Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ki Djoyosubroto
Johan menatap putranya lama, tampak ragu. Tidak ada di dunia ini yang lebih diinginkannya selain keselamatan Martin.
Dengan gerakan lelah, ia menuang brandy ke gelasnya, menenggak dalam sekali teguk. Alkohol membakar tenggorokannya, memberikan keberanian yang dibutuhkannya untuk membuka luka lama.
Setelah menarik napas panjang, Johan akhirnya berkata, "Baiklah. Kurasa kau sudah cukup dewasa, akan kuceritakan. Tapi ingat, setelah mendengar ini, kau harus kembali ke Belanda."
Ia berjalan ke jendela besar yang menghadap ke taman, memunggungi Martin. Di luar, malam telah larut, hanya terdengar suara jangkrik dan angin yang menggoyangkan daun-daun kelapa.
"Dulu, aku juga sepertimu," mulai Johan, suaranya pelan namun jelas. "Muda, penuh ambisi, dan menganggap Kedung Wulan sebagai tempat yang sangat potensial. Sumber air yang tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau terpanjang sekalipun. Sempurna untuk irigasi perkebunan."
Martin duduk di tepi kursi, mendengarkan dengan seksama.
"Tahun 1897," lanjut Johan, "ketika aku baru berusia tiga puluh tahunan—sedikit lebih tua darimu sekarang—aku bermitra dengan sahabat baikku, Demang Pranatadirja."
Mata Martin melebar. "Pranatadirja?"
"Ya," potong Johan. "Mertua dari Raden Mas Soedarsono. Ketika itu, Aryo Pranatadirja baru saja diangkat menjadi demang, dan kami memiliki visi yang sama tentang pembangunan wilayah. Dia pejabat pribumi yang ambisius, aku pengusaha muda yang rakus. Kombinasi yang sempurna untuk mendapat dukungan pemerintah kolonial."
Johan berbalik, menatap putranya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Tapi ada satu masalah besar. Ki Djoyosubroto."
"Siapa dia?"
"Juru kunci Kedung Wulan," jawab Johan. "Seorang laki-laki tua yang telah menjaga tempat itu selama puluhan tahun. Semacam dukun atau orang pintar yang dipercaya masyarakat. Banyak perempuan—terutama para garwo padmi dan selir pejabat tinggi, bahkan nyai-nyai milik tuan Belanda—datang kepadanya meminta bantuan untuk masalah kesuburan."
Martin mengerutkan dahi. "Lalu apa masalahnya?"
Johan duduk kembali, mengisi gelasnya dengan brandy lagi. "Ki Djoyosubroto menolak keras rencana kami. Dia berkata bahwa Kedung Wulan adalah tempat suci yang tidak boleh diprofanasi untuk kepentingan bisnis. Dibayar berapapun, dia tidak mau menyerahkan wilayah itu."
"Lalu bagaimana kalian mengatasinya?"
Wajah Johan mengeras, ada rasa malu yang mendalam di matanya. "Kami ... kami menggunakan cara yang licik."
Johan terdiam sejenak, seolah mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan.
"Kami bekerja sama dengan Tuan Vermeulen, kontrolir wilayah saat itu. Pria yang ambisius dan tidak segan menggunakan cara kotor untuk naik pangkat. Kami bertiga sepakat untuk mencari cara menyingkirkan Ki Djoyosubroto."
"Cara apa?"
"Kami mulai menyelidiki aktivitas di Kedung Wulan," jawab Johan, suaranya semakin pelan. "Dan menemukan sesuatu yang ... mengkhawatirkan."
Johan bangkit lagi, mengambil sebuah map tua dari lemari berkunci. Ia menyodorkannya pada Martin dengan tangan yang sedikit gemetar.
"Baca ini."
Martin membuka map itu, mendapati beberapa berkas lama bertulisan tangan dalam bahasa Belanda dan Melayu. Ada daftar nama-nama perempuan, tanggal, dan keterangan singkat.
"Ini apa?".
"Daftar perempuan yang meninggal di Kedung Wulan dalam tiga tahun terakhir sebelum 1897," jawab Johan. "Mereka semua berkunjung ke sana untuk meminta bantuan Ki Djoyosubroto dalam masalah kesuburan."
Martin memperhatikan daftar itu dengan seksama. Ada beberapa dengan gelar Raden Ayu dan sisanya adalah Nyai milik Tuan Belanda.
"Dan?" desak Martin.
"Mereka ditemukan tewas di Kedung Wulan dalam kurun waktu tiga tahun," jawab Johan, suaranya nyaris berbisik. "Tenggelam dalam sendang, dalam keadaan yang ... misterius."
Martin mulai berdebar. "Misterius bagaimana?"
"Mereka semua ditemukan dalam keadaan telanjang, seperti sedang melakukan ritual mandi kesuburan. Tapi ada bekas-bekas aneh di tubuh mereka. Luka-luka kecil, memar di tempat yang tidak lazim, dan …," Johan terdiam, tampak tak nyaman mengingat detail-detail itu.
"Dan apa, Papa?"
"Dan ada indikasi bahwa mereka ... digagahi sebelum tenggelam."
Martin nyaris menjatuhkan berkas di tangannya. "Jadi Ki Djoyosubroto ...."
"Kami tidak pernah tahu pasti," potong Johan cepat. "Tapi kami menggunakan fakta-fakta itu untuk menuduhnya melakukan ritual sesat yang menyebabkan kematian para perempuan tersebut."
Johan kembali ke jendela, tidak sanggup menatap wajah putranya. "Vermeulen dengan mudah menerima laporan kami. Dia bahkan menambahkan tuduhan bahwa Ki Djoyosubroto telah menghasut warga untuk melawan pemerintah—berdasarkan kenyataan bahwa banyak orang yang melindunginya."
"Lalu apa yang terjadi?"
"Ki Djoyosubroto ditangkap," jawab Johan, suaranya bergetar. "Dibawa ke penjara, diadili dengan tuduhan pembunuhan dan penghasutan. Kami ... kami menyuap beberapa saksi untuk memberikan kesaksian yang memberatkannya."
"Dan hasilnya?"
"Dia dihukum mati," ucap Johan dengan wajah tertunduk. "Dieksekusi dengan tuduhan membunuh lima perempuan dan menghasut pemberontakan terhadap pemerintah kolonial."
Ruangan itu mendadak hening. Martin menatap berkas di tangannya dengan perasaan campur aduk—jijik, marah, dan sedih.
"Tapi setelah eksekusi itu …," Johan melanjutkan dengan suara yang semakin bergetar, "hal-hal buruk mulai terjadi."
"Hal buruk apa?"
Johan berbalik, wajahnya pucat pasi. "Johanna meninggal di sana."
Martin tertegun.
"Istri Demang Pranatadirja—juga meninggal dalam keadaan misterius."
Johan duduk kembali, tangannya menutupi wajah. "Lalu mamamu ... mengalami tiga kali keguguran berturut-turut sebelum melahirkanmu. Dokter tidak bisa menjelaskan penyebabnya."
"Dan masih banyak lagi," lanjut Johan, suaranya nyaris tidak terdengar. "Kebakaran di gudang pabrik gula, kegagalan panen berkali-kali, penyakit misterius yang menyerang para pekerja. Seolah-olah kami dikutuk."
"Papa percaya bahwa semua itu karena ...."
"Karena kami telah membunuh orang yang tidak bersalah," jawab Johan tegas. "Ki Djoyosubroto mungkin ada hubungannya dengan kematian para perempuan itu, mungkin ada hal-hal yang tidak beres dengan ritualnya. Tapi satu yang pasti, kami yang membunuh pria tua itu dengan tuduhan palsu."
Johan menatap putranya dengan tatapan penuh penyesalan. "Setelah semua kemalangan itu, kami sepakat untuk tidak pernah lagi menyentuh Kedung Wulan. Aryo mendatangkan semacam orang pintar, melakukan ritual untuk menenangkan rohnya. Aku memanggil pendeta dari kota."
"Dan berhasil?"
"Kemalangan-kemalangan itu berhenti," angguk Johan. "Tapi lukanya tidak pernah sembuh. Demang Pranatadirja menjadi orang yang pendiam. Dia tidak pernah menikah lagi setelah istrinya meninggal. Dan aku hidup dengan rasa bersalah ini setiap hari, dan kau lahir"
Martin terdiam lama, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. Sekarang ia mengerti mengapa dirinya merasa tidak tenang, mengapa ada sesuatu yang terus menariknya ke Kedung Wulan. Warisan dosa ayahnya, mungkin?
"Sekarang kau mengerti," ucap Johan akhirnya, "mengapa aku begitu takut ketika kau mulai mendekati tempat itu?"
Martin mengangguk. "Tapi … apa Papa yakin Ki Djoyosubroto tidak bersalah?"
"Setelah bertahun-tahun memikirkannya, ya," jawab Johan. "Aku yakin dia hanya korban dari ambisi dan keserakahan kami."
"Lalu siapa yang sebenarnya membunuh perempuan-perempuan itu?"
Johan menggeleng. "Aku tidak tahu. Mungkin mereka memang tenggelam secara kebetulan. Mungkin ada pembunuh lain yang tidak pernah tertangkap. Atau mungkin …." Ia terdiam.
"Mungkin apa?"
"Mungkin memang ada sesuatu yang supranatural di tempat itu," bisik Johan. "Sesuatu yang berbahaya bagi perempuan yang datang sendirian dan putus asa karena tuntutan untuk melahirkan penerus."
matin jd puasa dongg...
sudarsono kau kerlambat kann wkwkwkwk
ndoro ayu juga bukan Sumirna putri Pranatadirja yang dulu bisa kau injak2 harga diri nya Raden,
Mungkin kahh Raden akan menunjukkan ancamannya yg sdh dia susun
ditambah sihir Ki jayengrana makin menyala dendam Raden mas
takut sumi di sakitin sama mantan suaminya🥲
aah ternyata martin sebucin itu sama sumi
ditunggu kelanjutannya ndoro