Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cacat
(Di Rumah Sakit)
Waktu terus saja bergulir. Terasa lambat untuk Satya dan kedua orang tuanya menunggu kabar tentang Hanin. Karena menunggu memang sesuatu yang tidak menyenangkan, apa lagi menunggu kabar tentang Hanin yang belum pasti.
Suasana di luar terlihat dari kaca jendela ruangan tempat Satya dirawat sudah semakin sore. Hari mulai gelap. Satya melarang Miranda ketika wanita itu menutup gorden jendela karena dianggap sudah petang, akan tetapi, Satya masih ingin melihat keadaan di luar sambil berbaring di tempat tidurnya. Miranda mengikuti keinginan Satya, mengurungkan niatnya.
Pikiran Satya menerawang dan ingatannya selalu pada kecelakaan yang dialaminya. Kejadian yang membuat Hanin dalam kondisi kritis, membuat Satya merasa begitu lemah karena tak bisa berbuat apa-apa dalam situasi itu.
‘Kalau terjadi apa-apa dengan Hani aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Ini semua benar-benar salahku,‘ batin Satya.
Datang seorang perawat masuk ruangan, memanggil keluarga Hanin. Seketika membuat semua menoleh ke arahnya.
“Dokter memanggil keluarga Hanin untuk datang ke ruangannya, mari saya antarkan, “ kata perawat.
“Baik, suster,” jawab Elvan.
Elvan bergegas pergi, Miranda berniat menyusul. Namun, mengurungkan niatnya saat melihat Satya berusaha bangun dari tidurnya.
“Aku juga ingin tahu keadaan Hani,” kata Satya.
“Biar mama dan papa saja, kau tetap di sini, pasti kami memberitahumu bagaimana keadaan Hanin.”
“Tapi, Mah.”
“Ingat pesan papa barusan, kau mungkin dibutuhkan untuk menjaga Hani nanti, jadi kau harus kembali sehat. “
Satya tak bisa berbuat apa-apa dengan ucapan Miranda yang melarangnya ikut menjenguk Hanin, padahal dirinya sangat ingin, dan pada akhirnya meskipun dilarang, Satya tetap pergi juga mengikuti Miranda diam-diam menuju ruangan dokter Mario.
Di sana, di depan pintu, Satya berdiri mencoba mendengarkan pembicaraan dokter dan kedua orang tuanya. Meskipun samar-samar, Satya masih mendengar apa yang dokter katakan. Kabar yang membuat Satya shok dan tiba-tiba kakinya mendadak terasa lemas.
Dari koridor dia melihat perawat berjalan menuju ruangan tersebut. Sebelum perawat bersama kedua orang tuanya menyadari keberadaannya, Satya memaksakan kakinya berjalan meninggalkan tempat itu.
(Ruangan Dokter Mario)
“Putri, Anda mengalami retak tulang cukup parah di kaki sebelah kanan karena benturan yang cukup keras. Sementara satu kakinya masih lemah. Kami sudah berusaha keras melakukan yang terbaik, kami juga memasangkan gips untuk melindungi kakinya, supaya tidak banyak bergerak.” Penjelasan Dokter Mario.
“Dengan kondisi seperti itu putri kami bisa sembuh kan, Dok?” tanya Miranda cemas.
“Semoga saja, karena beruntungnya cederanya masih termasuk ringan.”
“Berapa lama masa pemulihan untuk kembali seperti sedia kala?” Tanya Elvan.
“Kurang lebih 8 minggu.”
••
Pembicaraan yang Satya dengar sudah membuat remaja berusia delapan belas tahun itu merasa bersalah, hingga membuatnya meninggalkan rumah sakit bahkan tak pulang ke rumah.
Hanin lebih terguncang mendengar dirinya tak bisa berjalan seperti biasanya. Dia terus saja menangis ketika kedua orang tuanya datang menjenguknya. Menangis saat membayangkan dirinya duduk di kursi roda.
“Bagaimana Hani bisa berjalan? Bagaimana dengan sekolah Hani, Mah? Mereka pasti akan mengolok-olok Hani di sekolah. Hani tidak mau sekolah, Mah!” Rengek Hanin sembari memeluk Miranda.
“Tentu saja kamu tidak perlu masuk sekolah untuk beberapa hari selama masih sakit, tapi dokter bilang kamu bisa sembuh,“ imbuh Elvan mencoba menghibur dengan hati yang sebenarnya juga remuk redam melihat keadaan putrinya.
“Dokter pasti bohong, mereka hanya ingin menghibur Hani, kan?”
“Tentu saja tidak.” Suara Dokter Mario muncul dari arah pintu. Dokter berusia sekitar empat puluh tahunan itu tersenyum ramah, lalu menghampiri Hanin diikuti perawat di belakangnya.
Dokter Mario melakukan pemeriksaan singkat pada Hanin, kemudian melanjutkan penjelasannya, “Kamu masih muda, Hanin, asalkan memiliki semangat untuk sembuh pasti bisa kembali berjalan seperti sedia kala. Apa yang kamu lihat ini sebenarnya tidak parah kok,” ujar Dokter Mario.
“Kalau tidak parah kenapa harus dipasang benda seperti ini, Dokter?”
“Supaya tidak banyak bergerak dan lebih cepat sembuh. Setelah nanti rawat jalan, kalian bisa datang kemari untuk memeriksa perkembangannya,“ lanjut Dokter Mario. “Bagaimana anak Manis? Kamu masih semangat untuk sembuh?”
Hanin manggut-manggut dan raut wajahnya sudah tak terlalu tegang seperti sebelumnya setelah Dokter Mario memberikan penjelasan dan semangat.
Elvan dan Miranda menarik nafas lega melihat senyuman di wajah Hanin saat mengatakan bersedia untuk makan setelah sebelumnya selalu menolak, lalu setelah meminum obat, gadis berusia tujuh belas tahun itu kembali terlihat tertidur dengan pulas.
Miranda menjaganya selama dirawat di rumah sakit. Sementara Elvan keluar masuk rumah sakit karena harus bekerja mengurus perusahaannya. Ketika malam hari dia kembali lagi ke rumah sakit untuk menggantikan Miranda berjaga.
Berulang kali Elvan menghubungi Satya. Usai operasi Hanin, pemuda itu meninggalkan ruang perawatan begitu saja, tanpa pamit kabur entah ke mana. Sempat membuat panik pihak rumah sakit yang bertanggungjawab menangani Satya.
Untung Elvan seorang yang bijaksana tak menuntut pihak rumah sakit karena kelalaian mereka dalam menjaga pasien. Beruntung juga salah satu orang tua sahabat Satya menghubunginya dan memberitahu bahwa Satya berada di rumah mereka. Elvan merasa lega. Namun, dia tak habis pikir alasan Satya menghilang dari rumah sakit.
“Sebaiknya Papah jemput Satya, mungkin dia masih takut jika Papah masih marah dan menyalahkannya. Sepertinya, dia juga sudah mengetahui keadaan Hani yang seperti ini. Dia pasti bertambah merasa bersalah.”
“Anak itu, dalam keadaan seperti ini bukannya berada di sini dan membantu kita, malah pergi tidak jelas.” Elvan menggeram kesal.
“Papa harus bisa tahan emosi.” Miranda mengusap bahu suaminya untuk meredakan amarah pria itu setiap kali membicarakan Satya. Masih ada sedikit kekesalan yang tampak di raut wajah Elvan terhadap Satya. Ditambah Satya yang seolah melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai saudara laki-laki yang telah menyebabkan adiknya cacat.
Hanin terbangun karena mendengar pembicaraan kedua orang tuanya dan menjadi salah paham. Hanin berpikir Satya malu dengan keadaan dirinya yang kini cacat. Hanin kembali bersedih, ditambah lagi Satya tak sekalipun datang menjenguknya di rumah sakit.
•••
(Dua hari Usai kecelakaan
Satya duduk di kursi, di deretan paling belakang sendirian saat jam istirahat ke dua. Wajahnya ditekuk, tak sedikit pun menunjukkan aura bahagia seperti dua sahabatnya yang tengah mengobrol duduk di barisan persis di hadapannya. Mereka Adalah Rio dan Zaki yang tengah membicarakan seorang remaja siswi yang tampaknya baru saja mereka kerjai. Tak merasa bersalah, mereka justru merasa bangga saat berhasil melakukannya.
Rio tak sengaja menjatuhkan pandangannya pada Satya, dan menyadari ada sesuatu yang salah dengan temannya itu.
“Kenapa dia? Sepertinya beberapa hari ini selalu murung, apa dia sedang patah hati?” tanya Rio pada Zaki dengan suara lirih.
“Kau tidak tahu kecelakaan kemarin itu membuat adiknya cacat, tampaknya Satya merasa sangat bersalah.“ Zaki pun menjawab setengah berbisik.
“Hanin cacat?”
“Jangan keras-keras membicarakan tentang Hanin.” Zaki sampai membungkam mulut Rio dengan panik. “Satya sangat sensitif mendengarnya. Dia bisa pergi dan menghindari kita jika membicarakan adiknya.”
“Kenapa dia mesti seperti itu dengan kita.”
Rio tak menggubris perkataan Zaki, lantas beranjak dan menghampiri Satya. Menepuk bahu Satya, lalu duduk di hadapannya.
“Jadi, Hani cacat dan kau merasa bersalah sampai mengubahmu seperti ini. Aku tahu kau ini pendiam, tapi saat sedang tidak baik-baik saja aku juga tahu,” kata Rio.
“Hani tidak bisa berjalan normal sekarang, bagaimana aku bisa tenang.” Aura di wajah Satya tak berubah meski dia membalas ucapan Rio.
“Itu kecelakaan, Satya, tidak mungkin dia menyalahkanmu, kan?”
“Aku tidak tahu, aku bahkan belum menjenguknya. “
“Dasar kakak tidak bertanggungjawab, pantas saja bersikap seperti ini. Kau sendiri yang merasa berdosa,” Maki Zaki ikutan nimbrung, tak tahan juga saat mendengar pengakuan Satya yang tak bertanggungjawab. Dia lantas duduk di sebelah Satya.
“Kau jadi menyalahkanku? Aku tidak tega, Za, melihat keadaannya. Kau bayangkan saja dia yang terbiasa lari sana lari sini, tertawa ceria bersama teman-temannya tiba-tiba hanya bisa duduk diam di kursi roda. Dia pasti tidak percaya diri, Za.”
“Lalu, kau menambah rasa kurang percaya dirinya. Aku tahu bagaimana kau dan adikmu. Ada Hanin pasti ada Satya, sampai-sampai kami pun tidak bisa mendekati adikmu gara-gara kau. Sekarang, di saat dia membutuhkanmu kau malah menghindarinya. Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaannya saat kakaknya sendiri yang selalu menjadi penjaga dan pelindungnya tiba-tiba menghilang. Dia pasti mengira kau malu memiliki adik yang cacat. “
“Aku tidak pernah berpikir seperti itu.”
“Hanin pasti berpikir seperti itu. “
Bunyi bel tanda masuk kelas berdenting. Menghentikan pembicaraan ketiga pemuda itu. Zaki bergegas kembali ke tempat duduknya bersama Rio. Teman-teman sekelas mereka berhamburan masuk ke dalam ruangan. Dirga, teman sebangku Satya datang langsung duduk di sebelah Satya.
“Kenapa tadi kau tidak datang ke kantin?” tanya Dirga.
“Memang ada kejadian apa di sana?” tanya Satya dingin, seolah dia paham ada sesuatu di luar sana yang harus dia ketahui.
“Trio Rubah sepertinya menikmati ke tidak hadiran adikmu di sekolah. Mereka membicarakan Hanin dengan sedikit olok-olokan di hadapan siswa siswi di kantin. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Hanin saat dia masuk kelas nanti. “
“Aku pastikan tidak akan ada yang berani mengatakan apa pun.”