SEASON 1!!!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading Guyss🌷🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKU BUKAN SIAPA-SIAPA
Langkah Daren menggema pelan di lorong-lorong istana, diselimuti sepi yang seperti mengendap di dinding batu tua. Sepulang dari pemakaman, tubuhnya letih, namun bukan kelelahan fisik yang membebani langkahnya, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Lebih menusuk.
Saat hendak melewati ruang penyimpanan senjata tua, matanya terhenti pada satu detail kecil: seutas kabel panjang yang menjuntai dari loteng. Seharusnya tak berarti apa-apa. Tapi bagai sihir gelap, pemandangan itu menarik ingatannya dengan paksa.
Suara dari yang beberapa lalu terdengar, menyelinap masuk.
“Mantan Jenderal Agung? Sekarang seperti pembantu tua yang gagal perang. Mengurus anak jalanan... hah!”
terbelah dalam satu kenyataan pahit:
Benar juga... siapa aku sebenarnya? Dan mengapa... Komandan Kanel bersikap begitu baik padaku? Lembut, sabar, melindungi... padahal aku bukan siapa-siapa...
Matanya sedikit berkaca-kaca.
ku hanya menyulitkannya… aku membuatnya dihina.
Mulai saat itu, jarak pun tumbuh.
Sejak hari itu, Daren merasa keberadaannya adalah aib yang menurunkan martabat sang komandan. Maka satu-satunya cara menghargainya... adalah menjauh.
Siang itu, di halaman dalam istana, langit mendung menambah kelabu suasana.
Kanel memanggilnya. Suaranya lembut namun dipenuhi harap. Tapi Daren berdiri tegak, matanya tak memancarkan apa-apa selain formalitas dingin.
“Saya hanya seorang prajurit, Komandan Kanel,” katanya sambil memberi hormat singkat. “Perlakukan saya seperti yang lainnya.”
Kanel mengerutkan kening. “Daren, aku tak memanggilmu untuk... ”
Saat ia mengangkat tangannya, menyentuh bahu Daren dengan gerakan lembut, gadis itu langsung mundur satu langkah. Cepat dan tegas.
“Dan saya bukan siapa-siapa,” tambah Daren, suaranya tenang tapi dingin. “Maka ini… sudah berlebihan.”
Kata-kata itu lebih tajam dari pedang. Bukan karena nadanya, tapi karena kerapuhannya yang tersembunyi.
"Apa sekarang waktunya latihan?" tanya Daren, suaranya datar seperti batu yang sudah lama kehilangan kehangatan api.
Kanel terdiam sejenak. Ia menatap wajah Daren yang menengadah tanpa ekspresi, matanya tak lagi memancarkan api yang dulu ia kenal, hanya bayangan prajurit yang bertahan karena kehormatan, bukan karena keyakinan.
“Tidak,” jawab Kanel akhirnya, suaranya pelan. “Kau masih belum pulih, pergilah. Istirahat.”
Daren mengangguk kecil. Bukan karena patuh, tapi karena ia tak ingin berlama-lama di sana.
Ia menunduk, memberi hormat, lalu berbalik.
Langkahnya cepat. Tegas. Namun ketika ia berlari menjauh, Kanel tetap berdiri di tempatnya.
Diam.
Angin istana berembus pelan, memainkan jubah Kanel. Di matanya, sosok kecil Daren yang dulu ia latih dengan sabar... telah berubah menjadi dinding yang tak bisa ia tembus lagi.
Ia menghela napas panjang,meninggalkan taman itu. Hatinya terasa seperti digerogoti perlahan dari dalam. Ia kembali ke ruang kerjanya.
Di ruang kerja komandan Kanel, suasana sunyi itu pecah oleh suara pelan langkah kaki. Karin, pemimpin tabib istana, melangkah masuk dengan tatapan penuh ragu.
“Komandan…” sapanya hati-hati.
Kanel tengah berdiri di dekat jendela, matanya mengamati halaman barak dari kejauhan. Ia menoleh, seolah sudah tahu siapa yang datang.
“Ada apa, Karin?”
Karin menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, “Daren… dia bilang tidak ingin berada di kamar istana lagi. Dia ingin kembali ke barak.”
Kata-kata itu menggantung di udara. Kanel tidak segera menjawab. Hanya rahangnya yang mengeras, lalu perlahan ia menoleh sepenuhnya.
“Apa tidak bisa ditahan? Setidaknya… sampai ia benar-benar pulih?”
Karin menggeleng pelan. “Ia sudah mengganti pakaiannya. Mengenakan kembali seragam lamanya yang telah lama tersimpan. Fyona sempat membujuknya, tapi…” Ia menunduk, menahan napas. “Kau tahu sendiri, dia kalau sudah memutuskan.”
Kanel memejamkan mata sejenak. “Dia tidak membenciku, bukan?”
Karin tak menjawab. Tapi dari diamnya, Kanel tahu: bukan benci, lebih parah dari itu. Jarak yang dibangun Daren bukan dari kemarahan, tapi dari luka yang dalam.
“Biarkan saja,” gumam Kanel akhirnya, suaranya pelan namun getir. “Kalau itu keinginannya."
Namun Karin belum pergi. “Tapi aku harap… saat di barak, dia tidak langsung mendapatkan pelatihan. Tubuhnya masih belum pulih. Dia keras kepala, Komandan. Dia bisa saja memaksakan diri hingga berdarah lagi.”
Kanel menatap Karin, lalu berkata pelan, “Aku akan pastikan dia tidak disentuh pelatihan sampai aku sendiri yang memberi izin.”
Karin mengangguk patuh dan melangkah pergi, membiarkan pintu ruang kerja Kanel tertutup dengan lembut di belakangnya.
Namun tak lama berselang, terdengar ketukan berat dan khas, bukan milik prajurit, bukan pula pelayan.
Pintu ruang kerja Kanel terbuka kembali setelah kepergian Karin. Kali ini, langkah kaki yang memasuki ruangan terdengar lebih berat, lebih berwibawa. Kanel segera berdiri dan membungkuk dalam-dalam.
"Kakak,” ucapnya hormat.
Kaisar Theron melangkah masuk dengan langkah tenang. Tak membawa pengawal. Matanya tajam seperti biasa, seolah dapat menembus segala lapisan pikiran.
“Aku tidak akan lama,” kata Kaisar, langsung menuju inti, tanpa basa-basi. “Ada hal yang ingin kubicarakan, secara pribadi.”
Kanel memberi isyarat duduk, namun Kaisar tetap berdiri, pandangannya menusuk lurus ke arahnya.
“Jenderal Aldren datang padaku tadi pagi.”
Kanel hanya mengangguk tipis, menunggu lanjutannya.
“Ia mengajukan… ikatan awal antara anak perempuannya dan Putra Mahkota.”
Kanel mengernyit, tak sepenuhnya terkejut, tapi tetap tergelitik.
“Putrinya… Yora, bukan?” tanyanya pelan.
“Benar. Masih empat belas tahun. Terlalu muda untuk pernikahan, namun Aldren menyebutnya sebagai ‘janji kehormatan antara dua pihak istana’. Katanya demi menjaga aliansi strategis dan kekuatan dalam istana militer.”
Kanel menatap Kaisar dalam-dalam. “Dan menurutmu, itu langkah yang tepat?”
Kaisar tidak menjawab langsung. Ia menatap keluar jendela kecil di sisi ruangan, lalu berkata:
“Langkah yang cerdas, jika hanya dilihat dari politik. Tapi... terlalu cepat jika dilihat dari sisi hati dan masa depan anak-anak kita.”
“Gerald tidak tahu?” tanya Kanel.
“Tidak. Belum tersampaikan, karena aku ingin mendengarmu lebih dulu.”
Kanel menghela napas. “Gerald adalah pewaris. Dan kalau kau ingin keutuhan istana dijaga, maka… satu hal yang harus dijaga lebih dari apapun adalah hatinya.”
Sejak kabar kekalahan besar pasukan Umbra tersebar dan keberhasilan burung kerajaan di bawa kembali, langit politik di istana mulai bergemuruh pelan namun pasti. Tidak dengan perang, tetapi dengan surat-surat bersampul emas, stempel bergambar singa, burung phoenix, dan mahkota dari berbagai penjuru negeri.
Dalam kurun waktu kurang dari seminggu, para pelayan istana kewalahan menerima begitu banyak pengajuan pernikahan. Beberapa surat datang dari keluarga bangsawan tingkat tinggi, yang sebelumnya bersikap netral... atau bahkan menyaksikan kekuatan Kaisar. Kini mereka mengajukan putri atau keponakan mereka untuk berjodoh dengan Putra Mahkota.
Yang lain datang dari kerajaan kecil tetangga, ingin membangun ikatan lebih kuat demi perlindungan, atau mungkin hanya ingin mengambil bagian dalam cahaya kemenangan yang baru menyala. Ada yang mengirimkan lukisan gadis mereka dalam bingkai perak, ada yang mengutus utusan pribadi membawa puisi dan persembahan, bahkan ada yang langsung menawarkan mas kawin dalam jumlah tak masuk akal.
Ruang pertemuan Kaisar dipenuhi tumpukan surat bersegel, dan setiap pagi Kanel, Penasihat Dalam, serta Kepala Catatan Kerajaan harus menyortir mana yang layak dibaca dan mana yang hanya basa-basi.
“Aku belum menyetir satu pun nama dari bangsawan ataupun kerajaan lain,” gumam Kanel, dingin. “Untuk urusan Jenderal Aldren dan putrinya... Kakak urus saja sendiri.”
Ia berdiri, menyibakkan mantel panjang militernya yang sudah usang oleh waktu dan medan. “Aku juga punya terlalu banyak kegiatan hari ini. Barak. Pelatihan. Dan laporan dari garis utara.”
Kaisar menghela napas pelan. “Kau tahu, bukan? Jika aku yang menolak secara langsung, Aldren akan membaca itu sebagai penghinaan.”
“Dan jika aku yang menolaknya,” sahut Kanel, menatap lurus mata kakaknya, “dia akan menganggap orang yang tak bersangkutan sebagai penyebabnya. Maka tolong, pikirkan baik-baik sebelum menyeret seseorang ke permainan ini.”
Ia melangkah keluar. Namun sebelum langkahnya menjauh...
“Kanel, apa kau tidak ingin menikah?” tanyanya perlahan namun jelas. “Usiamu sudah sangat matang… terlalu matang, untuk seorang lelaki yang belum memiliki warisan darah.”
Langkah kanel seketika terhenti.
“Kau harus memiliki keturunan, Kanel. Setidaknya satu orang yang bisa meneruskan namamu, atau setidaknya menjadi perpanjangan dari apa yang selama ini kau perjuangkan.”
Hening menjawab pernyataan itu. Sampai akhirnya Kanel Membalikan badan , lalu berkata datar namun menohok:
“Kakak tidak perlu mencarikan siapa pun untukku.”
Kaisar mengangkat alis, tak menyangka tanggapan secepat itu.
“Jika aku suatu hari akan menikah,” lanjut Kanel tenang, “aku akan memilih seseorang yang bisa berjalan bersamaku. Yang bisa memahami jalan pedang, medan, dan rasa diam yang selama ini kukunyah.”
Ia menoleh, kali ini langsung ke mata Kaisar. “Aku akan menikahi Perempuan yang dulu ku bawa kesini, atau yang seperti dia.”
Suasana mendadak berubah dingin.
“Apa?” Kaisar mengulang dengan suara pelan, nyaris tidak percaya. “Apa kau serius? Gadis itu baru berumur dua puluh tahun, dan kau… dua belas tahun lebih tua darinya.”
Kanel mengangguk ringan, tenang.
“Aku tahu, tapi dia lebih dewasa dari banyak perempuan bangsawan yang ku kenal. Dia berdiri di tengah luka dan darah, tidak pernah mengeluh. Dia tidak butuh gelar untuk bertahan. Dan aku… aku butuh seseorang seperti itu.”
"Dia sama seperti Daren, hidupnya..." Kanel tak melanjutkan kalimatnya, matanya menunduk kebawah mengingat masa lalu, yang membuat dadanya sesak.
Kaisar menatap adiknya lama, kemudian menunduk. Entah karena merenung... atau menyembunyikan keterkejutannya yang tak ingin ditunjukkan.