Menikah karena perjodohan, dihamili tanpa sengaja, lalu diceraikan. Enam tahun kemudian Renata tak sengaja bertemu dengan mantan suami dalam situasi yang tak terduga.
Bertemu kembali dengan Renata dalam penampilan yang berbeda, membuat Mirza jatuh dalam pesonanya. Yang kemudian menumbuhkan hasrat Mirza untuk mendapatkan Renata kembali. Lantas apakah yang akan dilakukan oleh Renata? Apalagi ketika Mirza tahu telah ada seorang anak yang lahir dari hasil ketidaksengajaan dirinya di malam disaat ia mabuk berat. Timbullah keinginan Mirza untuk merebut anak itu dari tangan Renata. Apakah Renata akan membiarkan hal itu terjadi? Ataukah Renata akan membuka hati untuk pria lain demi menghindari mantan suaminya itu?
“Kamu sudah menceraikan aku. Diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi tolong jangan ganggu aku.”
- Renata Amalia -
“Kamu pernah jadi milikku. Sekarang pun kamu harus jadi milikku lagi. Akan aku pastikan kamu dan anak kita akan berkumpul kembali.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Hati Yang Kacau
PMI 32. Hati Yang Kacau
Mirza menghempaskan tubuhnya kesal pada tempat tidur. Bayangan Renata dan Tony sedang berciuman di dalam mobil tadi itu terus mengganggunya. Darahnya mendidih tiba-tiba. Dadanya sesak dipenuhi amarah.
Sepanjang perjalanan pulang, pemandangan yang sempat tertangkap mata olehnya itu terbayang-bayang dalam benaknya. Ia yang belum beranjak dari tempatnya mengintai itu tak sengaja menangkap pemandangan yang membuat cemburu memenuhi dadanya.
Entah mengapa hatinya seolah berat pergi meninggalkan rumah itu. Rasa ingin tahunya yang terlalu tinggi tentang Dito membuatnya enggan menjauh. Bayang wajah Dito pun masih bermain-main di pelupuk matanya. Melihat wajah Dito serasa ia melihat bayangan dirinya saat masih seusia anak itu.
Terdorong oleh rasa ingin tahunya itu sehingga ia memutuskan menunggu Renata pulang. Ingin bertanya pada Renata tentang benar atau tidaknya jika Dito bukan anaknya.
“Za, kamu dari mana aja, sih? Dari tadi aku teleponin tapi henfon kamu mati. Emang kamu ke mana aja? Kamu bikin aku kesel, tau!” Tiba-tiba Vanessa datang sambil mengomel. Menghempaskan pantat disebelah Mirza.
Mirza memang sengaja me-nonaktifkan ponsel agar Vanessa tidak mengganggunya. Ia merasa kacau jika Vanessa terus merongrongnya. Lalu sekarang tiba-tiba ia malah ingin Vanessa menghilang saja dari hidupnya. Ia merasa waktunya terbuang percuma untuk Vanessa.
“Cari angin. Emang ke mana lagi?” ketus Mirza sembari mengambil ponsel dalam kantong, lalu mengaktifkan ponsel itu kembali.
“Kamu sengaja kan matiin henfon kamu? Biar apa coba?”
“Agar Guntur tidak menelepon. Drama baru akan segera dimulai proses syutingnya. Kepalaku pusing sekali.”
Mendengar tentang drama baru itu, mata Vanessa langsung berbinar-binar. Ia tahu dirinya yang akan menjadi pemeran utama dalam drama terbaru itu.
“Oh ya? Trus kenapa kita masih di sini? Kita harus cepat-cepat pulang, sayang. Tahap reading-nya kapan emang?”
“Lupakan saja soal drama itu. Sutradara sudah mengganti kamu dengan orang lain. Kamu tidak akan dapat peran utama itu lagi.”
Vanessa terperanjat kaget. Langsung berdiri dari duduknya. Kabar ini membuat amarahnya langsung mendidih. Bisa-bisanya sutradara mengganti dirinya dengan orang lain. Padahal mereka sudah sepakat sebelumnya. Lalu apakah Mirza sudah tidak berpengaruh lagi?
“Kok, bisa? Gimana ceritanya peranku diganti?” Vanessa tak terima sutradara berbuat seenaknya. Lalu Mirza malah terkesan membiarkan. Biasanya Mirza pun akan tersulut emosi, lalu lekas bertindak demi membelanya. Tapi sekarang, apa yang terjadi dengan Mirza?
“Aku juga tidak tau.”
“Trus kenapa kamu malah diam saja, sih, Za? Ambil tindakan dong. Kan, kamu produsernya.”
Mirza berdiri, lalu menjauhi Vanessa menuju balkon. Ia enggan berdebat malam ini. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Renata dan Tony yang sedang berciuman. Bayangan itu rasanya mengganggu sekali hati dan pikirannya. Semakin diingat semakin panas hatinya.
“Mirza, kamu apa-apaan, sih? Bukannya kamu bela aku, kamu malah diam saja. Apa kamu sudah tidak sayang lagi sama aku, Za?” cecar Vanessa mengikuti langkah Mirza menuju balkon.
Mirza memunggungi Vanessa. Matanya menyapu memandangi pemandangan malam demi melenyapkan bayangan Renata dan Tony. Yang anehnya, semakin ia berusaha melenyapkan, bayangan itu justru semakin mengganggu dan mempermainkan emosinya.
“Za. Tolong, dong, ambil tindakan. Masa sutradara berbuat seenaknya gitu sama aku. Sekarang juga aku minta sama kamu, hubungi sutradara itu dan minta dia untuk menarik kembali keputusannya,” pinta Vanessa memerintah. Ia sudah terbakar emosi. Dan Mirza malah diam saja, sama sekali tidak menggubrisnya.
“Ayo, dong, Za. Kamu harus bertindak. Sutradara sudah berbuat seenaknya sama aku. Dan kamu malah diam saja, Za? Kamu masih cinta atau tidak, sih, sama aku, Za? Ayo, dong, lakukan sesuatu,” desak Vanessa dengan amarahnya yang menggunung. Saking kesalnya ia bahkan sampai mengguncang bahu Mirza. Sampai membuat Mirza berbalik.
“Kamu apaan, sih, Ren? Kamu tau tidak, apa yang kamu lakukan tadi itu bikin aku marah? Aku tidak suka melihat kamu dekat dengan Tony.” Mirza mengomel tanpa sadar dengan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Sebab isi pikirannya saat ini hanya dipenuhi oleh Renata.
Vanessa terkesiap. Omelan Mirza itu terasa seperti kilat yang menyambar dan membakar hangus dirinya.
“Jadi, dari tadi aku ngomong, di pikiran kamu hanya perempuan itu? Renata?” Vanessa sudah berubah layaknya singa betina yang siap melahap mangsanya.
Mirza memalingkan muka, menghela napas panjang. Ia baru menyadari kesalahan ucapannya barusan. Yang tanpa sengaja malah menyebut Renata saking emosinya hanya tertuju pada Renata. Bayangan Renata dan Tony sungguh sudah membuat pikirannya kacau.
“Van, aku pusing. Aku tidak mau berdebat, dan tolong jangan ganggu aku. Aku capek.” Mirza melenggang masuk ke dalam kamar. Lalu langsung naik ke atas tempat tidur tanpa bersih-bersih dulu.
Vanessa menyusul ke kamar membawa amarahnya serta. Lantas naik ke tempat tidur, mengguncang tubuh Mirza. Ia tak terima Mirza memperlakukannya seperti ini. Ia yang sudah terbiasa melihat Mirza yang tergila-gila padanya itu sekarang merasa terabaikan.
“Za. Aku butuh penjelasan dari kamu. Kamu tadi pergi ke mana? Dan kenapa tadi kamu sebut-sebut nama perempuan itu. Jangan bilang kalau kamu pergi nemuin dia?” cecar Vanessa dikuasai amarah.
Mirza menoleh. “Van, please. Jangan ganggu aku. Kepalaku pusing dan aku capek. Kalau kamu berisik, ngajak aku berantem malam ini, mendingan kamu cari kamar lain saja. Biar aku yang bayar. Lusa nanti kita pulang. Oke?” pungkasnya kemudian berbaring kembali. Menutup matanya rapat-rapat walaupun rasa kantuk belum menghampiri.
“Tapi, Za. Aku__”
“Vanessa!” pekik Mirza lantang, membungkam Vanessa seketika.
Vanessa pun tidak bisa berbuat apa-apa selain turun dari tempat tidur dan menyeret langkah menuju balkon. Ia menghempaskan tubuhnya dengan kesal diatas sofa.
“Awas saja kamu, Za. Aku mau lihat seberapa lama kamu biasa cuekin aku,” gumamnya jengkel.
****
Mentari sudah menyembul di ufuk timur, menyongsong pagi yang cerah. Renata dan Dito sudah menyelesaikan sarapannya. Renata sudah bersiap, hendak mengantar Dito ke sekolah saat Bu Ningsih berkata,
“Ren, saya sampai lupa ngasih tau kamu. Semalam ada laki-laki yang datang. Orangnya tinggi, ganteng, dan dia ngaku teman lama kamu.”
Renata mengernyit, urung membuka pintu mobil.
“Ibu sempat nanya siapa namanya?”
“Saya sudah tanya, tapi dia tidak memberitahu namanya.”
“Trus dia nanya apa lagi?”
“Dia nanya tentang Dito.”
“Trus Ibu jawab apa? Ibu ngasih tau dia kalau Dito itu anak saya?” Mendadak perasaan Renata menjadi tak enak. Dan instingnya tertuju pada Mirza. Apakah laki-laki yang datang semalam itu adalah Mirza?
“Tidak. Saya bohongi saja dia. Saya bilang kalau Dito bukan anak kamu. Tapi, Ren, kalau saya perhatikan, wajah laki-laki itu kok mirip sama Dito? Apa dia ...” Semalam memang perasaan Bu Ningsih berbisik demikian. Laki-laki dewasa yang datang berkunjung itu ia nilai memiliki kemiripan wajah dengan Dito.
“Bu, kalau orang itu datang lagi saat saya tidak ada di rumah. Tolong jangan ijinkan dia bertemu Dito. Kalau perlu Ibu usir saja dia. Tolong, ya, Bu?” Renata benar-benar tidak bisa menyembunyikan keresahannya. Ia sangat yakin laki-laki itu adalah Mirza.
“Iya, tentu saja, Ren. Perasaan saya juga jadi tidak enak.”
“Ya sudah. Kalau gitu saya pergi dulu, ya, Bu.”
“Bunda, ayo buruan. Nanti aku terlambat, Bunda,” teriak Dito dari dalam mobil.
“Iya, sabar, sayang.” Renata sudah menarik tuas. Pintu mobil sudah terbuka. Belum juga sempat ia naik ke mobil, tiba-tiba terdengar sebuah suara menyapa.
“Selamat pagi?”
Sontak Renata menoleh. Detik itu juga Renata terperanjat kaget melihat Mirza tiba-tiba sudah berdiri tak jauh darinya. Pria itu menyunggingkan senyum kepadanya.
“Pagi, Ren,” sapa Mirza. Kemudian sedikit membungkuk demi melihat Dito di dalam mobil.
“Hai ...” sapa Mirza pada Dito sambil melambaikan tangannya.
To be continued...