"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Sembunyikan Dea
Anjing Pudel Penurut
Seorang waiters datang menghampiri dengan membawakan dua buah cangkir kopi yang uapnya masih meliuk lembut di atas cangkir. Sepiring singkong keju dan dua mangkuk bubur telur pitan juga cemilan gurih di toples kaca.
"Silahkan mas, mba... " ucap waiters
"Terima kasih," jawab Akbar. "Ayo dek, di makan." Akbar menyodorkan sendok dan garpu yang terbungkus tissue.
Mata Dea berbinar seakan cahaya matahari terbit di manik matanya, "Bagaimana Abang tahu aku suka bubur telur pitan?" tanya Dea menatap lapar toping bubur di mangkuknya
"Siapa lagi— Laras!" jawab Akbar gemas melihat wajah Dea yang langsung berubah bahagia melihat makanan kesukaannya
"Mba Laras ichh... Susah tutup mulut ya dia!" gerutu Dea.
"Sebenarnya dia cukup sulit di korek, buktinya sampai sekarang aku tidak tahu nomer teleponmu yang baru. Kecuali makanan kesukaan kamu, bedak baby yang kamu pakai, lip balm favorite kamu. Untungnya bakat intelijen papaku menurun padaku. Aku terus berupaya mencari kamu, di florist Laras, di Fortuna Gym tempatmu bekerja." Akbar menepuk dadanya
"Memangnya aku punya hutang apa sama Abang, sampai Abang cari aku segitunya," tanya Dea bingung.
"Aku yang punya hutang banyak padamu, Dea. Film dokumenter yang aku buat mendapat pujian dari para pejabat di Matra yang menaungiku. Yaa... Walaupun harus berdebat dulu dengan pimpinanku langsung, pak Devano. Tapi dukungan dari luar justru lebih kuat," tutur Akbar
Dea mengernyitkan keningnya sedikit, ia malah merasa bingung dengan penjelasan Akbar. "Maksudnya gimana bang?" tanya Dea seakan ada nyeri di dadanya saat nama Devan disebut.
"Di film itu, kamu jadi artisnya. Itu jadi daya tarik film dokumenter yang aku buat."
Dea membulatkan matanya dengan lebar, "aku... Aku, jadi artis? Aku makin nggak ngerti deh, bang,"
Akbar menggeser ponsel yang sejak tadi tergeletak di dekat cangkir kopi hitam miliknya. Lalu ia membuka file dan film itu pun ia putar.
"A... Abang! Ini—ini kenapa wajahku dimasukan ke dalam film Abang!?" tanya Dea dengan nada meninggi
"Karena itu Abang cari-cari kamu, mau ijin sama kamu. Tapi kamunya susah di hubungi. Hufts!!" kelit Akbar
"Tapi ... Buat apa wajahku terpampang di sana?" tanya Dea lirih.
"Karena wajah kamu cantik dan pas untuk dijadikan pembuka sebuah film dewasa," ucap Akbar dengan nada menggoda.
"Icchh... Apaan sih!" Dea mendaratkan pukulan di bahu Akbar. Pria itu hanya terkekeh melihat wajah Dea yang menahan kesal.
"Supaya apa coba? Masa film perang, modelnya cewek. Harusnya pembukaan itu gambar Alustista yang keren-keren." Dea mengerucutkan bibirnya sambil mengunyah telur pitan.
"Kamu tahu fungsinya appetizer diberikan sebelum main course dikeluarkan?" tanya Akbar. Dea mengangguk dengan wajah merengut. "Karena kamu itu kecil, ringan, pedes kalau ngomong sama aku, asin dan menyegarkan seperti keringet abis berlatih Deadlift. Jadi cocok untuk filmku ini," ledek Akbar
"Kocak! Gak jelas banget jadi orang!" sungut Dea
"Tuh kan pedes banget mulutnya," ledek Akbar lagi.
Dea memutar tubuhnya 45⁰ memunggungi Akbar sambil menghabiskan bubur telur pitan. Sayangnya dia lupa bubur miliknya sudah habis sejak tadi, dan bubur yang ia geser adalah milik Akbar.
Akbar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia masih kepingin menghabiskan buburnya, tapi apa daya, Dea lebih butuh asupan gizi.
Dea tersenyum puas sambil sendawa pelan, tanpa sadar tangannya mengelus perutnya yang kekenyangan. "Porsi bubur di sini banyak banget ya, perutku sampe kekenyangan," ucapnya.
"Oiya? Bukan karena kamu makan dua mangkok?" Akbar menunjuk mangkok dengan bibirnya yang dimajukan.
Seketika Dea terbelalak melihat dua mangkuk bubur kosong ada di hadapannya. "Maaf... " ucap Dea dengan tatapan memelas.
"Singkongnya milikku, kamu ngga boleh minta!" ucapnya tegas.
Akbar juga tahu singkong keju Mozarella kesukaan Dea, makanya ia sengaja meledeknya. Dea menggigit bibir bawah di bagian dalamnya. Membayangkan singkong yang pulen berpadu dengan lelehan Mozarella yang gurih dan asin.
"Abang, boleh cobain dikit nggak... ?" pintanya dengan wajah memelas sambil melirik piring berisi singkong.
"Gak!" Akbar memeluk piring singkong keju lalu menusuknya dengan garpu, ia makan sampai suara kunyahannya berdecak.
Dea hanya memperhatikan lelehan Mozarella di tarik Akbar hingga menjulur panjang. Ia kesulitan menelan salivanya karena ingin mencicipi rasanya.
Akbar melirik sambil menaikan alisnya. "Buka mulutmu!" perintah Akbar. Ia lalu menyuapi secuil singkong goreng yang tergulung Mozarella ke mulut Dea. "Enak?!" tanyanya. Dea mengangguk seperti anak kecil.
Dalam hatinya, Akbar tertawa geli melihat sikap Dea yang penurut, tapi terkadang galak dan sering menggonggong berisik seperti anjing pudel.
...***...
DI USIR LAGI
"Dek... " panggil Akbar setelah makanan di meja mereka ludes. "Bagaimana kalau kamu pindah ke kota lain, aku kuatir kalau kamu masih di tempat kost tadi. Di tambah lagi, banyak orang ingin berlaku jahat kepadamu," tanya Akbar seperti sebuah ajakan yang mendesak.
"Aku sudah pikirkan."
"Kamu mau pindah kemana?" tanya Akbar sambil mengelus bibir gelas.
Dea terdiam.
Lama ia berpikir. Ia memang berencana pindah dan keluar dari semua kemelut yang terjadi selama ia tinggal di kampung kelahiran mamanya. Belum pasti kapan, akan tetapi ia tidak ingin berbagi pada siapapun kemana ia akan pergi. Ia juga masih menunggu uang penjualan tanah warisan dari sang nenek.
"Dek?" Akbar memusatkan perhatian pada wajah Dea. "Apa kamu sudah punya rencana?" tanya lagi sedikit mendesak.
Dea menggeleng. "Belum ada, bang."
"Aku dengar dari Laras, dia mau ikut Deden pindah ke Jakarta setelah pernikahan mereka. Laras juga akan membangun sanggar di sana. Kenapa kamu tidak ikut ke Jakarta?"
"Aku... " Dea terdiam lagi. "Akan aku pikirkan nanti," ucapnya.
"Aku ada apartemen kosong di Jakarta. Kamu bisa menempatinya, kamu bisa membantu Laras di sanggar Jakarta, bagaimana?" tanya Akbar.
"Aku pikir-pikir dulu bang."
"Oke, jangan sungkan padaku. Kamu bisa mengandalkan aku."
**
Mobil baru saja sampai di halaman parkiran kostan. Ada hal yang mencengangkan Dea dan Akbar. Barang-barang Dea sudah di keluarkan pemilik kostan dan kamar sudah dikunci dari luar. Pintu kamarnya di sudah ditulisi sebuah peringatan.
"RUMAH KOST INI TIDAK MENERIMA PELAKOR!"
Dea diam terpaku menatap barang-barangnya. "Terjadi lagi... "lirihnya
Dea memukul dada kirinya yang terasa nyeri.
Akbar mengusap kedua lengan Dea dengan lembut, "sabar ya dek... Ujian ini pasti akan berlalu." Ia membantu merapihkan barang yang dilempar dengan asal oleh pemilik kost.
"Kita tidak ada waktu lagi, De. Keluarga baru mama kamu pasti tidak akan tinggal diam. Mereka akan menteror kamu seperti ini," ucap Akbar
"Ini bukan keluarga mamaku." sanggah Dea. Wajahnya menunduk.
Akbar mendengus kasar, sebenarnya ia tahu dengan pasti siapa pelakunya. Tapi dia memilih pura-pura tidak tahu akan hubungan Devan dengan Dea.
"Siapa pun itu, dan apa motifnya. Kamu tidak aman di sini, Dek. Ayo kita cari tempat baru," ajak Akbar.
Dea mengikuti Akbar yang sudah lebih dulu menarik dua koper besar milik Dea. Akbar memerintah anak buahnya mengantar Dea ke apartemennya yang ada di Jakarta.
Seminggu Berlalu... Sabtu sore
Deru mobil terdengar lembut baru saja memasuki halaman rumah sederhana milik Kartini yang dihadiahkan putra semata wayangnya. Rumah type 75/150 yang berada di komplek perumahan Diamond Regency itu kini lebih hidup karena kehadiran Devan dan cucu kesayangannya yang bersedia tinggal bersama.
Devan melangkah dengan tubuhnya yang lelah. Lebih tepatnya hatinya yang lelah, karena separuh jiwanya selama satu Minggu ini tidak dapat ia temui di mana pun. Di tempat kost, tidak ada tanda-tanda Dea pulang atau berangkat bekerja. Bahkan lampu di kamarnya selalu mati meskipun Devan menunggunya hingga pagi. Ia mendesah perlahan sambil melonggarkan dasi yang sejak pagi melilit lehernya.
"Papaaa ... " teriak Zie seraya berlari menyambut kedatangan Devan.
"Sayaang... " Devan memeluk Zie lalu menggendongnya sambil memberi puluhan kecupan di wajah dan tubuh Zie.
"Papa lelah ya?" tanya Zie
"He'em"
"Papa, mama hari ini masakin kita spaghetti brule. Ayo cepat kita makan bersama," ajak Zie.
Devan menghentikan langkahnya. Wajahnya seketika menegang, rahangnya mengeras, wajah lelahnya berubah muram.
"Papa, ayo!" Dalam gendongan Devan, Zie berusaha menyadarkan papanya untuk terus melaju dan masuk ke dalam rumah.
"Papa, Zie yang undang mama. Karena zie kangen masakan mama," bisik Zie dengan wajahnya yang imut.
Devan tersenyum kecut. Ia tidak mungkin mengusir Kasandra saat itu juga karena semua atas permintaan putri kesayangannya. Ia pun melangkah dengan perasaan yang berkecamuk dan wajah yang muram.
"Mas Vano," sapa Kasandra saat Devan dan Zie sudah masuk ke dalam rumah.
Devan melihat Kartini sedang duduk di meja makan dengan wajah tersenyum. Ia semakin tidak enak hati jika menggagalkan rencana makan bersama yang diminta putrinya.
berarti dea tidak hamil diluar nikah.
🌹untuk Akbar