“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”
Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.
Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.
Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.
Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.
Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.
Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 - KAU HANYA PERLU PERCAYA PADAKU
“Tolong... apa aku bisa bertemu Dokter Xia?”
Perawat itu tertegun, lalu menatap Yu Liang dengan raut bingung.
“Dokter Xia? Maaf, Tuan... di sini tidak ada dokter bernama Xia.”
Tatapan Yu Liang menajam.
Ia menatap perawat itu seksama, seolah mencoba membaca isi hatinya, apakah wanita itu jujur, atau hanya berpura-pura tidak tahu. Ia menelan ludah, menahan nyeri yang menjalar hingga dadanya.
“Siapa dokter yang bertanggung jawab... untukku?” tanyanya pelan namun penuh tekanan.
Perawat itu sempat ragu menjawab.
“Maksudmu... Dokter Yang?”
“Dokter Yang?” alis Yu Liang berkerut. “Siapa dia?” Perawat itu menarik napas perlahan.
Seketika ia paham mengapa pasien itu tampak begitu bingung dan mengapa nama Dokter Xia diucapkannya dia pasti belum sebenarnya sadar.
“Bisakah... aku bertemu dengan Dokter Yang?” tanyanya lemah.
Perawat itu mengangguk pelan dan hendak berbalik meninggalkan ruangan, namun Yu Liang menahan ujung bajunya dengan sisa tenaga yang ia punya.
“Apa... tidak ada orang yang menjagaku?” suaranya bergetar, di antara napas yang berat.
Perawat itu menatapnya bingung. “Maksud Tuan... para penjaga di luar?”
Tubuh Yu Liang menegang.
Tatapannya kosong sejenak sebelum akhirnya ia menarik napas perlahan. Dugaan itu benar, dia tidak akan pernah dibiarkan sendirian begitu saja.
“Baiklah,” ucap perawat itu hati-hati, “aku akan segera memanggil Dokter Yang—”
“Tunggu.” Suara Yu Liang menghentikan langkahnya. Ia menatap perawat itu dengan mata yang memohon. “Bisakah kau... tidak memberitahu orang lain?”
Perawat itu terdiam beberapa detik.
Raut wajahnya berubah iba ketika melihat kelemahan dan ketakutan yang tersirat di wajah pasien itu. Ia akhirnya mengangguk pelan.
“Baik, Tuan. Saya mengerti.”
Lalu ia berjalan pergi, meninggalkan Yu Liang yang kini menatap langit-langit dengan pandangan kosong antara pasrah dan gelisah, menanti sosok yang selama ini ia cari.
Perawat itu berjalan cepat menuju pusat informasi. Lorong rumah sakit tampak lengang, beruntung tak ada siapa pun yang berjaga di meja administrasi, juga tidak terlihat rekan-rekannya sesama perawat.
Jantungnya berdebar ketika memastikan sekitar aman.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu dengan tangan sedikit gemetar, menekan nomor Dokter Yang yang tersimpan di layar ponselnya.
Nada sambung terdengar pelan di antara sunyi ruangan. Setiap detiknya terasa panjang.
“Dokter Yang…” bisiknya lirih begitu sambungan tersambung.
“Maaf, saya menghubungi di luar jadwal, tapi pasien atas nama Yu Liang… dia mencarimu.”
...
Yang Xia tiba di rumah sakit satu setengah jam kemudian. Di belakangnya, beberapa anggota tim bayangan berjalan dengan langkah tenang namun siaga. Orang-orang yang dikirim Guang Yi untuk memastikan keselamatan dan perlindungan sang nona besar Yang Group, Yang Xia.
Begitu turun dari mobil, Xia melangkah cepat melewati lorong utama. Wajahnya tenang, tetapi sorot matanya tajam, penuh perhitungan.
Ia mengenakan jas dokter berwarna putih bersih, rambutnya diikat rapi, menyembunyikan segala identitas yang tidak seharusnya diketahui orang.
Perawat yang tadi menghubunginya segera menghampiri.
“Dokter…” panggilnya setengah lega.
Xia mengangguk singkat, menyunggingkan senyum profesional. “Apa yang terjadi?”
Mereka berjalan berdampingan menuju ruang perawatan Yu Liang. Di sepanjang koridor, Xia bisa merasakan tatapan tajam dari beberapa pria berpakaian formal, terlalu rapi untuk sekadar penjaga rumah sakit. Salah satu dari mereka menghentikan langkahnya.
“Tunggu.” Xia berhenti.
Ia menatap pria itu dengan senyum tenang yang nyaris menipu.
“Apakah ada yang salah? Saya dokter yang bertanggung jawab menangani pasien Atas nama Yu Liang.” Tanyanya lembut, nada suaranya seperti biasa tenang, menenangkan, dan sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan.
Penjaga itu menatapnya curiga, seolah ingin memastikan sesuatu. Namun Xia tetap memancarkan aura percaya diri khas seorang dokter berpengalaman.
Ketika pria itu akhirnya mempersilakan lewat, Xia melangkah lagi tanpa terburu-buru. Senyum kecil masih menghiasi wajahnya.
Mereka pikir sedang menjaga keselamatan seseorang, batinnya dingin. Padahal aku tahu, mereka di sini bukan untuk melindungi, melainkan mengawasi Yu Liang.
Pintu ruang perawatan itu tertutup rapat, hanya suara beep pelan dari alat monitor yang terdengar mengisi sunyi. Begitu perawat menekan kode akses dan membuka pintu, aroma antiseptik langsung menyeruak, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan.
Yang Xia melangkah masuk perlahan.
Pandangannya langsung tertuju pada sosok di ranjang Yu Liang, terbaring pucat, dengan selang infus menempel di tangan dan oksigen di hidungnya.
Wajah itu… masih sama seperti terakhir kali ia lihat. Namun kini, tampak rapuh.
Perawat memberi hormat kecil. “Dokter, ini...” Xia mengangguk singkat. “Kau boleh keluar dulu. Aku ingin memeriksa sendiri.”
Perawat itu menatap sekilas ke arah penjaga di luar, lalu menutup pintu perlahan. Kini hanya mereka berdua.
Xia mendekat, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia memandangi wajah Yu Liang lama, seolah memastikan bahwa ini bukan sekadar mimpi.
“Yu Liang…” panggilnya pelan, nyaris seperti bisikan yang terbawa udara.
Kelopak mata Yu Liang bergetar, lalu perlahan terbuka. Tatapan lemah itu menangkap sosok di hadapannya dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti.
“… Dokter Xia?” suara serak itu keluar, lebih seperti gumaman dari seseorang yang tak yakin dengan pandangannya sendiri.
Senyum lembut muncul di wajah Xia, namun matanya basah, menahan emosi yang selama ini ia tekan.
“Jangan banyak bicara. Aku di sini sekarang.”
Yu Liang berusaha mengangkat tangannya, tapi tubuhnya terlalu lemah. Xia segera meraih tangan itu, menggenggamnya lembut.
“Kenapa…” suaranya terputus di antara napas yang berat. “…kenapa kau bisa berada di sini? Bukankah… Kau dokter dirumah sakit tiansheng —”
“Ssst…” Xia menunduk, menatapnya dengan mata yang tenang namun penuh rahasia.
“Aku tahu siapa mereka. Karena itu aku datang.”
Sunyi menggantung di antara mereka.
Di luar, dua penjaga tampak masih berdiri di depan pintu, tak menyadari bahwa pertemuan yang mereka awasi bukan sekadar antara dokter dan pasien melainkan dua orang yang dipertemukan kembali oleh luka masa lalu dan kebenaran yang berbahaya.
Yu Liang menatap Yang Xia dengan sorot mata penuh kebingungan. Keheningan menggantung di antara keduanya, hanya suara pelan monitor jantung yang menjadi saksi percakapan yang tak seharusnya terjadi.
Xia akhirnya membuka suara, lembut namun penuh makna.
“Aku hanya ingin memastikan satu hal…” ucapnya, menatap lurus ke arah Yu Liang.
“Apakah kau… percaya padaku?”
Hening.
Yu Liang tidak segera menjawab.
Pandangannya goyah, berpindah dari wajah Xia ke langit-langit putih di atasnya. Ia tak tahu harus berkata apa, antara ingin mempercayai, atau takut jika semua ini hanyalah permainan yang lain.
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia menatap Xia lagi.
“Apa maksudmu? Kau… memang datang ke sini untukku?” tanyanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Xia tersenyum kecil, senyum yang samar namun hangat.
“Bagaimana jika aku mengatakan… ya?” katanya lembut, mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat.
“Apakah kau akan percaya?”
Tatapan mereka saling bertemu lama, dalam, penuh makna yang tak terucap. Di balik tenangnya ekspresi Xia, ada sesuatu yang sulit disembunyikan.
Rasa khawatir, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kewajiban seorang dokter pada pasiennya.
Yu Liang terdiam.
Dadanya terasa sesak bukan hanya karena rasa sakit fisik, tapi juga sesuatu yang jauh lebih berat di dalam hatinya. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Apakah ia harus merasa senang, karena ternyata masih ada harapan? Karena sosok yang selama ini hanya hadir dalam bayangan, kini berdiri nyata di hadapannya?
Atau justru sedih, karena kehadiran itu berarti satu hal, bahwa Dokter Xia atau siapa pun dia sebenarnya, kini ikut terperangkap dalam bahaya yang sama.
Pandangan Yu Liang meredup. Ia menatap Xia lama, seolah ingin mengatakan banyak hal yang tak sanggup keluar dari bibirnya.
“Jika kau benar-benar datang untukku…” bisiknya lirih, “maka itu berarti… kau bisa ikut terluka.”
Senyum lembut di wajah Xia tak memudar, namun matanya menyimpan sesuatu yang dalam antara keberanian dan kesedihan.
“Risiko itu sudah aku pilih sejak aku memutuskan untuk datang,” ucapnya pelan.
“Kau hanya perlu percaya padaku, Yu Liang.”