil MRI keluar. Dokter memanggil Abraham ke ruang konsultasi.
“Pak Abraham,” suara dokter terdengar hati-hati,
“Kami menemukan indikasi awal dari penyakit Alzheimer dini.”
Dunia seolah berhenti sejenak bagi Abraham.
“Apa… maksudnya? Alzheimer?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Ya. Ini sangat jarang terjadi pada usia muda, tapi kami menemukan tanda-tanda degenerasi di bagian otak yang memengaruhi memori dan kognisi. Kami akan lakukan pengamatan dan terapi seaman mungkin selama kehamilan.”
Abraham menatap layar hasil MRI sambil menggenggam erat tangan istrinya yang masih belum sadar di ruang perawatan. Ia tahu, perjuangannya baru saja dimulai.
Aira perlahan membuka matanya. Ruangan putih rumah sakit menyambut pandangannya yang buram. Ia mengerjap pelan, mencoba mengenali sekelilingnya.
Di samping ranjang, Abraham sedang tertidur dengan tangan masih menggenggam erat jemari Aira.
"Mas..." suara Aira serak.
Abraham langsung terbangun, matanya menatap penuh harap.
"Sayang? Kamu sadar?"
Aira memandangi wajah suaminya dalam-dalam.
"Kenapa aku ada di sini, Mas?"
Abraham menghela napas lega, tapi hatinya juga tersayat. Ia membelai rambut istrinya dengan lembut.
"Kamu pingsan waktu belanja. Ada sedikit masalah... dengan ingatan kamu."
Aira menatap wajah Abraham yang tampak lelah namun berusaha tersenyum. Ia lalu menyentuh perutnya.
"Anak kita?"
"Baik-baik saja," ucap Abraham sambil menggenggam tangan Aira lebih erat.
"Kembar kita sehat."
Aira meneteskan air mata pelan. "Aku takut, Mas... kalau aku lupa lagi."
Abraham mencium kening istrinya. "Aku akan selalu ada di sini untuk mengingatkan kamu. Kamu tidak sendiri."
Setelah malam yang penuh dengan perasaan campur aduk, Abraham merasa semakin tergerak untuk membantu Aira menjalani kondisi yang sulit ini.
Ia tahu, meskipun Aira sangat kuat, dirinya harus lebih banyak belajar tentang penyakit yang kini menghampiri istrinya.
Pagi itu, setelah memastikan Aira tidur dengan tenang, Abraham memutuskan untuk mencari informasi sebanyak mungkin mengenai Alzheimer. Ia ingin melakukan segala yang bisa ia lakukan untuk mendukung istrinya, agar Aira tidak merasa sendirian dalam perjalanannya.
Dengan ponsel di tangan, Abraham mulai mencari berbagai artikel dan forum kesehatan, berbicara dengan para ahli, serta mencari tahu makanan dan minuman yang dianjurkan untuk penderita Alzheimer.
Ia menemukan banyak informasi yang mengejutkan dan bermanfaat.
Beberapa makanan yang kaya akan omega-3, seperti ikan salmon, kenari, dan biji chia, ternyata sangat baik untuk otak.
Ada juga sayuran hijau seperti brokoli dan bayam, yang diketahui bisa membantu meningkatkan fungsi otak dan mengurangi risiko penurunan kognitif lebih lanjut.
Selain itu, kacang-kacangan dan biji-bijian yang kaya akan vitamin E juga terbukti memiliki manfaat untuk otak.
Abraham kemudian mencatat semua informasi itu dengan teliti, berniat untuk merancang menu harian yang sehat dan bergizi bagi Aira.
Ia bahkan menyiapkan bahan-bahan segar seperti alpukat, jeruk, dan tomat untuk meningkatkan konsumsi vitamin C yang bisa membantu melawan radikal bebas.
Ia pun menyusun jadwal makan yang teratur agar Aira tidak terlalu terbebani dengan rutinitas.
Hari itu juga, setelah mengumpulkan semua informasi yang diperlukan, Abraham pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan segar tersebut.
Ia ingin menunjukkan pada Aira bahwa ia benar-benar peduli, dan siap untuk mendukung setiap langkahnya, sekecil apapun itu.
Dengan sepenuh hati, Abraham ingin melakukan segalanya untuk membantu istrinya.
Ketika ia kembali ke rumah, ia mendapati Aira sedang duduk di ruang keluarga, tampak lebih tenang meskipun masih terlihat sedikit kelelahan.
Aira tersenyum lemah ketika melihat Abraham membawa kantong belanjaan yang penuh dengan bahan makanan sehat.
"Apa ini, Mas?" tanya Aira dengan suara yang masih serak.
Abraham tersenyum dan meletakkan kantong belanjaan di meja.
"Aku mencari tahu makanan yang baik untuk otak. Aku ingin kamu merasa lebih baik, Ra. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi kita akan menghadapinya bersama."
Aira memandangnya dengan mata yang hampir penuh air mata.
"Mas, aku... aku merasa bersalah. Semua ini terjadi karena aku terlalu ambisius, dan aku tidak memikirkan kesehatan kita."
Abraham duduk di sampingnya dan meraih tangannya.
"Jangan menyalahkan diri sendiri, sayang. Semua yang kita hadapi, kita hadapi bersama. Kita akan berjalan bersama, langkah demi langkah."
Aira mengangguk pelan, merasakan ketenangan dalam pelukan suaminya. "Aku tahu, Mas. Terima kasih sudah selalu ada untuk aku."
Abraham membalas dengan lembut, "Kamu tidak perlu berterima kasih, Ra. Itu adalah kewajibanku. Aku mencintaimu, dan aku akan melakukan apapun untukmu."
Dengan penuh semangat, Abraham mulai menyiapkan hidangan sehat yang sudah ia rencanakan.
Aira, meskipun masih merasa khawatir tentang masa depannya, merasakan kehangatan dan perhatian yang tak tergantikan dari suaminya.
Bersama-sama, mereka memulai perjalanan baru, sebuah perjalanan penuh tantangan dan ketidakpastian, tetapi juga penuh cinta yang tak akan pernah pudar.
Hari itu terasa seperti hari biasa bagi Abraham. Pagi dimulai dengan rutinitas seperti biasa, dia mengantarkan Aira sarapan, menyiapkan makanan yang sehat, dan menyusuri harinya dengan penuh rasa syukur.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Saat Abraham kembali ke ruang tamu setelah mengerjakan pekerjaan sejenak, ia terkejut menemukan pintu rumah terbuka.
"Aira?" Abraham memanggil dengan cemas. "Aira, kamu di mana?"
Dia mencari ke seluruh rumah, memanggil nama istrinya, tetapi tak ada jawab. Rasa cemas mulai merayap dalam dirinya.
Tiba-tiba ia teringat bahwa Aira memang kadang-kadang lupa beberapa hal terkait waktu, tapi ini berbeda. Pintu terbuka, dan Aira tidak ada di rumah.
Abraham buru-buru mengambil ponselnya dan menghubungi Dinda, berharap ada yang tahu tentang keberadaan Aira. Namun, Dinda juga tidak tahu.
Dia kemudian segera keluar, berlari ke luar rumah untuk mencarinya.
"Aira!" teriak Abraham, suaranya penuh kecemasan. "Kamu di mana?"
Aira yang sedang berjalan pelan-pelan di trotoar, dengan mata kosong dan bingung, tampak seperti tidak tahu apa yang dia lakukan.
Saat melihat sekeliling, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Ia berjalan tanpa tujuan, dengan tekad di hati yang samar-samar, ingin membeli hadiah ulang tahun untuk Abraham.
Padahal, ulang tahun suaminya masih empat bulan lagi.
Aira berjalan tanpa arah, melewati toko-toko yang tampak asing baginya, tanpa menyadari bahwa ia sedang berada jauh dari rumah.
Saat ia melihat etalase toko perhiasan, ia merasa seolah-olah ada yang memanggilnya untuk membeli sesuatu untuk Abraham.
Sesuatu untuk menunjukkan rasa cinta dan penghargaan pada suami yang telah mengorbankan begitu banyak untuknya.
Namun, ingatannya mulai kabur. Ia tidak tahu mengapa ia berada di sana atau mengapa dia begitu ingin membeli sesuatu.
Semua perasaan itu bercampur, dan di dalam kebingungannya, ia tak sadar jika ia sudah berjalan jauh dari rumah. Rasa cemas mulai menguasai dirinya, dan perlahan ia merasakan kelelahan.
Sementara itu, Abraham semakin panik. Ia menghubungi rumah sakit dan meminta bantuan, namun tidak ada petunjuk tentang keberadaan Aira.
Semua teman-teman dan keluarga yang dia hubungi tidak tahu di mana Aira berada.
Abraham merasa dunia seakan runtuh. Aira, yang sedang hamil besar dan mengidap Alzheimer, hilang tanpa jejak.
Ia tahu betapa berbahayanya kondisi Aira saat ini. Akhirnya, setelah berjam-jam mencari, Abraham mendapat kabar dari seorang saksi yang melihat Aira di kawasan pusat kota.
Dengan cepat, Abraham bergegas ke tempat itu.
"Aira!" teriaknya saat melihat sosok istrinya yang duduk terpuruk di bangku taman, tampak bingung dan lemah.
"Aira, sayang..." Abraham menghampiri Aira, memeluknya erat. "Kamu kenapa? Kenapa kamu keluar rumah sendirian?"
Aira menoleh ke Abraham dengan tatapan kosong, seolah tidak mengenali siapa yang memeluknya.
"Aku... aku ingin membeli hadiah ulang tahun untukmu, Mas," kata Aira dengan suara lemah, bingung.
"Ulang tahunmu, kan, sebentar lagi?"
Abraham menatap istrinya dengan mata penuh kekhawatiran.
"Aira, ulang tahunku masih empat bulan lagi. Kamu harusnya di rumah, istirahat. Apa kamu ingat? Kamu sedang hamil besar, sayang."
Aira hanya mengangguk perlahan, wajahnya kebingungan.
"Aku... aku lupa. Aku merasa seperti ada yang hilang," kata Aira pelan, air mata mulai mengalir di pipinya.
Abraham merasa hatinya tercabik. Ia tahu bahwa penyakit Alzheimer semakin menguasai Aira. Namun, dia tidak bisa membiarkan istrinya begitu.
Dengan hati-hati, Abraham mengangkat Aira dan memapahnya kembali ke mobil. Ia memastikan istrinya merasa aman dan tenang.
Sesampainya di rumah, Aira langsung dibaringkan di tempat tidur. Abraham duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
"Jangan khawatir, Ra. Aku di sini, aku akan selalu di sini untuk kamu," bisiknya, berusaha menenangkan Aira yang masih tampak bingung.
Aira memandang suaminya dengan tatapan kosong, lalu berkata dengan suara lirih, "Mas, maafkan aku. Aku takut kalau aku melupakanmu. Aku takut jika aku melupakan anak kita..."
Abraham mengelus rambut Aira dengan lembut.
"Kamu tidak akan pernah melupakan aku, Ra. Bahkan kalau ingatanmu mulai kabur, cintaku akan selalu ada untukmu. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kita akan menghadapi ini bersama."
Tangan Aira terangkat, memegang perutnya yang mulai membesar.
"Mas, kita akan punya anak, kan?" tanyanya pelan, air mata menetes di wajahnya.
"Ya, Ra," jawab Abraham dengan senyum tipis, meski hatinya penuh kekhawatiran.
"Kita akan punya anak. Kita akan menjalani semuanya bersama, tidak peduli apapun yang terjadi."
Abraham tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi dia berjanji untuk tetap setia menemani Aira, apapun yang terjadi. Dan meskipun hari-hari mendatang mungkin akan penuh tantangan, Abraham yakin bahwa cinta mereka akan menguatkan mereka, menghadapi setiap ujian yang datang.