"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam atau terbakar
Jam menunjukkan pukul 10 pagi.
Cahaya matahari menyusup lembut dari jendela, menyinari sebagian ranjang tempat Brivan terbaring. Udara kamar itu bersih, tapi dingin. Terlalu bersih. Terlalu diam. Seperti ruangan yang diciptakan hanya untuk menjaga raga yang terbaring tanpa kesadaran.
Hania duduk di sisi ranjang. Buku novel terbuka di tangannya, tapi matanya tak benar-benar membaca. Sudah sepuluh menit halaman itu tak ia balik. Dia bahakan sama sekali tidak berminat melihat deretan kata yang biasanya sangat menenggelamkan dirinya itu.
Jam dinding berdetak pelan, satu-satunya suara yang mengisi kamar Brivan selain napas Hania yang tak menentu.
Pagi itu seperti pagi yang lain, tapi tidak bagi Hania. Ada kegelisahan yang tak bisa ia tahan lebih lama. Ia duduk di samping ranjang Brivan. Dia menunggu kedatangan seseorang, seseorng yang mungkin bisa membantunya. Sudah satu minggu ini pikiran Hania sangat penuh, dia bahkan sampai tidak bisa tidur dengan baik.
Pintu terbuka.
Suster Fira masuk dengan langkah tenang, membawakan kotak kecil berisi perlengkapan medis. Seperti hari-hari sebelumnya, sejak ada pergerakan kecil dari Brivan. Hania berdiri, sedikit menggeser tubuhnya. Memberi ruang pada Suster Fira. Buku novel yang ada di tangan Hania di remas kuat, mengalihkan sedikit gelisah yang sudah berhari-hari menghantamnya tanpa ampun.
"Suster Fira ... Apa saya boleh menanyakan sesuatu?" Gugup Hania.
Fira haya diam denga tanga yang cekatan memasukan obat pada jarum infus d itangan Brivan. Diamnya Fira membuat Hania memberanikan diri untuk bersuara lagi.
"Apa dia benar-benar butuh obat itu setiap hari? Maksud saya ... Apa Harus setiap hari? Tidak bisa dijeda?" Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Tapi cukup untuk membuat tangan Fira berhenti di udara, meski hanya sejenak.
Fira tak langsung menjawab. Ia menarik jarum suntik pelan, menutup kembali kotaknya. Baru setelah itu ia menoleh, menatap Hania. Wajahnya datar, tapi tatapannya mengunci—tajam seperti belati yang dibungkus embun pagi.
"Apa maksudmu?"
Suara Fira pelan. Tapi mengandung peringatan.
"Aku hanya..." Hania menggigit bibir.
"Aku hanya ingin tahu... kenapa dia harus terus diberi obat itu? Kenapa dia tidak dibiarkan sadar... seperti kemarin? Brivan .. dia sudah bisa sadar kan?"
Hening sejenak. Fira mendekat satu langkah. Membuat Hania harus mendongak sedikit untuk menatapnya.
Hania terdiam. Ujung jari-jarinya gemetar. Tapi dia tetap berdiri di tempatnya.
Fira menghela napas. Lalu dengan nada lebih pelan—tapi justru lebih menusuk, ia berbisik:
"Lalui saja harimu di sini dengan damai, Hania. Jangan coba memantik api di rumah ini... kau akan terbakar habis, bahkan sebelum kau menyadari siapa yang menyalakannya."
Wajah Fira datar, tapi tak sekaku kemarin. Ada sesuatu yang bergetar pelan di balik sorot matanya.
“Kenapa kalian melakukan ini padanya?” tanya Hania, nadanya pelan tapi getir.
“Dia bukan benda. Dia bukan mesin yang bisa dinyalakan dan dimatikan sesuka hati. Dia manusia, Suster. Kenapa kalian—kenapa kita membiarkan ini terjadi?”
"Karena kita tidak punya kuasa, sekali kita bicara… kita akan hilang...."
Kalimat itu menggantung di udara. Hania tertegun. Matanya membelalak, pelan-pelan mulai memerah. Ia menatap Fira, seperti menatap cermin masa depan yang tak ia harapkan.
"Apa gunanya suara kita… di tengah dinding yang dibangun dari uang dan kuasa? Diamlah, Hania. Diam seperti aku. Diam agar kau bisa selamat. Agar anakmu bisa lahir. Agar kau bisa tetap ada.”
Hania mengigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ingin mengalir tanpa suara. Rasanya sesak menahan semua rasa yang berputar di dada. Antara marah, takut, dan… kasihan. Pada Brivan. Pada Fira. Pada dirinya sendiri.
“Tapi ini salah…,” bisik Hania. Sisi kemanusiaan Hania menjerit melihat ketidak adilan yang terjadi tepat dihadapannya.
Fira menatapnya, mata suster muda itu mulai berkaca. Tapi ia tersenyum tipis—pahit, seperti mengunyah luka sendiri.
“Salah, memang. Tapi kadang… hidup tidak memberi ruang bagi yang benar. Kadang… yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan. Sampai kita menemukan celah kecil untuk keluar dari jerat ini. Jika itu ada..." Lirih Fira diujung kalimat, terdengar lemah dan putus asa.
Ia menggenggam tangan Hania perlahan, lembut. Tapi kuat.
Tatapannya menyimpan sesuatu yang dalam. Luka yang tidak berdarah.
“Kita bukan siapa-siapa di rumah ini. Kerjakan saja apa yang menjadi tugas kita, selebihnya diam. Tutup mata dan telingamu rapat-rapat, jalani semua dengan tuli dan buta... Aku hanya bisa memperingatkanmu Hania. Kehidupan di sini akan mudah jika kau diam."
Fira membereskan alatnya, lalu berjalan menuju pintu.
Tapi sebelum keluar, ia menoleh.
Tatapannya tajam, tapi bukan sebagai ancaman. Lebih seperti sesama manusia… yang mencoba menjaga satu sama lain.
“Tapi jika kau melawan… pastikan kau siap kehilangan segalanya.”
Lalu pintu tertutup.Setelah kalimat itu, Fira melangkah pergi. Tanpa menoleh. Pintu tertutup pelan, kembali menyisakan keheningan. Hania duduk kembali. Kepalanya menunduk. Tangannya meremas buku yang tadi ia baca, lembarannya tergulung di jari. Matanya mulai basah. Tapi bukan karena takut.
Melainkan karena marah. Dan… kasihan.
Ia menoleh pada Brivan, yang masih tertidur diam. Pria itu—dipaksa tertidur. Dipaksa kehilangan hari-harinya. Kehilangan kenyataan. Bahkan kehilangan hak untuk tahu bahwa di sampingnya, ada seseorang yang ingin menolong… tapi tak tahu harus bagaimana.
“Aku bukan pemberani, Brivan. Tapi kalau aku harus memilih antara diam atau melihatmu terus disakiti… mungkin aku akan memilih terbakar.” Suara Hania serak. Tapi ia tetap berceloteh.
“Aku tidak tahu bagaimana dunia penguasa-penguasa seperti kalian berjalan, tapi ini salah Brivan ...Aku tidak bisa diam saja. Tapi bagaimana?" Hania bertanya lirih pada dingin udara di kamar itu.
Tangannya meraih tangan Brivan, menggenggamnya pelan. Hangat. Masih
“Aku bukan pemberani, Brivan. Tapi kalau aku harus memilih antara diam atau melihatmu terus disakiti… mungkin aku akan memilih terbakar.”
Hening sejenak.
"Apa aku beri tahu Nyonya Audy tentang kamu? ... Ya mungkin seperti itu. Tapi sudah dua minggu ini aku belum bertemu dengan dia."
Dari apa yang dikatakan Mario, sepertinya Dokter itu menyimpan rahasia brian dari Audy. Mungkin sang Nyonya tidak terlibat dalam hal kotor ini. Hania harus memberitahu dia,ya sebaiknya begitu.Hania tersenyum, lalu mengusap rambut tebal Brivan.
emak nya brivan bakalan pulang. dan si nenek tapasya pasti gak bisa bergerak sesuka hati nya setelah ini
Oh nggak bisa, yang mengandung anak brivan itu hania, jadi Audy gak ada hak emm
kapan aja,, Brivan pasti bisa bangun melawan bius yang kau ciptakan !!
apa ibunya Brivan ga tau ya klu Audy sdh keguguran dan anaknya lagi terbaring sakit.
Ibunya Brivan akan datang,, berharap bgt dia akan bisa membawa Brivan pergi bersamanya,jika Brivan menjauh dr Mario,itu artinya Brivan akan bisa segera sadar,,,
nah loh ibunya brivan mau ke indo jenguk brivan gimana ya nanti reaksinya kalau tau Audy udah ga mengandung lagi
dan untuk mu ibu briv semoga segera menengok ya. putra mu tidak berdaya