Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31
“Maisa bilang dia juga punya seorang anak,” kata Orlan lagi, nada suaranya penuh tekanan.
“Itu bukan urusan kalian. Aku mau pergi sama siapa pun, itu hakku. Urusanku, bukan urusan kalian,” sahut Jayden datar namun tajam.
“Kamu tahu, kan, kalau kami tidak suka kamu berhubungan dengan seorang janda, apalagi dia sudah punya anak,” ujar Orlan menekankan kalimatnya.
Jayden terkekeh sinis. “Apa tadi kakek bilang nggak suka kalau aku berhubungan dengan seorang janda? Bagaimana dengan Mama? Bagaimana dengan Papa? Bukankah mereka sendiri sama-sama pernah menikah sebelumnya? Jadi apa bedanya?” Jayden menatap kakeknya menusuk.
“Itu jelas berbeda. Mamamu memang janda, dan Aron juga duda. Dan lagi, mereka sama-sama setara. Sementara kamu? Kamu masih lajan. Sudah sepantasnya kamu mendapatkan gadis lajang juga dan setara dengan keluarga kita. Demi nama baik keluarga ini,” balas Orlan tak kalah tegas.
Jayden mendengus keras, rahangnya mengeras menahan emosi. “Setelah kakek mengatur-atur dengan siapa aku harus menikah, sekarang kakek juga mau mengatur-atur bahwa aku nggak boleh menikah dengan janda? Hah? Apa hidupku ini cuma sekadar papan catur buat kalian semua!?”
“Itu sudah aturan dari keluarga ini, dan kamu tidak bisa menentangnya, Jayden!”
Jayden menatap lurus, matanya tajam. “Terserah, apapun yang ingin kakek katakan. Kakek nggak punya hak sedikitpun buat ngatur-ngatur dengan siapa aku jatuh cinta.”
“Apa kamu sudah jatuh cinta sama karyawan barumu itu?” suara Bella tiba-tiba terdengar, tatapannya lurus menusuk ke arah putranya.
Jayden menghela napas panjang. Sesaat ia diam, sebelum akhirnya menjawab tegas. “Aku memang belum mencintai siapa pun sekarang, termasuk wanita itu. Tapi hati manusia itu tidak bisa diprediksi. Kalau pun suatu saat nanti aku benar-benar jatuh cinta sama dia, kalian nggak berhak melarangku untuk menikahinya. Aku yang akan menjalani hidupku, bukan kalian.”
Setelah mengatakan itu, Jayden langsung berdiri dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
“Jayden!! Kami belum selesai bicara!!”
“Jayden!! Berhenti!!” seru Bella tak kalah keras.
Namun Jayden menulikan telinganya. Daripada lidahnya semakin lancang dan melawan orang tuanya, lebih baik ia pergi sekarang.
Napasnya memburu, wajahnya menegang. Begitu sampai di mobil, Jayden segera masuk dan menghempaskan tubuhnya ke kursi pengemudi. Tangannya mencengkeram setir erat-erat.
“Aku tidak mencintai Selina…” desisnya. “Dia pembawa sial. Selalu bikin aku kesal. Nggak ada alasan bagiku untuk mencintainya. Nggak ada yang menarik dari dirinya—baik wajahnya maupun sikapnya.”
••••••
Pagi ini, Selina tersenyum menatap putranya yang tampak lebih ceria. Ian sudah rapi dengan seragamnya, wajahnya berseri-seri karena katanya ada acara ulang tahun temannya di sekolah.
“Mama, ayo cepat! Kata temen Ian semalam, dia mau bagi-bagi coklat pagi ini. Ian nggak boleh sampai telat!” ujar bocah itu semangat.
Selina terkekeh kecil, lalu mengusap lembut kepala putranya. “Sabar, sayang. Mama ambil tas dulu, ya.”
Setelah itu, Selina menggenggam tangan Ian erat-erat dan menuntunnya keluar rumah. Bocah itu terus saja mengoceh sepanjang perjalanan di atas motor. Selina mendengarkan dengan penuh perhatian.
Namun tiba-tiba, dari kaca spion, Selina melihat sebuah mobil hitam melaju cepat di belakang mereka. Mobil itu seperti sengaja membuntuti, bahkan beberapa kali tampak mendekat seolah ingin menabrak.
Selina tersentak, jantungnya berdegup kencang. Ia segera melajukan motornya lebih kencang, tubuhnya sedikit gemetar menahan panik. Ian yang duduk di depan hanya terdiam, tampak bingung kenapa mamanya tiba-tiba memacu motor lebih cepat.
Baru setelah beberapa menit, Selina bernapas lega ketika mobil itu tak lagi terlihat. Napasnya masih memburu, namun ia memaksa dirinya tetap tenang.
Mereka sampai di depan sekolah. Selina turun lebih dulu, lalu merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar uang hijau.
“Banyak banget, Mama,” ucap Ian sambil menatap uang itu.
“Kalau nggak habis, tabung aja, ya. Buat jajan lain kali,” balas Selina sambil tersenyum.
Ian mengangguk semangat, lalu meraih uang itu dan cepat-cepat mencium pipi Selina. “Makasih, Mama!” Setelah itu, bocah itu berlari masuk ke kelas.
Selina menatap punggung kecil putranya yang menghilang di balik pintu kelas, tapi hatinya diliputi rasa was-was. Bayangan mobil hitam tadi masih melekat jelas di kepalanya.