NovelToon NovelToon
Numpang Jadi Pacar Kamu Dong, Bang!

Numpang Jadi Pacar Kamu Dong, Bang!

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Trauma masa lalu / Cintamanis / Cinta Murni / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca

Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—

“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”

Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.

Diam.

Nggak nyaut sepatah kata pun.

Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭

Malu? Jelas.

Tapi sialnya, malah keterusan.

Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.

Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.

Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...

Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!

Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehampaan yang berisik

Dunia Aruntala tidak meledak. Ia tidak pecah berkeping-keping dalam dentuman amarah atau teriakan protes yang memekakkan telinga. Sebaliknya, dunia itu lenyap begitu saja, terisap ke dalam lubang hitam yang senyap di antara kata terakhir ayahnya dan napasnya yang berikutnya. Kebisingan yang menjadi esensi dirinya, musik di kepalanya, ocehan di bibirnya, detak jantungnya yang selalu terburu-buru, semuanya berhenti.

Yang tersisa hanyalah ruang hampa.

Bram Santosa mengamati putrinya dengan napas tertahan, bersiap menghadapi badai yang ia tahu akan datang. Ia siap dibentak, dimaki, bahkan dilempari barang. Namun, yang ia dapatkan jauh lebih menakutkan: keheningan. Aru hanya menatapnya, matanya yang bengkak dan merah itu kini tampak seperti dua kawah kosong di permukaan bulan. Tidak ada api, tidak ada air mata, hanya kehampaan yang dingin.

“Baik,” bisik Aru.

Satu kata itu, begitu lirih dan patuh, terasa lebih menusuk daripada seribu pisau. Bram tersentak seolah baru saja ditampar. Ini bukan Aruntala-nya. Aruntala-nya akan melawan, akan berteriak, akan membuat keributan sampai seisi rumah bergetar. Gadis di hadapannya adalah orang asing, cangkang kosong yang ditinggalkan oleh jiwa yang telah melarikan diri.

Tanpa sepatah kata pun lagi, Aru berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerja ayahnya, langkahnya mantap namun tanpa bobot, seperti hantu yang melayang di atas lantai. Ia tidak membanting pintu. Ia hanya menutupnya dengan pelan, dan bunyi klik pelan dari gerendel pintu itu terdengar seperti vonis akhir yang dijatuhkan di sebuah ruang sidang yang sunyi.

***

Tiga hari berlalu dalam kabut yang sama. Aru mencoba kembali pada rutinitasnya, sebuah tarian yang gerakannya sudah ia lupakan. Ia menyalakan musik di kamarnya, lagu-lagu rock yang paling hingar-bingar, tetapi suara gitar yang melengking dan drum yang menggelegar hanya menjadi kebisingan latar yang tidak berarti. Dulu, suara-suara itu adalah perisainya. Sekarang, suara-suara itu hanya menyoroti betapa sunyi hatinya.

“Lo yakin nggak mau makan, Ru?” Suara Danu memecah lamunan. Sahabatnya itu duduk di tepi ranjang, menyodorkan semangkuk bubur ayam yang masih mengepul. Sudah tiga hari Danu menginap, menjadi penjaga bisu di sudut kamar Aru.

Aru menggeleng pelan, matanya terpaku pada jendela yang menampilkan langit kelabu Jakarta.

“Nggak lapar.”

“Lo harus makan. Nanti lo sakit,” bujuk Danu lembut.

“Buat apa?” balas Aru, suaranya datar.

“Toh, dua minggu lagi aku bakal jadi pajangan di pesta pertunangan. Setidaknya kalau aku kurusan dikit, gaunnya kelihatan lebih bagus.”

Danu menghela napas, meletakkan mangkuk itu di nakas.

“Jangan ngomong gitu, Ru. Kita bisa cari jalan keluar. Kita bisa kabur, atau…”

“Kabur ke mana, Nu?” Aru akhirnya menoleh, seulas senyum getir tersungging di bibirnya.

“Percuma. Mereka bakal nemuin aku. Dan lagian… aku udah capek lari.” Ia menatap kedua tangannya.

“Selama ini aku pikir, berisik itu caraku buat ngelawan. Buat ngusir sepi. Tapi sekarang…” Matanya kembali menerawang.

“…sepinya yang jadi berisik di kepala aku.”

Rasa rindu itu datang seperti gelombang pasang yang ganas, menyeretnya ke dasar lautan. Ia merindukan kehadiran Kevin. Bukan suaranya, karena ia tidak pernah benar-benar mengenalnya. Ia merindukan keheningannya. Ia merindukan cara Kevin menatapnya saat ia mengoceh, seolah setiap kata sampahnya adalah sebuah melodi. Ia merindukan tulisan tangannya di buku notes, goresan tinta yang terasa lebih jujur daripada ribuan kata yang diucapkan. Ia merindukan keheningan yang ‘penuh’, yang kini telah digantikan oleh keheningan yang hampa dan mematikan.

Sore itu, tanpa bisa menahan diri, ia menyambar kunci mobilnya.

“Mau ke mana, Ru?” tanya Danu cemas.

“Cari angin,” jawab Aru singkat.

Namun, mobilnya seolah memiliki pikiran sendiri. Ia melaju di jalanan yang basah sisa hujan, berbelok di persimpangan yang familier, hingga akhirnya berhenti di seberang jalan dari sebuah tempat yang pernah menjadi dunianya. Kafe ‘Sunyi Bicara’.

Dari dalam mobil, Aru menatap fasad kafe yang hangat itu. Lampu-lampu kuningnya menyala, beberapa pelanggan terlihat mengobrol dengan bahasa isyarat di dekat jendela. Tempat itu tampak sama, tetapi terasa berbeda. Ia mencari-cari sosok itu di balik bar, sosok tegap yang biasanya meracik kopi dengan konsentrasi seorang seniman.

Kevin tidak ada di sana.

Hatinya mencelos. Tentu saja dia tidak di sana. Untuk apa seorang CEO menghabiskan waktunya sebagai barista? Semua itu hanyalah bagian dari sandiwara. Sandiwara yang telah menipu Aru habis-habisan. Namun, rasa sakit karena pengkhianatan itu kini mulai terkikis oleh gelombang kerinduan yang lebih besar. Ia hanya ingin melihatnya, bahkan dari jauh. Hanya untuk memastikan bahwa pria itu nyata, bahwa semua yang pernah mereka bagi, meskipun palsu, setidaknya pernah ada.

***

Malamnya, Aru duduk bersila di atas karpet kamarnya. Di hadapannya, tersebar puluhan lembar kertas yang ia ambil dari sebuah kotak sepatu tua. Itu adalah semua notes yang pernah Kevin tulis untuknya. Relikui dari sebuah hubungan yang telah menjadi abu.

Tangannya yang gemetar meraih lembaran pertama.

Berisik sekali. Baiklah. Tapi ada syarat. Jeda 5 detik saat bicara.

Aru tersenyum pahit. Dulu ia menganggapnya sebagai aturan konyol dari pria aneh yang kaku. Sekarang, ia melihatnya sebagai permohonan putus asa dari jiwa yang lelah akan kebisingan dunia, yang hanya menginginkan sedikit jeda untuk bisa bernapas.

Ia mengambil lembaran lain.

Jangan menyentuh milikku.

Tulisan yang Kevin tunjukkan pada Danu saat cemburu. Dulu ia menertawakannya, menganggapnya lucu dan posesif. Sekarang, ia melihat kerapuhan di baliknya. Itu bukan tulisan seorang pria berkuasa yang mengklaim miliknya. Itu adalah tulisan seorang pria yang takut kehilangan satu-satunya kebisingan yang berhasil menembus benteng keheningannya.

Matanya mulai basah saat membaca lembaran yang ia simpan paling rapi.

Kebisingan adalah teriakan minta tolong. Kamu baik-baik saja, Aru.

Air mata pertama jatuh membasahi kertas itu. Bagaimana bisa ia menuduh pria ini tidak mau mendengarkannya? Pria ini tidak hanya mendengar ocehannya, ia mendengar apa yang ada di baliknya. Ia mendengar jeritan sunyi di antara tawa Aru yang meledak-ledak. Setiap goresan pulpen di atas kertas-kertas ini bukanlah kebohongan. Itu adalah upaya. Upaya tulus dari seorang pria yang terperangkap dalam keheningannya sendiri untuk menjangkau dunia luar, untuk terhubung.

Ia telah menuduh Kevin bersembunyi di balik topeng orang cacat. Betapa kejamnya ia. Betapa butanya ia oleh lukanya sendiri hingga tidak bisa melihat luka orang lain. Trauma Kevin sama nyatanya dengan traumanya. Keheningannya adalah penjara, sama seperti kebisingannya adalah perisai. Mereka adalah dua sisi dari koin yang sama, sama-sama rusak, sama-sama terluka.

“Gue yang salah, Nu,” isak Aru, suaranya pecah saat Danu masuk dan duduk di sampingnya, mengusap punggungnya dengan lembut.

“Gue egois. Gue cuma mikirin rasa sakit gue dikhianatin, sampe gue lupa… dia juga punya rasa sakit.”

“Ssst… udah, Ru,” bisik Danu.

Aru menggeleng keras, air matanya mengalir deras. Ia memunguti lembaran-lembaran kertas itu seolah itu adalah pecahan hatinya sendiri. Saat itulah jarinya merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah kertas yang terlipat kecil, terselip di antara dua lembar notes yang lebih besar. Kertas ini berbeda, bukan dari buku notes Kevin yang biasa. Kertas ini tampak seperti disobek terburu-buru dari buku lain.

Dengan jari gemetar, ia membukanya. Tulisan tangan Kevin di sana tampak sedikit berbeda. Goresannya lebih dalam, lebih kacau, seolah ditulis dengan emosi yang meluap-luap.

Hanya ada tiga kalimat pendek di sana. Tiga kalimat yang ditulis untuk dirinya sendiri, bukan untuk dibaca Aru. Tiga kalimat yang terasa seperti kunci yang membuka ruang paling rahasia di hati Kevin.

Napas Aru tercekat di tenggorokan saat matanya menyerap setiap kata. Dunianya yang tadi lenyap, kini kembali dengan kekuatan seribu badai, menghantamnya dengan penyesalan yang begitu dahsyat. Kertas itu terlepas dari genggamannya yang lemas.

Di atasnya tertulis sebuah pengakuan yang sunyi, sebuah ketakutan yang paling dalam.

Aku mencintainya.

Aku harus memberitahunya.

Tapi suaraku akan menghancurkan keheningan kita yang indah.

1
Vtree Bona
seru ka lanjut yah kak thor
Vtree Bona
lanjut kaka,,,,,, semangat 💪
Vtree Bona
songgong amat tuh manusia,,,,,di bikin dari apa sech
Vtree Bona
lanjut kaka
Realrf: Oke 😍
total 1 replies
Vtree Bona
lanjut kak,,,,,kek nya bakal seru banget nih
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!