Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perempuan di antara tawa
Sepandai-pandainya menyimpan bangkai baunya akan tercium juga, sekeras apa pun usaha seseorang untuk menyembunyikan sesuatu pasti akan ada saatnya semua kebenaran terungkap.
Kini usia si kembar sudah memasuki umur satu tahun, kemarin baru saja kedua anak kembar itu merayakan pesta ulang tahun yang begitu meriah. Karena ini ulang tahun pertama dari cucu orang terpandang di kota metrapolitan maka tidak heran perayaan ulang tahunnya begitu meriah dan megah.
Bahkan Dharma Hadikusuma membuatkan konsep pesta kerajaan untuk kedua cucunya. Dengan dekorasi megah yang dipenuhi bangunan-bangunan kastil yang terbuat dari emas dan material terbaik. Daniel dan Danea kedua bayi yang baru merayakan pesta pertamanya ditampilkan seperti seorang raja dan ratu, dengan gaun terbaik serta mahkota mewah yang dirancang khusus untuk kedua bayi ini.
Dharma tidak main-main konsep kerajaan ini bisa membuat siapa pun iri. Memang itu tujuannya dia ingin memberitahukan kepada semua orang siapa keturunan Hadikusuma secara tidak langsung dia juga mengumumkan pewaris perusahaannya nanti.
Pesta yang meriah itu sudah berlalu, kini raja dan putri kecil tersebut kembali di kediaman sederhananya bersama orang tua mereka. Alena masih saja keras kepala saat ayahnya memaksa untuk tinggal di rumah yang lebih layak, agar kedua anaknya mendapat pelayanan yang lebih baik. Hidup sebagai tuan muda dan nyonya muda sama seperti dulu Alena dan Aleon dibesarkan.
Alena terlalu muak dengan kemewahan dan kemegahan, dia tidak merasa tenang dan nyaman dengan kehidupan seperti itu. Hidup seorang kolong merat dipenuhi tuntutan untuk terus berada di atas tidak peduli harus menindas orang lain.
Alena tidak mau anak-anaknya hidup seperti itu, mereka harus hidup layaknya manusia dengan penuh rasa simpati dan peduli, dan hidup sederhana adalah sebuah langkah awal untuk membentuk karakter yang baik. Masih terus berputar dalam benaknya betapa banyak orang yang harus ayahnya gugurkan demi mempertahankan kekayaannya, dan sang ibu yang hidup gemerlap dengan harta dan berakhir memiliki banyak musuh yang terus membuat kehidupannya tidak tenang.
Karena baru saja merayakan pesta yang melelahkan Danendra tadi malam tidak pergi ke mana-mana setelah pulang dari pesta anaknya pria itu langsung tertidur, dia juga tidak punya alasan jika Alena bertanya, karena tidak mungkin ia gunakan alasan harus menginap di rumah sakit padahal semua orang tahu dia libur kerja.
“Kamu sudah bangun sayang?” Alena yang berada di ruang tamu sembari menyuapi anak-anaknya bubur sayur, menoleh ke arah pintu kamar karena disusul oleh suaminya yang keluar dengan tergesa.
“Iya aku mau kerja, udah telat.” Jawab Danendra cepatㅡdia memang sudah rapi.
“Gak mau sarapan dulu? Aku udah masak lo, sayang gak dimakan.”
Danen tidak menjawab dia, setelah mengenakan jaket kulitnya pria itu menghampiri anak-anaknya yang mana wajah mereka dipenuhi bubur.
“Ayah pergi ya nak!” Danen menciumi secara bergantian kedua anak kembarnya, bahkan ia sempat bercanda dan memunculkan suara riang dari Danea, sedangkan Daniel tidak peduli anak itu sibuk menerima suapan bubur dari sang bunda.
Tidak menoleh ke arah Alena sedikit pun, pria itu segera berjalan keluar dan tidak lama terdengar suara deru mesin mobil. Alena merasa bahwa kehadirannya tidak dianggap, ia berusaha baik tapi suaminya selalu acuh dan menjawab sekenanya.
Setelah selesai menyantap sarapan kedua anak lucu itu bersiap untuk dimandikan. Ibunya mendorong kereta bayi di tangan kanan dan kirinya membawa mereka ke kamar untuk dibuka baju lalu segera mandi, sudah agak siang kedua bayi ini harus segera mandi agar bisa tidur tenang setelah ini.
Alena melirik meja kerja suaminya yang memang terletak di kamar, dia melihat sebuah tas hitam yang biasa dibawa suaminya bekerja berada di sana.
“Danen gak bawa ini, dasar teledor.”
“Bu Laras!” Alena sedikit berteriak, tidak butuh waktu lama seseorang yang dipanggilnya sudah datang dengan keadaan baju yang sedikit basah, sepertinya Bu Laras baru saja mencuci piring.
“Maaf ya ganggu Bu. Ini saya mau keluar sebentar tolong titip anak-anak ya!” Bu Laras mengangguk tanpa banyak suara wanita itu sudah tahu apa yang harus ia lakukan, dia segera menerima tugas untuk memandikan kedua anak ini.
Alena meraih tas hitam tersebut dia berniat ingin mengantarkan ini ke rumah sakit, bagaimana bisa suaminya bekerja dengan baik jika perlengkapan kerjanya saja ada yang tertinggal.
Wanita itu yang masih dalam keadaan sedikit kucel khas dengan daster rumah tangganya segera menaiki mobil pribadinya yang memiliki warna Matte Green. Karena sering ditinggal Danendra sendiri mau tidak mau Alena membeli mobil khusus untuk di rumah ini, karena sekarang memiliki bayi Alena sering keluar untuk membeli semua perlengkapan mulai dari popok sehingga kebutuhan rumah tangga lainnnya.
Dulu ada Danendra yang selau menemaninya berbelanja, sekarang dia sudah terbiasa sendiri, tidak mungkin terus bergantung kepada suaminya yang jarang pulang.
Jalanan sedikit macet mungkin karena masih jam berangkat kerja dan sekolah jadi semua orang terlihat memadati jalanan, kendaraan yang Alena kendarai jadi bergerak lambat. Ia berusaha menghubungi Danen memberi tahu bahwa barangnya tertinggal tapi sejak tadi panggilannya tidak terjawab sama seperti hari-hari sebelumnya.
Setelah mengemudi cukup lama di tengah padatnya jalanan akhirnya Alena sampai di basemant rumah sakit besar milik keluarganya. Ia berjalan santai tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya.
Beberapa perawat dan dokter yang mengenali Alena menyapanya menunduk memberi hormat, ada juga yang melawatinya begitu saja mungkin anak baru jadi dia tidak mengetahui siapa posisi wanita yang baru dilewatinya.
Alena memasuki lift tidak lama disusul oleh rombongan dokter yang terlihat muda, sepertinya mereka rombongan koas karena mereka semua menggunakan jas bewarna putih lengan pendek dengan id card yang khas. Alena tahu saat membaca sekilas id card mereka.
Posisi Alena semakin terhimpit karena jumlah mereka cukup banyak dan tidak ada yang mau mengalah. Mereka menatap sinis Alena bagaimana mungkin seorang ibu rumah tangga menggunakan lift khusus dokter padahal sudah di sediakan lift khusus pengunjung.
“Agak bau asam ya, kalian cium gak?” seorang wanita yang wajahnya blasteran eropa mulai bersuara, posisi berdiri wanita itu tepat sekali di samping Alena.
Rekan-rekanya mengangguk sesekali terkekeh pelan sambil melirik Alena sekilas.
“Bau sabun pencuci piring gak sih?” lanjut wanita tersebut sambil menutup hidungnya.
“Aduh!” Alena mengaduh saat tiba-tiba tubuhnya didorong semakin belakang dengan gerakkan berjalan mundur oleh kedua wanita di depannya.
“Oh ada orang ternyata, gak keliatan Bu maaf ya.”
“Oooh pantesan bau asem gengs ada orang asing ternyata.” Alena tahu dirinya sedang disindir, ia memang berpenampilan kucel dan belum mandi pasti bau-bau yang mereka bicarakan itu adalah untuk dirinya, samar-samar Alena menciumi daerah ketiaknya karena terus melihat orang disekitarnya terkekeh.
“Maaf sebelumnya, Ibu bisa baca gak?” Alena mengernyit heran dengan pertanyaan itu,
“Oh pasti gak bica baca Bu, keliatan sih.” Dengan wajah mengejek wanita di depannya melontaran ujaran yang tidak pantas.
“Maksudnya apa ya?” Alena berusaha tenang.
“Lo belum paham juga. Ibu saya kasih tau ya, di depan itu ada tulisan lift khusus dokter jadi orang lain gak boleh menggunakan lift ini. Ya tapi karena Ibu gak bisa baca saya maklumi, cuman lain kali nanya ya Bu, jangan asal. Ini bukan pasar ini rumah sakit ada aturan.”
Wajah Alena mulai memerah, apalagi orang-orang di sekitarnya terus tertawa kali ini bukan kekehan kecil tapi mereka jelas-jelas mentertawakan Alena.
“Dia dari desa kali?”
“Mungkin dia nyasar mau cari pasar malah masuk ke sini.”
“Liat bajunya! Lusuh banget, mana ada orang ke tempat seperti ini dengan baju kucel kayak gitu”
“Udah-udah, dia mau nangis.”
Mereka lanjut berbisik-bisik, sambil terus terkekeh pelan tidak lupa dengan tatapan yang begitu merendahkan.
Alena jelas tahu ini memang lift khusus, sejak dulu memang ini rute yang ia pilih agar segera sampai di ruangan kerja suaminya, jika harus menggunakan lift pengunjung itu akan memakan sedikit waktu karena antriannya lama dan berhentinya di lorong tidak tepat di depan ruangan Danendra.
Alena yang terus ditertawakan hanya bisa berdiam diri, dia ingin membela dirinya tapi selalu dipotong dengan kata-kata merendahkan dari dokter-dokter magang tersebut. Wajah Alena sudah merah padam, ia meremat erat ujung bajunya.
“Saya istrinya dokter, suami saya bekerja di sini.” Kalimat yang Alena keluarkan semakin membuat mereka tertawa terbahak-bahak, mereka sempat berpikir Alena ini pasien kejiwaan yang berkeliaran di tempat umum.
Pintu lift bergeser pelan, menampilkan seorang dokter menggunakan setelan baju dinas bewarna toska wajahnya terlihat kusut karena baru selesai melakukan operasi besar dan dia ingin turun ke bawah mencari sarapan.
Saat melihat senior mereka berdiri di depan lift rombongan dokter koas tersebut langsung membungkuk memberi hormat, mereka tidak lagi tertawa.
Awalnya dokter berseragam toska itu ingin membalas salam dan sapaan hormat dari anak didiknya tapi perhatiannya tertuju dengan keadaan wanita yang berdiri paling belakang, wajah wanita itu memerah dan terlihat seperti ingin menangis.
Menyadari perhatian seniornya tertuju pada ibu aneh dalam rombongan mereka, wanita berwajah blasteran tadi mengangkat kepalanya dan mengucapkan sesuatu tanpa beban.
“Maaf profesor ada Ibu aneh masuk di lift ini. Sepertinya dia gak bisa baca jadi masuk ke sini sembarangan.” Wajah dokter blasteran itu semakin miring, dia berusaha menahan tawa.
“Sepertinya dia agak sakit Prof, jiwanya terganggu mungkin.” Sahut salah satu dokter magang yang lain, mendengar itu senior mereka langsung murka sudah ingin berteriak marah, tapi tidak sempat karena para juniornya terus berbicara tanpa henti.
“Dia ngaku-ngaku suaminya kerja di sini bahkan jika dibiarkan dia bentar lagi pasti ngaku kalau orang tuanya pemilik rumah sakit ini.” Tidak lagi terkekeh pelan, saat salah satu rekan mereka mengucapkan kalimat itu mereka semua sontak langsung terbahak, merasa tindakkan mereka saat ini memang benar dan cukup menghibur.
“KELUAR KALIAN SEMUA!” Suara tegas dan nyaring itu berhasil membuat dokter-dokter koas itu berhenti tertawa, nada bicara senior mereka terdengar penuh tekanan. Mereka saling melirik penuh kebingungan.
Bersambung.