Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya Ada Manusia
Beberapa menit kemudian...
Laras sudah leyeh-leyeh di kasur, satu kaki selonjor, satu lagi ngelipet. Tangannya megang remote, namun TV belum menyala. Dia hanya bengong—dengan ekspresi kesal maksimal.
“Ya ampun, ini cowok tuh beneran ya...”
Ia melongo ke langit-langit.
“Ngajak orang ke tempat asing... terus cabut. APA ITU TIDAK TERMASUK PENELANTARAN?!”
Ia bangun lagi, duduk menyandar ke sandaran kasur.
“Harusnya tadi aku rekam diam-diam terus lapor. ‘Pak Polisi, saya dibawa cowok misterius, katanya sih safe house, tapi terus saya ditinggal kayak buronan’...”
“…Yah, kalo didengerin polisinya juga bakal ikutan bingung sih.”
Mendadak ia berdiri. Menghadap ke jendela besar, gaya ala drama. Angin dari AC bikin rambutnya berkibar pelan.
“Arka... kalau kau bisa mendengar suara hatiku…” Ucapnya sembari menaruh tangan di dada.
“KEMBALILAH. JANGAN CUMA NGANTAR. TERUS NGELANTARIN.” Teriaknya kesal.
Tiba-tiba perutnya bunyi. Ia melirik perutnya, lalu mendesah panjang.
“...Dan bawa martabak juga. Yang keju kacang. Sama plastiknya dua.”
Ia jatuh terduduk ke karpet sambil meringis.
“Ugh...aku lapar. Ini cowok ngajak kabur tapi gak nyediain snack. Harusnya kan... minimal bawa ciki dua biji.” Keluhnya semakin kesal.
Dan saat itulah...
Cklek.
Pintu kamar terbuka pelan. Lena muncul sambil membawa nampan berisi teh hangat dan biskuit kaleng.
“Mbak Laras?”
Lena menahan senyum melihat Laras yang duduk di lantai dengan ekspresi ‘anak ilang kelaparan’.
Laras buru-buru berdiri, sok kalem.
“Eh—eh iya. Aku cuma... peregangan.”
Lena meletakkan teh ke meja kecil, masih tersenyum ramah.
“Kata Mas Arka, Mbak belum sempat makan sore. Ini ada teh sama camilan dulu ya.”
Laras mendengus, tapi matanya tetap melirik biskuit.
“Oh... dia masih peduli ternyata. Kukira udah lupa aku di sini kayak... tanaman bonsai.”
Laras menatap teh dan biskuit itu lama.
Satu tangan nyelonjor ke paha, satu lagi melipat dada. Tapi dari ekor matanya, ia udah ngelirik isi kaleng itu kayak anak kos ngelirik lemari Indomie temennya.
Lena tetap berdiri sopan. Tidak memaksa, atau pun komentar, dia hanya tersenyum tenang.
Akhirnya, Laras menghampiri meja, dan duduk di sofa. Dengan sok malas—padahal udah ngiler—ia ambil satu biskuit.
“Kamu tahu gak,” katanya sambil mengunyah pelan, “aku kira di rumah ini isinya bakalan orang-orang model robot yang ngomongnya kayak briefing tim elit.”
Lena terkekeh pelan, matanya berbinar geli.
“Berarti saya lulus tes manusia, Kak?”
Laras mendesah dramatis. “Lulus. Soalnya kamu gak jawab semua pertanyaan kayak AI atau Arka.”
Mereka berdua tertawa kecil. Laras menyeruput teh pelan. Hangatnya meresap sampai ke dada.
Lena duduk di sisi lain sofa—cukup dekat untuk ngobrol, cukup jauh untuk gak bikin Laras risih.
“Nah ini. Teh dua sendok gula. Tadi waktu kakak liatin teko teh... udah kayak orang yang abis diputusin.”
“Heh—enggak gitu juga!” Laras nyaris tersedak tawa.
Ia mengambil gelasnya, mencicipi pelan. Manis. Perlahan Laras mulai sedikit nyaman.
Hening sebentar. Lalu Lena mulai celoteh lagi—tentang teh yang dia beli dari warung sebelah, tentang tetangga sebelah rumah yang pernah iseng masuk halaman karena ngira ini kos-kosan, sampai keluhannya tentang kabel charger yang selalu hilang.
Dan Laras... mendengarkan. Tertawa. Menimpali. Bahkan ikut curhat soal sandal kamar mandi di rumah keluarga Wijaya yang entah kenapa licin semua.
Setelah lima belas menit, Laras akhirnya bersandar di sandaran sofa, matanya sedikit berkaca.
“Ya ampun... aku kayak baru ketemu manusia.”
Lena berkedip. “Hah?”
“Enggak, maksudku...” Laras tertawa pelan, “Akhir-akhir ini aku Cuma ketemu orang-orang yang... serem. Kaku. Misterius. Gak bisa diajak ngobrol gini. Jadi aku ngerasa kayak baru pulang ke bumi.”
“Pfft... kamu kekurangan apa sih? Vitamin gosip?”
“BUAT AKU DUA BOTOL SEKALIGUS!!”
Laras langsung menjawab seketika, membuat keduanya meledak tawa.
“Sebenarnya, saya juga sempat tegang pas dibilang bakal jagain Kak Laras,” kata Lena pelan, nada suaranya santai. “Saya pikir, aduh... jangan-jangan orangnya galak atau susah diajak ngobrol.”
Laras melirik tajam. “Heh. Aku gak galak ya.”
“Enggak, enggak,” Lena cepat-cepat mengangkat tangan. “Sekarang saya tahu. Kakak Cuma... defensif. Wajar kok, habis dibawa tiba-tiba ke tempat asing.”
Laras terdiam sejenak. Kaget juga, Lena bisa se-empati itu tanpa terdengar basa-basi.
Ia menatap teh di tangannya.
“…Aku masih bingung kenapa semua ini harus terjadi kayak gini. Tapi... ya sudahlah.”
Lena tersenyum lembut. “Kadang hidup suka kayak gitu, Kak. Gak nanya dulu, langsung lempar plot twist.”
Laras nyaris tersedak teh karena ketawa. “Ya ampun… kamu nonton drama juga ya?”
“Saya pelayan, bukan robot,” jawab Lena kalem. “Waktu luang ya nonton juga. Saya tim nonton drama sambil ngemil keripik.”
Laras memandangi Lena sejenak. Matanya melembut.
“…Akhirnya ada juga orang normal di rumah ini.”
Lena mengerjap. “Saya orang normal?”
“Banget.” Laras bersandar lebih rileks. “Normal. Ramah. Gak suka muncul tiba-tiba terus ngomong ‘tenang, semua dalam kontrol’. Dan yang paling penting… bisa diajak ngobrol tanpa bikin aku pengin banting gelas.”
Lena terkekeh. “Wah, saya bangga banget dapet nilai plus dari Kak Laras.”
Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah itu, Laras benar-benar tersenyum lepas. Senyum yang gak terpaksa, gak dibuat-buat, dan gak diselingi keluhan.
Laras memeluk bantal sofa sambil tersenyum, tapi beberapa detik kemudian, ia menoleh ke Lena.
“Eh, ngomong-ngomong… kamu manggil aku ‘Kak’ mulu. Padahal kayaknya umur kita sepantaran deh.”
Lena sempat melongo. “Eh? Masa sih?”
“Iya. Aku semester tujuh. Kamu umur berapa?”
“Dua puluh,” jawab Lena sambil cengengesan.
“Loh, Cuma beda setahun. Jadi gak usah manggil ‘Kak’ lah. Aneh banget rasanya.”
“Hehe... iya deh. Tapi nanti kalau keceplosan, jangan marah ya.”
“Deal,” Laras tertawa. “Terus... kamu udah kerja berapa lama sih? Maksudnya, jadi pelayan begini?”
“Baru-baru ini kok,” jawab Lena. “Tadinya aku kerja paruh waktu jadi pelayan kafe gitu. Cuma sekarang diminta bantuin di sini, ya... kenapa enggak?”
“Jadi kamu gak kuliah?”
“Masih dong,” jawab Lena semangat. “Aku kuliah di Kampus Mahardika. Gak nyangka sih dapet beasiswa di situ... sempat mikir nggak keterima.”
Laras langsung duduk tegak. “EH?! Kamu anak Mahardika juga?!”
“Hehe, iya…”
Laras memicingkan mata. “Kok aku belum pernah lihat kamu ya?”
Lena nyengir, lalu menggaruk kepala pelan. “Mungkin karena aku anaknya gak terlalu aktif. Tapi... aku tahu kamu dari gosip yang tersebar itu loh…”
Laras langsung menutup wajah pakai bantal. “ASTAGAAA JANGAN DIBILANG!!”
Lena ketawa kecil, lalu mencondongkan badan dikit sambil berbisik ala konspirasi, “Tapi... gosipnya tuh seru banget lho.”
“Seru gimana?”
Lena menahan senyum, tapi matanya jahil. “Katanya kamu dijemput cowok misterius... pakai motor... terus katanya galak tapi super protektif. Apalagi setelah kejadian di pesta gala amal itu, katanya kamu diselamatkan dia kayak di film-filem. Banyak yang bilang kayak... drama Korea versi lokal.”
Laras menghela napas panjang. “Tuh kan, udah kayak webtoon.”
“Tapi yang paling seru sih…” Lena merunduk pelan, suara setengah berbisik, “Sekarang aku liat langsung... ternyata cowoknya ganteng banget.”
“HEH!!”
Laras langsung mencolek pinggang Lena pakai bantal.
Lena ngakak. “Ya ampun, mukanya kamu langsung merah! Beneran deh, kamu tuh beruntung banget. Dari deket gitu loh! Asli... aura misterius Kak Arka tuh kayak... cling cling cling~”
Laras membuang muka, pipinya makin merah. “Yaelah, aura apaan. Dia mah kayak robot. Nyebelin, suka ngilang, terus... bawa orang ke tempat asing dan ninggalin!”
“Tapi tetap ganteng, kan?” Lena nyengir sambil ngedip jail.
“Lenaaaaa…” Laras ngedumel sambil nutup muka pakai bantal lagi.
Tapi kali ini, tawanya ikut bocor keluar.
Dunia sempit banget sih... ternyata Lena satu kampus. Bisa-bisa nanti pas ia balik kuliah malah ketemu dia di kantin. Pikirnya.
“Ya kan siapa tahu kita bisa bareng makan siang?” ucap Lena, seolah bisa baca pikirannya.
“Eh? Boleh sih,” jawab Laras pelan, sedikit kaget. “Tapi... janji ya, jangan pernah bilang ke siapa-siapa soal aku disembunyikan di rumah ini. Bahkan temen kampus sekalipun.”
Lena mengangguk tegas. “Aku ngerti. Ini rahasia.”
Laras menatap Lena beberapa detik, lalu mengangguk balik.
Di luar sana, dunia mungkin masih kacau.
Tapi di dalam ruangan itu, dua orang gadis sedang tertawa. Dan untuk sementara waktu, itu cukup untuk membuat segalanya terasa... manusiawi.