Kanaya hidup dalam gelembung kaca keindahan yang dilindungi, merayakan tahun-tahun terakhir masa remajanya. Namun, di malam ulang tahunnya yang ke-18, gelembung itu pecah, dihancurkan oleh HUTANG GELAP AYAHNYA. Sebagai jaminan, Kanaya diserahkan. Dijual kepada iblis.Seorang Pangeran Mafia yang telah naik takhta. Dingin, cerdik, dan haus kekuasaan. Artama tidak mengenal cinta, hanya kepemilikan.Ia mengambil Kanaya,gadis yang sepuluh tahun lebih muda,bukan sebagai manusia, melainkan sebagai properti mewah untuk melunasi hutang ayahnya. Sebuah simbol, sebuah boneka, yang keberadaannya sepenuhnya dikendalikan.
Kanaya diculik dan dipaksa tinggal di sangkar emas milik Artama. Di sana, ia dipaksa menelan kenyataan bahwa pemaksaan adalah bahasa sehari-hari. Artama mengikatnya, menguji batas ketahanannya, dan perlahan-lahan mematahkan semangatnya demi mendapatkan ketaatan absolut.
Bagaimana kelanjutannya??
Gas!!Baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nhaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Properti di bawah sorotan
Setelah Artama pergi, suasana kamar terasa seperti ruang hampa. Aku nggak berteriak lagi. Tenagaku seperti terkuras habis, dan lebih parah, semangat berontakku terasa dipadamkan oleh pemaksaan brutal tadi.But damn, that guy is good at being evil.
Aku pun berjalan dan berdiri di depan cermin, mengamati hasil karya Artama. Dress hitam itu seperti kulit keduaku.Mahal, perfect, dan menyesakkan. Aku terlihat... anggun. Tapi mata di cermin itu kosong, kayak Kanaya Ainsley Eden yang kukenal sudah mati, digantikan oleh 'properti' Artama yang berkuasa.
Sepuluh menit kemudian, pintu terbuka. Artama pun masuk, dan kali ini dia ditemani oleh seorang wanita tua yang terlihat classy dan scary banget. Wanita itu pakai kacamata berbingkai tipis dan suit abu-abu yang terlihat mahal.
"Ini Sofia. Dia yang akan memastikan kamu terlihat pantas di sisiku," kata Artama, tanpa basa-basi.
Sofia pun lalu mendekatiku.
Matanya menyapu dari atas rambutku sampai ujung kaki dengan tatapan kritis.
"Rambutnya harus diikat agar bagian lehernya terbuka,memancarkan aura kedewasaan nya,wajahnya hanya butuh sedikit polesan Tuan. Dan dia butuh perhiasan yang lebih statement."
Artama mengangguk, lalu berbalik kepadaku.
"Ikuti dia. Jangan banyak tanya.Kita akan pergi.Tunjukkan ketaatanmu, Kanaya. Atau kamu akan membuatku kehilangan muka di hadapan kolegaku.".
Mendengar kata 'kolega' membuatku langsung tersadar dari jiwa yang hendak pingsan.
Kolega? Berarti, aku akan bertemu dengan para mafia lain. Perutku pun langsung melilit. Ini bukan lagi drama penculikan pribadi, ini adalah debut Kanaya sebagai 'jaminan' Artama.
Setelah dirias kilat oleh Sofia,yang sama dinginnya dengan Artama.
Aku pun lalu dipasangi kalung berlian yang berat dan clutch kecil. Di depan cermin, aku memang terlihat pantas di sisi seorang Pangeran Mafia. Aku terlihat mahal.Sangat cantik.Tapi sekali lagi,ini semua palsu!.
Kami pun turun ke lantai dasar Penthouse. Artama mengulurkan tangan. Bukan tawaran romantis, tapi sebagai perintah.
"Ambil. Jangan buat aku harus menyeretmu," bisiknya.
Dengan enggan, aku meletakkan tanganku di lengannya. Lengannya terasa keras dan kuat. Kontras banget dengan kulitku yang kedinginan.
Kami pun keluar dari penthouse dan masuk ke mobil mewah berlapis baja.Di sepanjang perjalanan, Artama nggak ngomong apa-apa. Dia hanya sibuk melihat ponselnya. Tapi aku tahu, dia sedang mengawasi ku. Aku pun hanya duduk dengan tegak, berusaha meniru ekspresi dingin yang Artama tunjukkan.
Fake it 'til you make it, kata orang.
Tapi ini kayaknya fake it 'til he kills you.
Tujuan kami adalah sebuah hotel mewah, tempat acara para klan mafia.Menurutku.Begitu kami masuk ke ballroom yang ramai, aku pun langsung merasa semua mata tertuju pada kami. Ruangan itu penuh pria berjas hitam yang berwajah serius,tajam dan seram,dan didampingi wanita-wanita elegan yang terlihat.....tajam juga.
Tempat ini mengerikan!!Artama!!aku akan membalasmu!!
Artama memegang pinggangku erat, menunjukkan kontrol. Cengkeramannya bukan untuk kenyamanan, melainkan belenggu fisik yang nggak terlihat.
"Tersenyumlah. Kamu milikku. Kamu harus terlihat bangga berdiri di sampingku," bisik Artama di telingaku, suaranya hampir hilang di tengah musik classic yang mengalun.
Aku memaksakan senyum tipis.Membuat mulutku terasa pegal karena paksaan itu. Artama pun lalu membawaku menyapa ke beberapa pria paruh baya yang jelas punya kekuatan besar di dunia mereka.
"Salam, Tuan Besar. Saya Artama Volkswagen. Dan ini.... Kanaya Ainsley, aset baru saya," katanya dengan bangga, seolah sedang memamerkan mobil sport terbaru.
Aku pun nggak diberi kesempatan untuk bicara. Artama yang terus menjawab, Artama yang memperkenalkan, Artama yang menguasai. Aku hanya pelengkap,sebuah trophy.
Semuanya berjalan dengan tegang, tapi terkendali, sampai akhirnya kami mendekati sekelompok pria yang jauh lebih muda. Salah satunya, pria berambut pirang dengan seringai yang arogan, menarik perhatianku. Dia melihatku dengan tatapan nakal yang tidak sopan.
"Volkswagen. Lama tak jumpa," sapa pria pirang itu, matanya tetap terpaku padaku.
"Aset barumu terlihat sangat menarik. Cantik sekali untuk menjadi jaminan.Lebih cantik dari beberapa wanita kenalanku. Kudengar Ayahnya sangat putus asa dan menjual gadis semata wayangnya.".
Aku melihat Artama sekilas,dan ia telihat nggak suka. Aku tahu dari bagaimana cengkeramannya di pinggangku mengencang, hampir membuatku sesak napas.
"Dia bukan barang untuk didiskusikan,Victor." jawab Artama dingin.
Pria pirang itu, yang ternyata bernama Victor, justru tertawa renyah yang garing.
"Ayolah, Artama. Jangan terlalu posesif. Kami hanya kagum. Apalagi usianya masih sangat fresh." Victor lalu mencondongkan tubuh ke arahku, mengabaikan Artama yang masih menatapnya tajam.
"Hei, Kanaya.Apa kau betah di sangkar barumu?"
Ini dia. Tantangan publikku.Bagaimana ini?apa aku harus diam?
Aku harus menjawab. Kalau aku diam, Victor akan berpikir aku lemah. Kalau aku marah, Artama akan marah besar. Aku harus menemukan jalan tengah,sebuah jawaban yang menunjukkan Artama punya kendali,agar aku nggak sepenuhnya m4t!.
"Tuan Victor," kataku, suaraku sedikit bergetar, tapi aku memaksakan diri untuk menatap matanya. "Saya betah. Karena penjaga saya tahu bagaimana cara menjaga propertinya tetap utuh."
Artama pun terdiam. Victor terkejut, tapi seringai di wajahnya melebar. Aku tahu, jawaban itu nggak cukup.
Victor mengambil langkah berani. Dia mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh pipiku.
Aku pun mundur perlahan,dan tak sadar bahwa aku mencari perlindungan dari seorang yang mencul!kku.
"Tapi kau terlihat takut, sayang. Apa Artama tidak memperlakukanmu dengan baik? Mungkin aku harus mengambil alih 'jaminan' ini......".
BUGH!
Sebelum tangan Victor menyentuh gadisnya, Artama langsung bergerak. Bukan ke Kanaya. Artama melayangkan tinjunya dengan kecepatan kilat, menghantam wajah Victor tanpa peringatan. Suara pukulan itu keras, membuat semua musik dan obrolan di ballroom itu mendadak hening dan puluhan pasang mata itu tertuju ke mereka.
Victor pun terhuyung, darah segar langsung mengalir dari hidungnya yang sepertinya patah.
Artama tidak peduli dengan darah. Dia langsung berdiri tegak, matanya terbakar amarah yang gelap, menatap Victor yang sudah jatuh ke lantai.
"Dia asetku.Milikku.Barangku," desis Artama. Suaranya tidak keras, tapi seluruh isi ballroom bisa mendengarnya.
"Siapa pun yang berani menyentuhnya, memandangnya terlalu lama, atau bahkan membicarakannya tanpa izinku, akan berakhir seperti ini."
Artama mencondongkan tubuh sedikit ke arah Victor, yang masih merintih di lantai.
"Ini bukan lelucon. Ini peringatan. Dia adalah milikku.Got it?"
Victor yang ketakutan, hanya bisa mengangguk pelan, memegangi hidungnya.
Artama pun kemudian berbalik. Dia nggak melihat Kanaya yang terlihat ketakutan. Dia menoleh ke arah kerumunan mafia yang menonton drama itu, menantang siapa pun yang berani meragukannya.
Setelah semua orang kembali sibuk dengan urusan masing-masing (pura-pura tidak melihat), Artama menarik Kanaya menjauh dari tempat kejadian itu. Cengkeramannya kali ini sangat menyakitkan.Hingga bekas cengkeraman nya terlihat jelas di pergelangan tangan Kanaya yang kecil.
"Artama!!Ini menyakitkan!!".
Dia menyeret nya ke balkon yang sepi. Dia mendorong Kanaya ke dinding kaca hingga tubuhnya menabrak dinding itu.
"Kau," bisiknya, suaranya serak. Dia tidak marah pada Kanaya, tapi dia marah karena hal lain.
"Kau hampir menghancurkan segalanya. Kenapa kau membiarkan dia mendekat?"
"Tapi aku nggak bisa.......".Protes Kanaya,suaranya bergetar.
"Diam!" Artama memotong, dan dia meletakkan telapak tangannya di dinding, tepat di samping kepala gadis itu, mengunci pergerakan Kanaya.
Kanaya tertunduk frustasi.Merasa semua yang ia lakukan selalu salah di hadapan pria ini.Ia hanya bertindak menjadi penengah,tapi Artama tidak mau itu.Sepertinya.
"Tugasmu malam ini adalah tunduk. Bukan berdrama. Tapi bagus. Kau berhasil memicu instingku."
Dia mendekatkan wajahnya. Kali ini, tatapannya bukan hanya dingin, tapi juga panas. Ada bahaya murni dan obsesi yang tidak terkontrol di matanya.
"Mulai sekarang, kamu hanya melihatku. Kamu hanya berbicara atas izinku. Setiap tindakanmu harus menunjukkan bahwa kamu adalah milik Volkswagen. Paham, Kanaya?"
Kanaya hanya terdiam mematung.Nafasnya tersengal karena ketakutan.Dan dia mengangguk perlahan.Dia hanya ingin mengakhiri semua ini.Dia lelah.
Artama tersenyum puas. Itu bukan senyum kebahagiaan, melainkan kemenangan.
"Bagus. Karena ini baru pemanasan. Di dunia Artama, kamu harus tahu bahwa pertumpahan darah selalu datang setelah ancaman. Dan kamu," dia menyentuh kalung berlian gadisnya dengan satu jari dingin.
"Kamu akan menjadi saksi abadi dari setiap bekas luka."
Dia menarik Kanaya menjauh dari dinding.Acara itu belum selesai,dan tantangan Kanaya baru saja dimulai.
Next....