NovelToon NovelToon
Jati Pengantin Keramat

Jati Pengantin Keramat

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Tumbal
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Septi.sari

Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.

Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.

"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"

Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.

Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.

2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.

Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jati Keramat 4

"Mbak ... Tadi pintu gudang ke buka sendiri! Saya melihatnya langsung." Adu Gendhis dengan wajah ketakutan.

Fitri mencoba mencerna setiap kalimat itu. Ia agak berfikir, lalu berjalan sendiri ke belakang. Karena Gendhis juga masih penasaran, ia mengikuti langkah Fitri dari belakang.

Namun ketika mereka berdua sampai, pintu gudang masih tertutup rapat. "Lha, ini masih tertutup, Ndis!" Gumam Fitri. Ia mencoba membuka pintu gudang tadi, dan melihat keadaan di dalam sambil menghidupkan saklar lampu. "Nggak ada apa-apa, kok! Sudah, kamu cepat ke kamar mandi, tak tungguin di sini. Nanti gantian!"

Gendhis mengangguk cepat. Lalu ia segera berjalan kembali, karena posisi kamar mandi ada di ujung Toko.

Ceklek!

Blam!

Gendhis menutup kamar mandi itu, dan segera baung air kecil, begitu juga berwudlu. Bayang-bayang pintu gudang terbuka, kini seakan mengganggu konsetrasi pikiranya. Tapi mengapa bisa, pintu Toko tadi tertutup kembali. Naluri Gendhis tidak dapat menangkap kejanggalan itu.

"Sudah?" tanya Fitri yang masih setia berdiri didepan dua kamar tadi.

"Sudah, Mbak! Mbak Fitri mau tak tungguin?" tanya Gendhis sambil melirik dua kamar disebelahnya.

"Sudah, nggak usah! Kamu cepetan sholat saja!" Setelah mengatakan itu, Fitri berjalan menuju kamar mandi, san segera menutup pintunya.

"Gendhiiisssss, tolongggggg ....!!!"

Deg!!!

Gendhis terpaku. Ia diam dan seakan sulit sekali melangkahkan kakinya. Namun, dihatinya ia tidak pernah melupakan Tuhanya, dan senantiasa terus melantunkan dikir.

Suara itu nyaring sekali dalam pendengaran Gendhis. Suara perempuan itu memecah ruangan gelap itu, seolah rintihan seseorang dibalik telinga Gendhis.

'Ya Allah, lindungilah hamba, dari hal-hal sesat yang sedang mengganggu hamba saat ini. Nggak, aku nggak boleh takut! Jika aku takut, maka aku akan terus di kerjai. Aku harus melawan hal-hal mejanggal ini!' batin Gendhis dengan kuat.

Namun setelah itu, suara itu menghilang terbawa angin. Dan setelah ia berdoa, suasana tiba-tiba kembali cerah. Angin semilir masuk melalui celah ventilasi. Padahal sebelumnya, ruangan itu terasa sunyi senyap.

Kini Gendhis segera menunaikan sholat di samping pintu penghubung dengan Toko depan.

Dari depan toko, seorang pria tampan berusia 25 tahun, kini baru saja melepas helmnya dan turun dari motor. Namanya Nandaka-bungsu Pak Lurah.

Nandaka bekerja di kabupaten, dan pulangnya seminggu sekali setiap sabtu siang. Dan, ia akan kembali lagi ke kota hari senin pagi. Dan itu ia gunakan agar dapat pulang bersama dengan Gendhis.

Siang ini seperti biasa, Nandaka menyempatkan mampir di Toko untuk membawakan para karyawan makanan. Bungsu Pak Lurah itu terkenal akan dermawannya. Dan, Nandaka juga sangat ramah kepada pegawai ayahnya itu.

"Mbak Ning, Gendhis mana?" tanya Nanda setelah meletakan sekantung gorengan.

"Masih sholat, Mas Nanda!" jawab Ningrum yang baru saja menberikan kembalian untuk pembeli.

"Oh ya, itu ada gorengan Mbak! Makan sama teman-teman lainnya." Timpal Nandaka kembali.

Ningrum menoleh pada plastik diatas meja, "Oh iya, terimakasih, Mas!"

Gendhis sudah keluar. Gadis dengan kemeja pendek yang dimasukan dalam rok selututnya itu, kini tersenyum tertunduk, kala melihat pria pujaan hatinya. Meskipun tanpa kabar, dan hanya saling mengirimkan surat, tetapi hubungan keduanya berjalan dengan baik.

Nandaka bekerja di kantor kabupaten. Sejujurnya di rumahnya yang di kota juga ada telfon. Tapi, itu hanyalah telfon rumah. Untuk saat ini, masih belum ada telfon genggam untuk berkomunikasi.

Kadang saja, Gendhis mampir ke wartel untuk saling bertukar sapa dengan kekasihnya itu.

"Gendhis, kamu sudah makan?" tanya Nandaka antusias. Pria itu kini sudah duduk dikursi bagian keuangan.

Gendis mengangguk. "Sudah, Mas Nanda! Tadi bareng sama Mbak Fitri." Melihat kedatangan sang pujaan, membuat semangat bekerja Gendhis bertambah dua kali lipat.

Tak berasa, waktu sudah menujukan pukul 4 sore. Dan kini, para karyawan tengah bersiap-siap untuk pulang. Mengingat ada Nandaka, jadi Ningrum dan Fitri dapat pulang lebih dulu.

"Ndis, sebentar ya. Aku mau tutup pintu belakang dulu! Tunggu disini!" Nandaka mengusap surai hitam Gendhis sekilas, lalu segera berjalan menuju belakang.

Pintu dor sudah tertutup sebelah. Namun, dari arah depan tetiba ada seorang wanita tengah baya yang kini berjalan menuju ke arah Toko Emas, dengan penampilan pakain lusuh.

Wanita itu mengenakan dress putih tulang selutut dengan motif bunga kecil, rambut ia biarkan terurai lurus sebahu, dan saat ini tengah menjinjing sebuah tas. Tas itu bukan tas kulit atau tas bermerk pada masanya. Namun, tas itu terbuat dari anyaman pelepah pandan, dan warnanya masih hijau cerah.

"Mbak ...." panggilnya lirih.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu? Toko susah mau tutup, apa Anda ingin membeli Emas?" Tanya Gendhis dengan wajah antusiasnya. Mengingat saat ini ia tengah bersama sang pujaan, pikiran Gendhis mendadak positif, dan seakan lupa dengan kejadian mistis tadi.

"Saya mau membeli emas batang!" Ucap kembali wanita tadi. Wajahnya datar, pucat tanpa ekspresi apapun.

Gendhis agak mengernyit. "Emas batang? Sebentar ya, Bu. Saya panggilkan pemiliknya!" Gendhis beru ingin berjalan ke belakang, tapi Nandaka sudah kembali keluar.

"Ada apa, Ndis?" tanya Nanda antusias.

"Mas ... Ibu ini katanya mau beli emas batang! Apa Mas Nanda dapat mengambilkan?" Terang Gendhis menoleh kebelakang.

Nandaka menghampiri wanita setengah baya tadi. Menatapnya dengan lamat. Namun semakin menatap, wanita tadi tetiba tertunduk. "Bu ... Pulanglah! Tempatmu bukan disini! Saya ingatkan, jangan pernah mengganggu karyawan saya dalam bentuk apapun!" Tekan Nandaka, namun cukup pelan dan lugas.

'Ini cuma perasaanku, atau gimana ya? Kok bau Ibu tadi wangi sekali. Atu mungkin dari anyaman tasnya tadi.' batin Gendhis yang kini menatap wanita tadi yang masih tertunduk.

Tiba-tiba, Nandaka meraih pundak Gandhis untuk diajaknya menoleh ke belakang. Hal itu membuat Gendhis mengernyit. Setelah beberapa detik, Nandaka kembali membalikan badan. Reflek, Gendhis juga ikut membalikan badan.

Namun, spontan ia membolakan mata terkejut. "Loh, Mas ... Pembelinya kemana?" Gandhis mengedarka pandang ke seluruh jalan didepanya. Namun wanita tadi sudah tidak ada.

"Mungkin sudah pergi, Ndis! Ibu-Ibu tadi orang desa sebelah. Mentalnya sedikir terganggu, karena itu sering datang ke toko-toko. Saya kerap bertemu juga saat di kota!" Ucap Nandaka.

"Oh, itu sebabnya ya, Mas Nanda mengusir dia. Saya sempat bingung tadi, Mas. Kok ada pembeli di usir! Hehe ..." kekeh Gendhis yang membuat Nandaka semakin gemas.

'Gendhis tidak boleh tahu siapa wanita tadi. Aku nggak ingin para karyawanku terganggu dengan arwah itu!' batin Nandaka sambil tersenyum hangat.

Setelah selesai mengunci Toko, Nandaka mengajak Gandhis jalan-jalan ke kota terlebih dahulu. Untuk sepedanya, Gendhis taruh digang tengah Toko.

***

"Kok, sampai pukul 5 gini Gendhis belum pulang ya, Pak?!" Bu Siti tengah menahan cemas, sambil berjalan mondar mandir di teras.

Semenjak pulang bekerja tadi hingga kini, Pak Joko hanya diam seolah pikiranya masih terpikat dengan hal janggal yang ia temui ketika menebang pohon jati tadi.

Bu Siti sadar. Ia kini menghampiri suaminya yang tengah melamun. "Pak ...!" di tepuknya pundak Pak Joko, "Kok malam melamun saja, kenapa sih?!"

Barulah Pak Joko tersadar. Ia menatap istrinya, "Nggak, Bu! Bapak nggak melamu. Orang Bapak sejak tadi menjawab ucapan Ibu!" Sanggah Pak Joko dengan wajah antusiasnya.

Bu Siti semakin di buat bingung. Darimana suaminya itu menjawab, orang Pak Joko sejak tadi diam sambil melamun. Tidak ingin berlarut, Bu Siti mencoba mengenyahkan semuanya.

"Pak, lebih baik Bapak cari keluar deh. Ibu hanya takut, kalau sepedanya Gendhis rusak di tengah jalan! Apalagi sudah petang kayak gini, takutnya nanti Gendhis ketakutan saat melewati ujung desa." Pungkas Bu Siti dengan wajah khawatirnya.

"Iya, Bu! Bapak tak ambil sepeda dulu!" Pak Joko sontak bangkit, dan langsung berjalan ke samping rumah untuk mengambil sepedanya.

Sepeda kuno, peninggalan sang Ayahnya dulu, hingga kini masih Pak Joko rawat. Karena hanya itu yang tertinggal, jadi Pak Joko sangat berhati-hati membawanya.

"Bapak berangkat dulu, Bu!" Pamitnya.

"Hati-hati, Pak!" jawab Bu Siti menatap kepergian suaminya.

Rumah Pak Joko berada paling belakang antara rumah warga lainnya. Meskipun sekarang sudah banyak rumah warga, namun tetap saja, keadan menjelang malam itu, membuat semua orang berada di dalam rumah semua. Jadi, agak sepi.

Cahaya penerangan pun masih sangat minim. Hanya ada dua sampai tiga saja di setiap pinggir sawah, dan belokan sungai.

Dan setiap malam, suasana desa Sendang semakin terlihat mencekam. Meski tidak se rimbun waktu dulu, namum di desa Sendang masih cukup banyak pepohonan besar, yang membuat desa itu semakin terlihat mistis.

Pak Joko mengayuh sepedanya hingga akan keluar dari desa. Sebelum itu ia melewati rumah Lurah Woyo, yang berdiri sendiri tanpa adanya tetangga satu pun.

"Mari, Eyang Wuluh!" Sapa Pak Joko sedikit menunduk, kala melewati Eyang Wuluh yang saat ini tengah berdiri didepan pagar rumahnya dengan tongkat kayu.

Eyang wuluh dengan wajah datarnya hanya terdiam, bergeming cukup lama.

Setelah itu ia meringis ....

Ckikiki ...!! Ckikiki ...!!!

Tawanya seketika melengking kuat.

1
Lucas
seru banget lo ceritanya
Septi.sari: Kak terimaaksih🙏❤❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!