Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Perdebatan Batin
Malam itu Jakarta tampak lebih sunyi daripada biasanya. Atau mungkin hanya perasaan Paijo saja—karena untuk pertama kalinya dalam hidup, pikirannya terasa lebih riuh daripada jalanan ibu kota yang tak pernah tidur.
Mobil yang ia tumpangi meluncur lambat menuju apartemen penthouse-nya yang baru, tapi hatinya masih tertinggal di bangku taman yang dingin, di samping danau tempat ia mendengar kebenaran yang selama ini terkubur oleh waktu.
Ia pulang bukan sebagai Paijo Madindun, anak desa yang kabur ke Jakarta demi mengadu nasib. Ia juga bukan Joe Gregorius, aktor tampan nan eksentrik yang jadi langganan red carpet dan gossip akun gosip ibu-ibu komplek. Dan lebih-lebih, dia bukan “Alvarez”—nama panggilan gigolo yang sekarang justru jadi merek dagang tak resmi dalam dunia kelas atas yang serba semu.
Ia pulang sebagai seseorang yang belum tahu siapa dia sebenarnya, tapi akhirnya tahu bahwa hidupnya bukan sekadar produk kegagalan.
Nama yang berada di secarik kertas yang dilihatnya kemarinpun entah nama aslinya atau bukan. Tak ada kejelasan akan hal itu. Semuanya masih tampak abu-abu baginya saat ini. Entah siapa dirinya.
Jovano Gregorius Wicaksana. Nama itu terdengar tidak terlalu asing untuknya. Nama panggungnya adalah Joe Gregorius, sedikit tamak mirip dengan nama itu. Bagaimana bisa nama yang diberikan oleh seseorang yang bahkan tidak mengenal dirinya memiliki kesamaan? Apakah ada yang sudah mengatur semuanya?
Paijo membanting tubuhnya di sofa kulit, memandangi langit-langit, lalu menatap kartu nama Pak Jatmiko yang kini seperti membakar telapak tangannya.
"Saya tahu siapa Anda..."
Kata-kata itu terngiang-ngiang bagai mantra, membangkitkan semua kenangan yang dulu ia anggap tidak penting.
Mbok Sarni yang dulu terlalu hati-hati saat menyebut masa lalu.
Pertanyaan-pertanyaan yang selalu dijawab dengan:
“Mbok cuma tukang ngasuh, Le, bukan Tuhan yang tahu semua takdir.”
Dan kini... Tuhan benar-benar sedang menyingkap tabirnya.
Paijo bangkit dan berjalan ke cermin. Menatap bayangan dirinya yang kini begitu asing.
“Pewaris keluarga kaya raya?” gumamnya sambil mencibir. “Mirip sinetron Indosiar, tapi tanpa adegan amnesia.”
Ia tertawa. Sendiri. Konyol. Tapi sejujurnya, dia belum pernah merasa seasli ini dalam hidupnya.
Namun tawa itu cepat berubah jadi desahan getir.
“Kalau memang aku anak orang kaya... kenapa hidupku malah jadi peliharaan tante-tante? Kok Tuhan nulis skrip-nya kayak pengarang FTV tengah malam?” gumamnya tidak habis pikir mengenai kehidupannya.
Paijo menggeleng, lalu membuka laci di bawah meja TV. Di dalamnya, ada satu foto lama. Foto Suzy.
Wajah perempuan yang selalu ia hindari dari pikirannya itu kini terasa seperti satu-satunya jangkar dalam badai identitas ini. Ia menggenggam foto itu erat. Tiba-tiba semua bayangan tentang Suzy kembali: suara tawanya, cara ia duduk di ujung ranjang dengan rambut acak-acakan, tatapan kecewanya malam itu di depan pintu apartemen saat ia tak pulang-pulang...
“Suzy... Kamu harusnya jadi alasan aku berhenti dari dunia ini. Tapi kamu malah pergi. Sekarang... aku bahkan gak yakin siapa aku, apalagi siapa kamu.”
Ia mendekap foto itu di dada.
Air mata yang sempat jatuh saat pertemuan dengan Pak Jatmiko, kini kembali meluncur. Tapi tidak dengan kesedihan yang sama. Ada rasa marah, rasa kehilangan, dan... rasa ingin tahu yang menggerogoti.
Lalu, bagaimana dengan Claudia?
Menjadi aktor terkenal memang tidaklah mudah. Setiap langkah dan gerak selalu diintai oleh kamera. Apalagi ketika tak ada siapapun yang melindungi untuk menutupi hal tersebut.
Itulah yang dialami Paijo. Pertemuannya dengan Pak Jatmiko samai-sampai tertangkap kamera dan menjadikannya sebuah berita.
Di saat yang sama, Claudia duduk di ruang bacanya, menatap layar iPad dengan satu berita terbaru:
Aktor Joe Gregorius Tertangkap Kamera Bertemu dengan Sosok Misterius di Taman Ayodya.
Foto buram tapi cukup jelas menunjukkan sosok Paijo duduk dengan seorang pria tua di bangku taman.
Claudia mengecilkan mata. “Siapa kamu, Pak Tua?”
Ia memperbesar foto itu. Melihat raut Paijo yang serius, tak seperti biasanya yang selalu terlihat enteng dalam segala hal.
Claudia berdiri, memutar tubuh dengan langkah kecil tapi cepat. Ia meraih satu laci tersembunyi di balik rak buku, dan dari sana, ia mengeluarkan map merah bersegel. Map yang selama ini hanya ia buka sekali dalam sepuluh tahun.
Dari dalam map itu, ia keluarkan dokumen lama: foto bayi, surat kelahiran, dan satu surat dengan logo yayasan tempat Mbok Sarni dulu bekerja.
“Jangan bilang kalau dia akhirnya tahu,” gumam Claudia.
Wajahnya yang biasanya tenang seperti patung lilin, kini menegang. Bahkan sedikit gemetar. Ia menyalakan rokok, meneguk wine, dan berjalan ke balkon, menatap lampu kota.
“Joe... atau siapa pun kamu sebenarnya... kalau kamu tahu semuanya, berarti waktuku nggak lama lagi untuk mengendalikanmu," ujap Claudia dengan tatapan satu arah.
Claudia tahu: begitu identitas Paijo terungkap, dia akan kehilangan kuasa. Dan Claudia tidak pernah suka kehilangan.
Kembali ke apartemen Paijo.
Malam semakin larut. Paijo masih duduk, kini dengan tangan yang memegang foto Suzy dan kartu nama Pak Jatmiko di pangkuannya. Ia membuka ponselnya, hampir menghubungi nomor itu, tapi tangannya berhenti.
“Kalau aku hubungi dia... berarti aku siap untuk jadi orang yang baru,” gumamnya. “Tapi... aku bahkan belum selesai dengan orang yang lama.”
Pikirannya menjadi kalut sekarang. Ia bimbang dengan keputusannya. Ingin rasanya mencari tahu kebenaran mengenai dirinya. Namun ada sesuatu yang sudah sejak lama menggerogoti dirinya dari dalam. Sesuatu yang selalu membuatnya terus menerus berpikir ulang di saat ia ingin kembali, meninggalkan kehidupannya.
Tentu saja semua karena Suzy. Setelah wanita itu pergi makan tak ada lagi keinginannya untuk menjadi lebih baik. Memiliki kehidupan yang ia inginkan rasanya hampa, jika tidak ada seseorang yang dicintai untuk menemani dirinya.
Di luar jendela, hujan turun perlahan. Jakarta menangis pelan-pelan, seperti jiwanya yang masih belum rela. Belum rela dengan suatu kenyataan yang tengah menantinya.
Paijo berjalan ke cermin lagi. Kali ini, ia berkata pelan pada bayangannya sendiri.
“Siapa pun aku... aku cuma pengen hidup jujur. Tapi kadang... hidup nggak nanya kita siap atau enggak. Dia langsung lempar kebenaran ke muka, tanpa peringatan.”
Ia menarik napas, panjang, lalu menatap ke luar jendela. Jalan masih ramai, hidup masih berjalan. Tapi malam ini, Paijo tahu bahwa langkah berikutnya akan menentukan segalanya.
Dan untuk pertama kalinya... Paijo tidak ingin jadi Alvarez.
Tidak ingin jadi Joe Gregorius.
Bahkan mungkin bukan Paijo Madindun.
Ia hanya ingin jadi dirinya yang sebenarnya—siapa pun itu.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
bacanya Sem 😭😭😭😭
hanya nebak saja😁😁😁
next thor jan lama² cape tauk nunggunya🚶♀️