Hidup Edo menderita dan penuh hinaan setiap hari hanya gara-gara wajahnya tidak tampan. Bahkan ibu dan adiknya tidak mau mengakuinya sebagai bagian dari keluarga.
Dengan hati sedih, Edo memutuskan pergi merantau ke ibu kota untuk mencari kehidupan baru. Tapi siapa sangka, dia malah bertemu orang asing yang membuat wajahnya berubah menjadi sangat tampan dalam sekejap.
Kabar buruknya, wajah tampan itu membuat umur Edo hanya menjadi 7 tahun saja. Setelah itu, Edo akan mati menjadi debu.
Bagaimana cara Edo menghabiskan sisah hidupnya yang cuma 7 tahun saja dengan wajah baru yang mampu membuat banyak wanita jatuh cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HegunP, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Cinta Pertama
Edo memakai tudung jaketnya sambil menatap langit malam yang bertabur bintang. Ia membelakangi pagar rumah Putri. Selama menunggu cewek itu turun, Dia sibuk menyusun kata-kata perpisahan sambil berlinang air mata.
Konsentrasinya buyar ketika Putri akhirnya sampai di pintu gerbang dan berdiri di belakangnya.
“Edo, kamu ko nangis?”
Edo yang tidak sempat menyeka air matanya cepat-cepat menundukkan kepala.
“Anu… a–aku. Aku datang ke sini ingin bilang kalau…”
Tenggorokan Edo terasa tersumbat. Wajahnya memerah. Jantung pun mulai berdetak tak beraturan. Padahal ia mau mengatakan sesuatu yang ia pendam selama ini.
“Mau bilang apa?” tanya Putri, nampak sedikit kesal karena merasa waktu belajarnya telah diganggu.
“Aduh. Kenapa sulit begini. Padahal cuma mau bilang ‘aku suka kamu dari dulu’, lalu langsung pamit pergi,” rutuk Edo dalam batin.
Maksud kedatangan Edo ke rumah Putri memang hanya untuk mengungkap perasaannya sebelum langsung berangkat ke ibu kota.
Putri… cewek yang menjadi cinta pertama Edo selama ini. Sosok yang ia anggap sebagai cewek keren dan pahlawan karena sering datang mengusir Edgar yang mengganggunya.
Maka, wajarlah jika Edo berniat mengungkapkan isi hatinya sebelum pergi selama-lamanya karena malam ini menjadi malam terakhir bisa bertemu dan melihat Putri secara langsung.
Tapi ternyata, ini lebih sulit dari yang ia bayangkan.
“Kalau enggak ada yang mau diomongin, aku balik ke dalam. Mengganggu saja kamu!” keluh Putri sambil melihat jam tangannya.
Putri berbalik pergi.
“Tunggu!’ cegah Edo.
Putri menghadap Ke Edo lagi dengan tangan berkacak pinggang. “Apa? Kamu ini ganggu bang—”
“Aku suka kamu sejak kelas 1 SMA!” teriak Edo dengan wajah memerah dan mata yang tertutup rapat.
“Heh?” Putri mengernyitkan dahinya.
“Iya… aku kesini cuma mau bilang itu. Aku enggak mengharap balasan cinta karena aku sadar diri. Sadar kamu cewek cantik dan enggak mungkin suka sama cowok muka kaya aku.”
Untuk sesaat, ada hening yang lewat. Air mata Edo kembali mengembun. Tetes demi tetes air mata jatuh kembali ke tanah serta membasahi sepatunya.
“Aku … juga ingin kamu tahu … aku selama ini sebenarnya muak pergi ke sekolah. Tiap hari dihina, dibuat babak belur hanya gara-gara nggak good looking seperti kalian.
Tapi kamu… karena kamu yang bikin aku tetap semangat berangkat sekolah. Hanya demi bisa melihatmu setiap hari dari jauh, aku rela pergi ke neraka yang dinamai sekolah itu.”
“Itu pengorbananku selama ini dan bukti besarnya aku menyukaimu.”
Tangis Edo makin pecah. Dia bahkan terisak-isak sekarang.
“Edo … kamu… .” Putri sampai tercengang. Dia tidak bisa berkata-kata.
“Mulai malam ini aku akan pergi dari kota ini. Aku pamit, ya. Aku juga mau bilang terimakasih. Meski kamu juga sering ngeledek muka jelekku, tapi cuma kamu orang satu-satunya yang menolongku ketika aku dihajar Edgar.”
“Terimakasih. Dan selamat tinggal … Putri.”
Setelah mengucapkan kata perpisahan, Edo cepat berlari, pergi sambil tetap mengusap-usap matanya dengan pergelangan tangan karena tak kunjung berhenti menangis.
“Edo… tunggu!” Tak disangka, Putri malah lari mengejar Edo di belakang.
Akan tetapi, lari Edo sangat kencang. Putri tidak bisa menyusul, yang akhirnya tertinggal jauh di belakang.
...****...
Sudah 4 jam lebih Edo ada di dalam bis yang membawanya ke ibu kota. Beberapa menit lagi akan sampai tujuan.
Edo tetap memakai tudung jaketnya. Wajahnya ia tutupi dengan masker agar muka jeleknya tidak mengganggu kenyamanan penumpang lain.
Di balik masker itu, ia menghela napas lega. Bibirnya tersenyum simpul sambil menyaksikan pemandangan malam di balik kaca jendela.
Rona merah di pipinya muncul lagi gara-gara mengingat kata-kata perpisahannya yang ia ucapkan secara menggebu-gebu ke Putri beberapa jam yang lalu.
“Aduh … aku kayaknya ngomong terlalu jujur, deh,” gumanya, sedikit menyesal karena malu.
Meski jadi malu sendiri, sebagai besar hatinya malah jadi terasa plong.
Di sela-sela itu, Edo malah teringat juga kepada ibu dan adiknya. Apalagi perkataan sang ibu yang bilang, “Kamu gak pernah kami anggap bagian keluarga. Justru ibu dan Denis senang kalau kamu pergi dari rumah ini!”
Sungguh, kata-kata itu membuat tekadnya hidup sendirian ke ibu kota makin berkobar meski harus cuma modal nekat.
Toh selama ini memang sudah memiliki niatan begitu. Kalau bukan karena ingin dapat balasan kasih sayang dari sang ibu dan adik, serta tidak mau berpisah jauh dari Putri, Edo pasti sudah dari dulu minggat pergi ke ibu kota.
Edo sudah benar-benar membenci ibu dan adiknya. Serta berjanji tidak akan pulang atau mau memikirkan mereka lagi.
Bis akhirnya sampai di tujuan. Edo turun dari bis.
Meski sudah tengah malam, suasana kota masih ramai. Walaupun sebenarnya tidak semua seperti itu. Contohnya tempat yang Edo pijaki sekarang. Entah apa nama wayahnya, tempat yang Edo datangi sepi.
Banyak toko, ruko, rumah warga, dan tempat-tempat publik lainnya tutup. Membuat Edo sedikit ketakutan karena tidak menjumpai orang satupun. Suasana jadi sedikit seram.
“Mungkin semua orang sudah tidur,” gumam Edo sambil melihat jam di HP-nya yang memperlihatkan jam 1 pagi.
Lama kelamaan, Edo mulai lelah karena sudah cukup lama berjalan tanpa arah tujuan. Ditambah lagi perutnya sangat lapar karena belum makan malam sama sekali.
“Aku harus tidur di mana? Mana lapar lagi. Enggak ada yang jualan pula.”
Edo pergi ke ibu kota tidak hanya modal nekat saja. Dia juga membawa uang yang kalau dihitung-hitung hanya akan cukup untuk biaya kos 1 bulan dan makan 7 hari saja.
Edo tolah-toleh hingga pandangannya terhenti ke arah kursi kayu panjang dekat sebuah ruko yang tutup. “Tidur di sana aja deh. Yang penting bisa istirahat. Besok baru cari makan.”
Edo berjalan gontai mendekati kursi panjang itu. Dia sudah sangat lelah. Akan tetapi, langkahnya terhenti tatkala mendengar suara teriakan dari arah belakang.
Edo cepat menoleh ke sumber suara lalu dibuat terkejut lantaran seorang laki-laki berkemeja putih berlari cepat ke arahnya. Orang itu malah langsung bersembunyi di balik punggung Edo.
“Lindungi aku bentar sampai gak ngos-ngosan!” kata orang itu yang Edo perhatikan memiliki wajah sangat tampan.
“Hah … kenapa?” tanya Edo.
“Soalnya …”
Belum sempat Edo mendengar jawabannya, 10 orang laki-laki dewasa juga datang mendekat. Mereka kini berdiri bergerombol beberapa meter tepat di depan Edo sambil juga mengatur napas.
Sepertinya mereka orang-orang yang mengejar laki-laki berkemeja putih yang sedang bersembunyi di balik punggung Edo.
Edo jadi ikut takut dan berkeringat dingin. Pasalnya, 10 orang itu datang dengan membawa senjata tajam.
“A–ada apa ini?” lirih Edo, ketakutan.