Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31.Ketika Cinta Tak Lagi Menyembunyikan Diri
Mentari Puncak mengusap kabut pagi, tapi cahaya itu belum sepenuhnya menyelinap ke dalam vila tua. Di kamar berpanel kayu, Aurora menatap pakaian berserakan—jejak malam di mana cinta tak lagi bersembunyi. Tristan masih terlelap, rambutnya berantakan di bantal, napasnya tenang untuk pertama kali setelah bertahun luka. Aurora membiarkan pandangannya menelusuri lekuk punggung Tristan, bekas-sabuk masa kecilnya terlihat samar. Ia condong, mengecup pelan luka itu, seolah memberi janji bahwa ia akan melindungi bagian tergelap lelaki itu.
Tristan menggeliat, membuka mata. Ketika menemukan Aurora di sana, ia tersenyum kecil. “Aku takut bangun karena kupikir semua ini mimpi—kau, cinta ini, suara Ibu semalam.”
Aurora berbaring di sampingnya, menautkan jari. “Kalau ini mimpi, mari kita tidur lagi. Aku tak keberatan berulang-ulang.”
Tristan tertawa serak, lalu menarik Aurora ke pelukannya. Ciuman mereka pelan, lambat, penuh puisi diam. Bibir Tristan menari di bibir Aurora dengan sabar—seperti menuliskan kalimat, berhenti membaca respon, lalu lanjut menuliskan bait berikut. Aurora memejam mata, lidahnya menyapa lidah Tristan, manis seperti cokelat panas kemarin malam. Jari-jari mereka mengeja bahu, punggung, pinggang. Aurora pun menyesap aroma kulitnya, asin oleh keringat lembut, hangat oleh kejujuran.
Mereka bergeser di seprai yang kusut. Tristan menelusuri tulang selangka Aurora dengan bibir, turun perlahan, hingga ia mendengar Aurora mendesah tertahan. Aurora meremas rambutnya. Napas mereka menubruk—rendra, berat, tapi orkestra yang berpadu sempurna. Saat akhirnya mereka tenggelam lagi dalam satu kesatuan, mata Tristan berair. “Aku mencintaimu,” bisiknya, tak lebih keras dari helaan napas. Aurora menjawab dengan meraih dagunya, menatap tepat ke mata obsidian itu. “Kita sudah tahu bahkan sebelum kata muncul.”
Ketika selesai, mereka terkulai, lengan saling mengait. Tristan menempelkan telinga ke dada Aurora, mendengar jantung yang memukul yakin. “Irama teraman,” gumamnya. “Aku ingin hidup pada detakmu.”
$$$$
Jakarta, sore yang sama
Hujan bergulir lembut di kaca apartemen Kalea, memecah lampu-lampu kota menjadi garis-garis cahaya cair. Di dalam, aroma chamomile dan lilin vanila merambat pelan. Arya duduk di lantai, punggungnya bersandar ke sisi ranjang. Novel di tangannya sudah terbuka pada halaman yang sama sejak setengah jam lalu.
Pintu kamar mandi terbuka, menebar uap tipis. Kalea muncul mengenakan kaus putih tipis yang menempel lembut di kulit lembap dan celana katun longgar. Rambutnya masih menetes, membingkai wajah tanpa riasan. Ia berhenti sejenak, menatap Arya—senyum gugup bersemi di sudut bibir.
“Aku kelihatan seperti badai yang belum reda?” tanya Kalea.
Arya menutup buku, meletakkannya. “Kau kelihatan seperti rumah yang akhirnya menyalakan lampu.”
Kalea mendekat perlahan, duduk di lantai menghadap Arya. Diam. Lalu ia menunduk, menatapi tangan sendiri. “Aku takut… kalau aku menyalakan lampu, semua retakku terlihat.”
Arya menggenggam jemarinya. “Retak adalah bukti kau pernah dijatuhkan, tapi tidak pecah. Biarkanku lihat, supaya retaknya tak lagi menyakitimu sendirian.”
Kalea mengangkat pandang. Mata mereka bertaut; tidak ada lari. Perlahan Kalea naik ke lutut, kemudian duduk di pangkuan Arya, kaki bersimpuh di samping tubuhnya. Arya menaikkan tangan, mengusap rambut basah Kalea ke belakang. “Boleh kusentuh?” bisiknya.
Kalea mengangguk. Arya mengecup dahi Kalea—hangat, lama—lalu turun ke pelipis, pipi, dan akhirnya bibir. Ciuman pertama lembut seperti hujan baru datang. Bibir Kalea ragu, tapi Arya sabar, memberikan jeda, hingga Kalea balas menekan bibir, meremas bahu Arya. Nafas mereka tersengal, tapi tidak terburu-buru. Ciuman kedua lebih dalam, bibir saling membuka, lidah bertemu, menggali rasa yang lama ditahan. Kalea menarik napas di sela cium, gemetar. “Aku… tidak sempurna,” air matanya bening.
Arya menepuk pipi Kalea, menahan wajahnya. “Kau nyata. Dan hanya itu yang kubutuhkan.” Ia mencium pipi basah air mata, lalu beralih ke bibir lagi—kali ini lebih sabar, menenangkan tremor di tubuh Kalea.
Mereka berdiri, bergeser ke ranjang. Selimut jatuh, lampu temaram menyinari lekuk kulit. Kaos Kalea terangkat, perlahan terlepas. Arya menelusuri tulang selangka dengan bibir, lalu turunkan ciuman ke dada, perut, kembali naik, seolah memetakan daratan baru. Kalea menggigil, jari mengetat di bahu Arya. “Jangan pergi,” isaknya, setengah malu.
“Aku tinggal,” janji Arya, menatapnya. Ia merebahkan Kalea, tubuh menyusul menutupi. Malam itu mereka menyatu—tak ada lonjakan liar, hanya gelombang panjang, sabar. Tangan Kalea mengeja punggung Arya; tangan Arya mengelus pipi, pinggang, pinggul. Suara yang keluar bukan erangan keras, tetapi desah syukur: akhirnya tubuh menemukan rumah.
Seusai ledakan sunyi itu, mereka terbaring diam. Kalea menyandarkan kepala di dada Arya, mendengar jantungnya memukul mantap. Arya melingkarkan lengan, menatap plafon. Hujan mereda, tapi hati mereka masih berdebar.
“Sejak kapan kau tahu mencintaiku?” tanya Kalea, suaranya mengambang.
Arya menoleh, mengecup ubun-ubun. “Sejak hari kau tertawa sambil gemetar, tapi tetap maju membela Aurora meski klub penuh bahaya. Aku melihat keberanian yang menutupi ketakutan—dan itu mengingatkanku pada diriku sendiri.”
Kalea menutup mata, air tipis jatuh di kulit Arya. “Kalau besok aku kembali takut, tahan aku?”
“Tahan kau, peluk kau, atau koreksi takutmu. Apapun yang kau butuh.”
Kalea tersenyum basah. “Aku mencintaimu… bahkan saat aku belum tahu caranya.”
Arya memejam mata. “Dan aku akan menunggu sampai kau tahu. Setelah itu, kita terus belajar.”
Lampu menyala kuning lembut. Kamera dunia seperti menutup tirai, memberi ruang dua hati belajar memulihkan diri.
$$$$$
Menteng, tengah malam
Aurora mengenakan jubah tipis, duduk di meja kerja menatap chip USB. Tristan masuk dengan dua gelas susu hangat.
“Chip ini… bisa membuktikan korupsi Clarissa dan Ayah Tiri?” tanya Aurora.
“Kalau file di dalamnya sesuai petunjuk Ibu, ya,” jawab Tristan.
Aurora menyentuh tangan Tristan, lalu menggenggamnya. “Lalu kita bersiap. Esok, kita temui Dira.”
Tristan menunduk, menempelkan dahi ke dahi Aurora. “Aku tak akan takut lagi. Tidak denganmu di sisiku.”
Aurora tersenyum sedih. “Kita boleh takut. Asal tak mundur.”
Mereka berciuman singkat—sebuah segel atas janji petang tadi. Di luar, bintang bersembunyi di balik awan, tetapi di dalam, dua cahaya kecil sudah dinyalakan: satu di Menteng, satu di apartemen Kalea. Dan mulai malam itu, gelap punya lawan sepadan.
.
.
.
Bersambung.