Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32
Hari mulai beranjak sore ketika Aditya, Larasati, dan rombongan mereka keluar dari ruangan VVIP. Mereka melangkah turun menggunakan lift.
Pada saat yang hampir bersamaan, Raina dan Frida baru saja selesai berbelanja. Sebelum pulang, Raina sempat membeli parfum edisi terbatas—hasil bujuk rayu Frida yang tak henti merayunya.
Aroma harum semerbak mengiringi langkah anggun Raina. Penampilannya mencuri perhatian; tak jarang orang yang berlalu-lalang memuji kecantikannya yang memukau—bak model sungguhan.
"Rain...," gumam Aditya, antara yakin dan tak percaya dengan penglihatannya.
"Itu benar, Tuan. Itu Bu Raina. Beliau sudah datang sejak pagi bersama sahabatnya," bisik asisten pribadi, Dika.
Langkah Aditya mendadak terhenti, membuat rombongan di belakangnya refleks ikut berhenti.
"Sttt! Raina, lihat. Suamimu menatap ke arah sini," bisik Frida sambil menyenggol lengan sahabatnya, yang malah sibuk merapikan belanjaan.
"Benarkah? Aduh, bagaimana ini? Aku malu banget. Apa kita kabur saja?" panik Raina, menarik-narik tangan Frida.
"Eiiits, ngapain?" Frida menahan tangan Raina. "Kita lihat dulu reaksi Aditya."
Dengan percaya diri, Frida berdiri tegak, menyambut rombongan yang mendekat.
Larasati menyipitkan mata, mengamati Raina yang kini tampil jauh lebih memesona dibanding pertemuan terakhir mereka.
"Sial... Ternyata gadis kampung itu bisa cantik juga," geramnya dalam hati, menahan amarah.
"Kalian keluar dulu. Aku masih ada urusan," ujar Aditya tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangan dari sosok Raina.
Semua mata mengikuti arah tatapannya, lalu mulai berbisik satu sama lain.
Larasati semakin kesal. Ia segera menahan lengan Aditya. "Acara hari ini belum selesai, Ditya..."
Namun Aditya dengan cepat melepaskan tangan Larasati, lalu memberi isyarat kepada Dika.
Aditya terpana melihat penampilan baru istrinya. Ia tak bisa memungkiri, Raina tampak begitu memesona. Namun, di balik keterpesonaannya, ada rasa tak rela—wajah cantik istrinya itu, pesona yang ia cintai, kini bisa dinikmati mata banyak orang.
Tanpa pikir panjang, Aditya segera melangkah mendekat. Frida, sahabat Raina yang baik hati dan selalu tahu diri, langsung berpamitan.
“Rain, pangeranmu udah datang, tuh. Aku cabut ya, sultan~ Oh iya, thanks buat semuanya!” Frida tersenyum jenaka sambil mengangkat kantong belanjaannya.
“Frida... tunggu,” panggil Raina pelan. Ada keraguan di suaranya. Dengan penampilan seperti ini, ia merasa tak siap bertemu Aditya.
Dan benar saja, begitu Raina berbalik, di hadapannya berdiri sang suami—CEO tampan itu, kini berdiri bersedekap dada, menatapnya dengan ekspresi khasnya yang sulit ditebak.
“Hehe... Mas, sudah selesai?” Raina mencoba basa-basi, berusaha mengalihkan tatapan tajam Aditya.
Tanpa menjawab, Aditya menatap istrinya dari ujung kepala hingga kaki. Detik berikutnya, ia melepas jas mahal yang dikenakannya dan melilitkannya ke pinggang Raina.
“Lain kali, jangan berpenampilan seperti ini lagi,” ucapnya dingin, lalu menggandeng tangan istrinya menuju mobil.
Raina menepis tangan suaminya dengan kasar. Ada luka yang tak berdarah di hatinya—kata-kata Aditya, alih-alih menghargai usahanya, justru menyakitinya.
Aditya terdiam. Tapi dari sorot mata Raina, ia tahu, perempuan itu tengah menelan kekecewaan.
“Aku tahu... aku tidak pantas, dan memang tidak seharusnya berpenampilan seperti ini,” ucap Raina lirih, membuang pandang ke arah jendela. Dadanya sesak. Usaha yang ia lakukan, tak sedikit pun dihargai.
Dengan perlahan, Aditya meraih wajah istrinya, menangkupnya dengan kedua tangan, dan memaksanya untuk menatap.
"Kata siapa? hem.... justru Aku marah karena kamu terlalu cantik dan sangat cantik“ bahkan tanpa berdandan seperti ini,” ujar Aditya pelan. “Aku marah... karena aku takut. Takut kehilangan kamu. Takut semua orang menatap kamu seperti aku menatap kamu sekarang.”
Raina mengerjap, mencoba mencernanya.
“Rain, kamu itu... terlalu berharga buat jadi tontonan. Aku egois, ya, tapi aku cuma ingin kamu jadi milikku—seutuhnya,” sambung Aditya, nadanya lirih. “Aku nggak suka orang lain bisa lihat kamu seperti ini... bukan karena kamu salah, tapi karena aku nggak bisa nahan rasa cemburu.”
Aditya mencium kening Raina, lalu mengusap bekas air mata yang masih menempel di pipi istrinya dengan jemarinya.
"Kamu sudah makan?" tanya Aditya.
Raina mengangguk. "Tadi bareng Frida. "
Mobil pun segera melaju pesat, dengan kepala Raina bersandar manja di bahu suaminya.
Entah kenapa, hari ini ia bersikap berbeda. Lebih lembut, lebih manja—tak seperti biasanya. Aditya tersenyum, lalu mengecup kening istrinya dengan lembut.
Sesampainya di rumah, Raina masih tertidur. Sore itu ia tampak begitu damai, terlelap di pelukan Aditya.
Aditya tak tega membangunkannya. Dengan hati-hati, ia menggendong Raina dan membaringkannya di tempat tidur.
Wajah cantik itu benar-benar menghipnotis Aditya. Ia menatapnya beberapa saat, seolah ingin mengabadikan momen itu dalam ingatan.
Namun saat hendak beranjak, kakinya tanpa sengaja menginjak sesuatu—sebuah botol kecil. Ia memungutnya, alisnya berkerut. Botol obat.
Tanpa pikir panjang, Aditya membawa botol itu ke ruang kerjanya. Ia memotret botol tersebut dan mengirimkannya ke dokter Firman—teman kuliahnya dulu, kini dokter pribadinya.
“Beritahu aku, ini obat apa?” tulis Aditya dalam pesan singkat, disertai gambar botol.
Tak butuh waktu lama, pesan balasan masuk.
" Itu obat penunda kehamilan." balas dokter Firman.
Aditya terdiam. Ia tak membalas.
Matanya menggelap. Rahangnya mengeras. Tangan kirinya mengepal kuat, gemetar menahan amarah yang mulai mendidih.
Malam itu, Aditya duduk sendiri di ruang kerja, lampu temaram menyinari meja kayu tempat ia menaruh botol obat kecil yang ditemukan kemarin.
Ia tidak tidur. Pikirannya penuh.
Entah sudah berapa kali ia memutar ulang semua kejadian. Semua ucapan. Semua sikapnya selama dua tahun pertama pernikahan mereka.
Dan akhirnya, ia sadar.
Ya Tuhan...
Raina tidak salah sepenuhnya.
Dua tahun pertama itu—masa-masa ketika pernikahan mereka hanyalah bentuk kontrak. Ia, terlalu dingin. Terlalu logis. Terlalu menjaga jarak, seolah Raina hanya sekadar kewajiban di atas kertas. Padahal, perempuan itu... selalu menunggu. Selalu mencoba memahami. Mungkin terlalu banyak berharap.
Aditya menunduk dalam, hatinya mencengkeram rasa bersalah yang menusuk.
Ia mengambil ponsel, dan mengetik cepat pesan untuk dokter Firman:
“Tolong tukar isinya. Buat terlihat sama..”
Dokter Firman tidak bertanya banyak. Hanya membalas:
“Nampaknya kau sudah berubah, . Aku harap ini bukan cuma rencana. Tapi benar-benar karena kau ingin menebus semuanya.”
Aditya terdiam lama menatap pesan itu, lalu menjawab:
“Aku ingin mulai jadi suami sungguhan.” tulisnya tanpa keraguan.
Dan keesokan paginya, seperti biasa keduanya sarapan bersama di selingi irama canda dan tawa di meja makan.
Aditya mencium kening istrinya sebelum berangkat ke kantor, begitupun Raina. Ia selalu mencium punggung tangan suaminya dan mengantarnya sampai depan.
"Hati-hati mas, " Raina melambaikan tangan dengan senyum khasnya.
"Iya kamu juga, baik-baik di rumah. Kalau mau pergi kemana-mana ingat. Harus di antar sopir , " katanya sebelum masuk ke dalam mobil.
Suara mesin menyala, pelan dan tenang. Raina masih berdiri di ambang pintu, matanya mengikuti mobil itu sampai benar-benar hilang di tikungan.
Begitu hening kembali menyelimuti halaman rumah, Raina menarik napas panjang. Ada sesuatu yang terasa berbeda, meski semuanya tampak sama.
Tingkah Aditya—yang romantis, perhatian, bahkan candaan kecilnya saat makan tadi—semuanya seperti adegan yang sudah dihafal. Terlalu sempurna. Terlalu mulus.
Ia menatap kosong ke jalan yang baru saja dilalui Aditya, lalu menunduk dan memeluk dirinya sendiri, seolah mencoba mengusir rasa asing yang tiba-tiba menyelinap ke dada.
Dengan langkah pelan, ia masuk kembali ke dalam rumah. Bunyi pintu yang ditutupnya terasa berat, seperti isyarat akan sesuatu yang tak ia mengerti—belum.