Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Syarat
Hanya detak jantung Ghea yang kini bersaing dengan suara jangkrik malam.
"A-apa?"
Ia hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tapi ia bisa melihatnya—keseriusan itu. Tersimpan dalam tatapan hitam Leon yang bergeming. Dan sepanjang mengenalnya—meski singkat—Ghea tahu satu hal: Leon bukan pria yang bicara sembarangan.
Dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan dosa, Leon berkata, “Sudah setahun si brengsek itu mengkhianatimu. Dia ingin hartamu, Ghea. Setelah dapat semua, dia akan menceraikanmu… dan menikahi sekretarisnya.”
Ghea terdiam, menatap balik bola mata Leon—dalam, gelap, dan nyaris menyesakkan. Ia tahu tentang Tessa. Tentang perselingkuhan David. Tapi bukan tentang ini. Bukan tentang niat jahat yang sudah disusun rapi.
Leon melangkah lebih dekat, menurunkan suaranya. “Kau tak perlu percaya sekarang. Tapi aku punya bukti. Tinggal kau minta… dan aku berikan.”
Jarak mereka hanya sejengkal. Suara napas mereka saling bersahutan.
“Aku bukan datang untuk hartamu,” ucap Leon pelan, nadanya penuh gravitasi yang memaksa Ghea menelan ludah. “Justru aku ingin memberimu segalanya.”
Ia membungkuk, bibirnya hampir menyentuh telinga Ghea, dan hembusan napasnya menyapu kulit halus di sana—membuat jantung Ghea seolah bergetar.
“Apa pun bisa kumiliki, Ghea. Tapi hanya satu yang kuinginkan…” bisiknya, serak dan dalam. “Kau.”
Lengan kokohnya meraih pinggang Ghea, menarik tubuh wanita itu mendekat. Tanpa memberi ruang untuk menghindar.
Mata tajam Leon menatap bibir Ghea. Dalam. Terlalu dalam.
“Jadilah milikku,” desisnya.
Dan sebelum Ghea sempat menghela napas…
Bibir Leon menyergapnya.
Bukan ciuman lembut. Tapi juga bukan sekadar keinginan. Itu penuh tekanan—panas dan liar. Ada hasrat yang meledak di antara sentuhan mereka. Ghea terkejut, tubuhnya refleks menegang, namun tak ada satu pun bagian dari dirinya yang bisa melawan tarikan itu. Ciuman itu memaksa semua logikanya runtuh dalam sekejap.
Seperti aliran listrik, sentuhan itu merambat hingga ke ujung jarinya. Menggetarkan setiap ruang kosong yang lama tak disentuh cinta.
Dan saat tubuhnya limbung, tangan Ghea secara refleks mencengkeram kemeja Leon. Tapi genggamannya yang menguat, menekan kartu di telapak tangannya—dan seketika, segalanya buyar.
Kesadarannya kembali.
Dengan napas memburu, Ghea mendorong dada Leon. “Apa kau pikir... dengan kartu ini... kau bisa menyentuhku sesukamu?”
Leon menahan tubuhnya, tapi tidak mundur. Sorot matanya tetap menusuk, penuh percaya diri.
“Aku tak pernah berpikir begitu,” ucapnya, suaranya masih rendah, sedikit serak. “Aku lakukan ini karena aku menginginkanmu. Bukan karena kau punya apa-apa. Tapi karena aku tak bisa berhenti memikirkanmu.”
Ia menatap Ghea, intens, penuh emosi yang tak bisa disembunyikan.
“Aku ingin kau jadi satu-satunya wanitaku. Aku bisa beri dunia untukmu, Ghea. Tapi aku hanya butuh satu hal... kau, sepenuhnya.”
Ghea menatap kartu itu lama, seolah angka-angka digital di dalamnya bisa membisikkan niat tersembunyi di balik tatapan Leon. Kartu itu dingin di tangannya. Tapi ada bagian dari dirinya yang terbakar.
Ia mendongak. Sorot matanya berubah. Tidak meledak. Tidak menangis. Tapi... beku. Seperti seseorang yang lelah terlalu lama percaya.
"Aku tidak akan membuang kartu ini, Leon," ucapnya pelan, tapi tegas. "Tapi aku juga belum akan memakainya."
Leon tidak menjawab. Hanya menatapnya—penuh. Diam-diam seperti sedang menimbang, atau mungkin menahan diri.
“Aku hanya ingin tahu…” suara Ghea melemah, “apa kau benar-benar tulus… atau cuma pria licik lain yang pandai bermain perasaan.”
Leon menyandarkan tubuh ke pagar balkon, satu alisnya terangkat, dan senyum tipis menghiasi bibirnya—bukan mengejek, tapi mengundang. “Lalu, dengan cara apa aku harus membuktikannya padamu, Honey?”
Ghea menggertakkan gigi. Ia benci saat pria itu memanggilnya begitu—karena ada bagian dari dirinya yang diam-diam... menyukainya.
"Jangan panggil aku seperti itu," desis Ghea.
“Kenapa? Karena kau takut mulai menyukainya?”
Napas Ghea tercekat.
Leon melangkah pelan, mendekat—mendominasi ruang yang membuat Ghea mundur selangkah, tapi tak sempat menjauh. Tubuhnya sudah diapit antara pagar dan sosok tinggi yang penuh panas tubuh lelaki.
“Aku bisa menunggu," bisiknya. "Tapi aku tak akan diam."
Ghea menatapnya—marah, ragu, sekaligus… terdorong oleh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar penasaran.
“Kalau kau sungguh tulus… buktikan.”
Leon menunduk sedikit, suaranya turun satu oktaf. “Dengan cara yang kau pilih... atau cara yang kutahu akan berhasil?”
Ghea mendadak sulit bernapas. Jarak mereka terlalu dekat.
Ia menatap pria itu dengan segala amarah yang tersisa, lalu membalikkan badan. Tapi baru satu langkah, suara Leon kembali memaku langkahnya.
"Aku bisa saja menyentuhmu sekarang. Membuatmu meleleh, bergetar, lalu menyerah."
Ghea membeku.
“Tapi aku tak mau membuatmu jatuh hanya karena tubuhmu. Aku ingin membuatmu jatuh... karena kau percaya padaku.”
Suara Ghea tercekat di tenggorokan.
Ia membalik perlahan, dan Leon sudah mundur beberapa langkah, membiarkannya bernapas. Membiarkannya berpikir.
“Kartu itu,” lanjut Leon sambil menunjuk pelan, “bukan bentuk suap. Itu janji. Kalau aku bisa memberimu dunia... kenapa aku harus menginginkan hartamu?”
Ghea menahan napas.
Pertanyaan itu sederhana, tapi juga berbahaya. Karena salah menjawab, dan ia akan terlihat lemah.
Ia memilih diam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, pelan namun mantap:
“Buktikan bahwa kau tak menginginkan tubuhku. Jangan sentuh aku. Jangan rayu aku. Jangan dekati aku dengan niat seperti laki-laki yang menginginkan perempuan.”
Ia menatap Leon lurus.
“Buktikan bahwa kau benar-benar mencintaiku… tanpa harus memiliku.”
Leon menatapnya balik. Untuk pertama kalinya, tidak ada senyum nakal. Tidak ada lirikan genit. Yang tersisa hanya napas tertahan dan sorot mata yang lebih serius dari sebelumnya.
“Kau minta aku mencintaimu... dari kejauhan?”
“Jika kau memang tulus, itu bukan permintaan sulit,” ujar Ghea.
Leon tertawa pelan, tapi nadanya pahit. “Kau tak tahu, Ghea… mencintaimu dari kejauhan justru yang paling menyiksa.”
Ghea menunduk, menggenggam kartu hitam itu lebih erat, seolah menyimpan dilema dalam satu genggaman.
“Kita lihat… seberapa kuat kau bertahan.”
Leon menghela napas kasar, nadanya penuh kepiluan yang jarang ia tampilkan.
“Apa kau yakin tak akan merindukanku?”
Ghea memalingkan wajah, menatap ujung balkon yang diselimuti bayangan pohon.
“Tidak,” jawabnya lirih.
Tapi di dalam hatinya, suara itu menggema dengan keraguan. Sangat tidak yakin.
Leon tersenyum tipis, setengah mencemooh, setengah sedih.
“Kau terlihat tak yakin.”
Ghea menegakkan bahu, menyembunyikan gelisahnya. “Tak usah banyak alasan, Leon. Kalau kau benar-benar tulus mencintaiku… sekarang, pergilah.”
Sejenak Leon hanya diam. Lalu, ia mengusap wajahnya kasar, seolah ingin membuang perasaan yang menyesakkan dadanya.
“Honey… tak adakah cara lain?"
"Tidak."
Suara Ghea pelan, tapi cukup untuk membatasi jarak. Ia menunduk sejenak, menelan perih di dadanya. Lalu menatap Leon lagi—datar, dingin, meski matanya nyaris basah.
Leon terdiam.
Untuk pertama kalinya malam itu, tak ada lagi celah untuk bercanda. Tak ada lirikan nakal, tak ada senyum setengah miring yang biasa ia gunakan untuk membuat lawannya menyerah. Kali ini, yang berdiri di hadapan Ghea… hanyalah lelaki dengan hati yang sedang ditolak oleh logika.
“Aku… aku tak bisa jauh darimu.”
Suara Leon serak, matanya menatap dalam, seperti sedang berusaha menggenggam Ghea hanya dengan sorotnya.
Ghea tak langsung menjawab.
Ia tahu. Ia tahu betul, satu langkah saja ke arah Leon… dan ia bisa kalah. Hatinya bisa runtuh, dan seluruh pertahanannya akan hancur berantakan.
Tapi ia tidak boleh lemah.
Ia sudah cukup terluka karena memberi ruang pada orang yang salah. Kali ini, ia ingin yakin.
Maka, tanpa menjawab, ia hanya melangkah. Meninggalkan Leon. Pelan. Tapi pasti.
Setiap langkahnya seolah memahat luka baru di dada Leon. Namun pria itu tetap diam, hanya menoleh pelan, menatap punggung wanita yang sedang mencoba melindungi hatinya sendiri.
Satu… dua… tiga langkah lagi…
Tiba-tiba, Ghea berhenti.
Masih membelakangi Leon, ia berucap pelan—hampir seperti bisikan yang hanya bisa didengar angin malam.
“Aku tidak membencimu, Leon… tapi aku belum bisa mempercayaimu sepenuhnya.”
Leon menatap punggung itu, ingin berlari dan menariknya ke dalam pelukan. Tapi ia tak bergerak. Ia tahu, jika ia mendekat… segalanya bisa runtuh.
Ia menoleh sedikit ke arah kamar, sorot matanya mengeras. Rahangnya menegang.
“Baiklah,” gumamnya akhirnya. Suaranya rendah, dingin, tapi menghantam seperti palu. “Tapi dengan satu syarat.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Ghea kasihan sekali kau sebagai istri yang setia sampai detik ini akal warasmu masih berjalan.
Leon segeralah eksekusi tuh David jadikan dia kere sekere-kerenya.
Atau paling tidak bantu Ghea supaya segera kasih tahu Ghea hasil temuan kecurangan si pengkhianat yang masih bergelar suami Ghea.
Semakin cepat semakin Ghea yang menceraikan suaminya bukan suaminya yang menceraikan istri beda vibes-nya bagi Ghea pastinya.
aku gak bisa bayangkan jika nanti mereka bisa menikah & malam pertama pasti dasyat karna leon sangat berhasrat jika berdekatan dengan ghea😂
sebelum semua hartamu jatuh pada David udah tendang ada dia bersama selingkuhannya.
Leon suami idaman banget...
lanjut kak sehat selalu 🤲
maaf baru bisa hadir 🙏