Dunia Elea jungkir-balik di saat dirinya tahu, ia adalah anak yang diculik. Menemukan keluarga aslinya yang bukan orang sembarangan, tidak mudah untuk Elea beradaptasi. Meskipun ia adalah darah keturunan dari Baskara, Elea harus membuktikan diri jika ia pantas menjadi bagian dari Baskara. Lantas bagaimana jika Elea merasa tempat itu terlalu tinggi untuk ia raih, terlalu terjal untuk ia daki.
"Lo cuma punya darah Baskara doang tapi, gue yang layak jadi bagian dari Baskara," ujar Rania lantang.
Senyum sinis terbit di bibir Elea. "Ya, udah ambil aja. Tapi, jangan nangis jika gue bakalan rebut cowo yang lo suka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32| Kebencian Rania
Saka mengerang karena kekalahannya untuk pertama kalinya, itu pun kekalahan bukan main ia kalah saat bertanding dengan perempuan. Sahabat laknatnya di depan sana malah menghampiri Elea, terlihat sok kenal dan sok dekat dengan calon tunangan sahnya. Entah apa yang dibicarakan oleh Boy dan Elea, keduanya serentak melirik ke arah Saka yang terlihat mulai turun dari atas motor.
Sebelum melangkah mendekati motor Elea di depan sana, tatapan mematikan Saka layangkan pada pelatihnya. Pria paruh baya itu menunduk ketakutan, selama ini tidak ada yang berhasil mengalahkan keturunan Buming satu ini. Ini kali pertamanya, awalnya sang pelatih tidak begitu ambil pusing mendengar nona muda Baskara yang baru saja berlatih mencoba menggalakan Saka. Ia skeptis pada kemampuan Elea, lihatlah sekarang bagaimana ia dipermalukan.
"Yooo! Sekarang Elea udah ngalahin lo, Saka. Gue sebagai penonton ngerasa Elea benar-benar keren banget," celetuk Boy blak-blakan.
Kedua sisi sudut bibir Elea naik tinggi ke atas mendengar pujian Boy pada kemampuannya, jantung Elea masih berdebar keras setelah berpacu dengan kecepatan motor. Balapan benar-benar memacu adrenalin Elea, senyum di bibirnya terlihat lebar.
'Cantik.' Saka terkesima melihat senyuman yang tercetak di bibir Elea.
"Lo ngapain bengong, huh? Gue tau kalo si Elea cantik, Saka," gumam Boy dengan intonasi nada rendah, sementara tangannya menyikut perut Saka.
Saka tersentak, ia menoleh ke samping dan melotot ke arah Boy—sahabatnya. Boy menaik-turunkan kedua alis matanya, Saka membawa atensinya ke arah Elea. Dahi Elea berlipat, kepalanya ditelengkan ke kanan.
"Lo kenapa? Mendadak bengong gitu, ah. Gue tau, lo pasti ngerasa terluka parah ya, 'kan karena kalah dari gue," tebak Elea, gadis itu menyeringai.
Saka berkedip-kedip kecil, kepalanya mengangguk patah-patah. Setidaknya gadis di depannya ini tidak tahu apa yang ada sempat terlihat di otak Saka, pria jangkung di depan Elea berdehem serak.
"Oke, gue nggak balakan ngehindar. Malam ini gue kalah taruhan, kita berdua bakalan berkencan," sahut Saka, ekspresi wajahnya sebisa mungkin terlihat datar.
Alia mata Elea berkerut, "Siapa yang ngomong kalo gue setuju sama usulan Boy, gue nggak setuju. Gue mau saham perusahaan Buming, lima persen itu yang gue mau."
Mata Saka terbelalak keduanya mendengar jawaban Elea, sementara Boy memilih mundur ke belakang membiarkan keduanya berbicara. Elea melipat kedua tangannya di bawah dada, kepalanya menengadah membawa atensi lurus ke arah mata Saka.
"Lo, jangan-jangan mikir kalo gue berjuang sekeras tadi cuman karena gue ngarep bakalan bisa kencan, huh?" Elea terkekeh renyah melihat perubahan ekspresi Saka.
Marah, tidak. Keturunan Buming satu ini hanya kesal semata, apalagi di saat kekehan renyah membuat wajah yang terbiasa memasang ekspresi datar itu jauh lebih hidup. Kecantikan Elea berlipat-lipat, ada perasan menggelitik di sudut hati Saka untuk beberapa saat.
Saka membuang muka lebih dengan cepat sebelum kehilangan kendali diri sendiri, dan sebelum lidah tak bertulang itu lebih dahulu bergerak memuji kecantikan Elea.
"Oke," jawab Saka serak, "gu—gue pun nggak ngarep hal kek gitu antara gue dan lo. But, gue ngerasa ini belum cukup. Gue nggak terima sama kekalahan malam ini, gue mau next time kita bertanding lagi ke depannya. Gue bakalan buktiin kalo malam ini lo menang karena keberuntungan."
Elea mendengus, "Oh, ya? Gue rasa pertandingan selanjutnya pun lo bakalan tetap kalah dari gue, Saka. Karena gue nggak bakalan berhenti buat latihan balap, lo harus siap-siap kalah untuk pertandingan selanjutnya."
Saka menggeleng cepat, dan menjawab, "Kita liat aja nanti, Elea. Lo atau gue yang menang ke depannya. Lo harus juga siap kalo gue yang ke luar sebagai juaranya."
Kepala Elea mengangguk, tangan Elea terulur disambut cepat oleh telapak tangan Saka. Keduanya saling adu tatapan mata, bersalaman dengan kepercayaan diri masing-masing tanpa menyadari gejolak yang berbeda satu sama lain. Siapa yang tahu jika takdir kedua akan berubah, entah siapa yang memang dan yang kalah ke depannya.
...***...
"Saka!" seru Rania, ia terlihat setengah berlarian mendekat ke arah Saka.
Saka yang baru saja ke luar dari mobil bersama dengan Boy berhenti melangkah, keduanya mengalihkan pandangan mata secara serentak ke arah Rania. Boy berdecak kecil mendapati ke hadiran Rania, ia mencibir di saat Rania yang baru saja sampai langsung memeluk Saka.
"Gue kangen banget sama lo, Ka," ujar Rania melembutkan intonasi suaranya.
Saka menghela napas berat, tangannya bergerak meraih kedua sisi bahu Rania mendorongnya perlahan agar pelukan gadis itu terlepas. Rania terkesiap dengan tindakan Saka, setelah beberapa hari mereka tidak bertemu Saka mulai berubah terhadapnya.
"Nggak enak, kita lagi di sekolah. Gue nggak mau jadi sorotan anak-anak di sekolah," tutur Saka serak.
Boy tersenyum geli di saat matanya menangkap ekspresi wajah Rania, gadis remaja itu mengulum bibirnya.
"Semua orang tua kalo kita ini punya hubungan spesial, Saka. Lo itu ke—"
"Ya, awalnya. Tapi, pada akhirnya lo dan gue nggak pernah jadi kita. Sedari awal lo cuman mencintai Gala, bukan gue. Apa lo mulai lupa," potong Saka, ekspresi wajahnya terlihat datar.
Pupil mata Rania melebar, ujung jari jemarinya terasa dingin. "Lo, berubah, Saka. Apakah lo setakut itu sama Kakek lo, sampek lo ngebuang gue kayak gini, Ka. Hubungan gue dan Gala pun nggak pernah benar-benar serius. Gue cuman cinta lo, Ka. Cuma lo," balas Rania menggebu-gebu.
Saka tersenyum sinis, dan menjawab, "Cinta gue, apa cinta sama apa yang gue miliki, Rania. Gue nggak buta Rania, selama ini gue udah kayak cowok begok yang pura-pura nggak liat lo bersama Gala. Sekarang setalah lo kehilangan semuanya, lo mau balik kayak dulu. Setelah gue nggak lagi ngemis cinta dari lo."
Saka membuang muka di saat bulir bening jatuh berderai, bibir Rania bergetar. Rasa takut menyelimuti dirinya, jika Saka pun meninggalkan Rania lantas pada siapa Rania harus bergantung. Ia tidak ingin hidup miskin atau pun sederhana, Rania ingin menikmati apa yang bisa ia dapatkan.
"Kita bisa telat masuk kelas, Saka. Udah jam segini bentar lagi bell bakal bunyi," sela Boy tak nyaman dengan senjata yang sekarang di keluarkan oleh Rania.
Berpura-pura lemah dengan air mata untuk membuat Saka tunduk, ini bukan sekali-dua kali Rania begini. Saka mengangguk, ia melewati Rania begitu saja bersama Boy di sampingnya. Kedua tangan Rania mengepal, ia menoleh ke belakang dan mengusap kasar air matanya.
"Ini semua pasti karena Elea sialan itu, kalo aja bukan karena dia. Gue nggak bakalan ditendang dari keluarga Baskara, kalo bukan karena dia. Gue juga nggak bakalan dibuang gitu aja sama Saka," monolog Rania dengan tatapan mata penuh kebencian pada Elea.
Bersambung....