NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:349
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ren dan Hujan Pertama

Hari itu, langit mendadak gelap.

Padahal sejak Sensei menjadi jangkar waktu, langit selalu cerah dan stabil, nyaris terlalu sempurna untuk disebut hidup.

Tapi sore itu, awan hitam muncul dari arah timur, berputar perlahan seperti pusaran tinta di atas kertas biru.

Ren menatap langit sambil berdiri di tepi pantai.

“Aki,” katanya pelan, “ini… hujan pertama, ya?”

Aku mengangguk. “Iya. Sudah sebulan dunia ini nggak menangis.”

Dia tertawa kecil. “Kau menyebut hujan sebagai tangisan?”

Aku tersenyum samar. “Sensei pernah bilang, hujan itu cara dunia mengingat. Jadi setiap kali turun, ada sesuatu yang ingin dikenang.”

Ren menatap awan yang semakin pekat. “Kalau begitu, mungkin dunia ingin mengenang seseorang hari ini.”

Aku menatap laut yang mulai berombak, dan jantungku berdegup cepat.

“Sensei…” bisikku.

Rintik pertama jatuh beberapa menit kemudian.

Besar-besar, berat, tapi lembut.

Butirnya memantul di pasir, menciptakan aroma tanah basah yang selama ini hilang dari dunia ini.

Aku berdiri diam, membiarkan hujan menyentuh wajahku.

Dan benar — di sela suaranya, aku mendengar bisikan samar.

“Aki…”

Dadaku langsung menghangat.

Aku menatap langit, setengah berharap akan melihatnya.

Tapi yang kulihat hanya hujan — ribuan butir air yang jatuh seperti waktu yang kembali berdetak.

“Sensei, kau dengar aku?”

“Aku selalu mendengar.”

“Dunia mulai berubah lagi. Apa ini pertanda buruk?”

“Tidak ada buruk. Waktu cuma bergerak karena ingin hidup.”

Ren berdiri tak jauh di belakangku, memandangi langit yang berkilat disambar petir.

“Suaramu lagi, ya?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Dia bicara padaku. Dan… entah kenapa, aku merasa dia juga bicara padamu.”

Ren terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan. “Mungkin iya. Setiap kali hujan turun, aku bisa dengar kata yang sama di kepalaku.”

Aku menatapnya penasaran. “Kata apa?”

Dia tersenyum samar. “Ingat.”

Kami berteduh di bawah pohon plum besar di pinggir pantai.

Ranting-rantingnya meneteskan air seperti kristal yang jatuh perlahan.

Ren duduk di sampingku, tangannya menggenggam butiran pasir perak yang dulu muncul di telapak tangannya saat pertama kali kami bertemu.

“Lucu ya,” katanya sambil menatap pasir itu. “Setiap kali hujan, pasir ini bersinar.”

Aku menatapnya. “Itu bukan pasir biasa. Itu sisa energi waktu. Mungkin Sensei yang memberimu itu.”

Dia tersenyum kecil. “Kalau begitu, mungkin dia pengen aku tetap dekat denganmu.”

Aku menatap ke depan, menghindari tatapannya.

“Aku nggak butuh pelindung, Ren.”

“Aku tahu,” jawabnya lembut. “Tapi mungkin aku butuh alasan untuk tetap di sini.”

Kata-kata itu membuat hatiku bergetar aneh.

Ren punya cara bicara yang berbeda dari siapa pun, tapi entah kenapa, kadang aku merasa seperti mendengar gema dari masa lalu setiap kali dia berbicara.

Mungkin karena suaranya mirip.

Atau mungkin… karena sebagian dari Sensei hidup di dalam dirinya.

Hujan turun makin deras.

Angin membawa aroma laut yang tajam, tapi di baliknya ada sesuatu yang lain — wangi logam, dan sesuatu yang dingin, seperti udara dari tempat asing.

Aku menatap laut. “Ren… lihat itu.”

Di kejauhan, di antara ombak, muncul cahaya biru samar.

Berdenyut pelan, tapi konsisten.

Ren berdiri, menatap ke arah yang sama. “Itu bukan petir.”

Aku menggeleng. “Itu… sesuatu dari Gerbang Langit.”

Kami berjalan mendekati pantai.

Setiap langkah terasa berat, karena pasir berubah jadi lumpur lembut, seolah dunia menahan kami untuk tidak terlalu dekat.

Tapi semakin dekat kami, semakin jelas cahaya itu.

Di tengah laut, ada sesuatu yang melayang — sebuah bola cahaya perak, setengah tenggelam di air, dengan bayangan samar di dalamnya.

Aku menelan ludah. “Apa itu…?”

Ren menyipitkan mata. “Seperti seseorang.”

Aku menatapnya kaget. “Seseorang?”

Dia mengangguk pelan. “Ya. Aku bisa rasakan denyutnya. Bukan waktu, tapi jiwa.”

Aku menggenggam liontin kecil di leherku — satu-satunya benda yang tersisa dari Sensei.

Cahaya dari bola itu memantul ke permukaannya, dan seketika liontin itu mulai bergetar.

“Sensei?” aku berbisik.

Tapi bukan suara Sensei yang datang.

Yang kudengar adalah bisikan lain, lebih dalam, lebih tua.

“Jantung waktu telah berdenyut, tapi tidak sendiri.”

“Kau membuka jalan untuk yang belum lahir.”

Ren melangkah ke depan, wajahnya menegang. “Dia bicara padaku juga.”

Aku menatapnya heran. “Apa katanya?”

Ren menutup mata, air hujan membasahi rambutnya. “Dia bilang… waktuku sudah tiba.”

Sebelum aku sempat bertanya, bola cahaya itu pecah.

Cahaya biru melesat ke udara, lalu menembus tubuh Ren dan lenyap dalam sekejap.

Aku menjerit, “Ren!”

Dia terjatuh ke pasir, tubuhnya bersinar kuat.

Aku berlari ke arahnya, tapi begitu tanganku menyentuhnya, aku melihat sesuatu — bukan dunia ini, tapi kilasan masa lalu dan masa depan yang bertabrakan.

Ren berteriak, matanya terbuka lebar, pupilnya berubah menjadi warna emas, sama seperti mata Sensei ketika dia memanggil waktu terakhir kali.

Suara yang bukan miliknya keluar dari mulutnya.

“Aku kembali…”

“Bukan untuk hidup, tapi untuk menuntun.”

Aku mundur satu langkah, tubuhku bergetar. “Sensei…?”

Ren menatapku — tapi tatapannya bukan milik Ren. Itu… mata Mika.

Air mataku langsung jatuh. “Sensei?! Kau di dalam dia?!”

Dia tersenyum samar. “Sebagian. Waktu membaginya ke tubuh baru agar bisa menjaga dunia dari dalam.”

Aku menutup mulutku dengan gemetar. “Jadi Ren… adalah—”

“Jangkar baru. Aku cuma gema, Aki. Tapi Ren hidup karena keputusanmu untuk menjaga waktu.”

Ren menunduk, suaranya berubah jadi miliknya lagi. “Aku… aku bisa dengar dua suara di kepalaku. Satu dari hujan, satu dari dalam hatiku.”

Aku menyentuh bahunya pelan. “Berarti kalian sekarang… satu.”

Dia mengangguk pelan, wajahnya tenang tapi matanya memantulkan cahaya yang aneh — campuran manusia dan waktu.

Hujan mulai reda.

Langit membuka celah, membiarkan cahaya senja masuk di antara awan gelap.

Ren berdiri pelan, memandang tangannya yang masih berkilau.

“Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.”

Aku tersenyum kecil. “Sensei akan bilang: ‘Jalani saja. Waktu tidak butuh rencana, hanya arah.’”

Dia tertawa kecil. “Kau hafal banget kata-katanya, ya?”

Aku mengangguk, menatap langit. “Setiap kata yang dia ucapkan masih ada di sini.”

Aku menunjuk dadaku. “Dan sekarang, sebagian darinya ada di kamu.”

Ren menatapku lama, lalu mengangguk. “Kalau begitu, mulai hari ini, aku akan terus mendengar.”

“Hear what?” tanyaku.

“Suara dunia. Suara waktu. Suara hujan.”

Dia menatapku dalam. “Dan suaramu.”

Aku menunduk, tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan wajah yang panas karena malu.

Tapi dalam hati, aku tahu — dunia baru ini baru benar-benar mulai hidup.

Malam datang perlahan, membawa aroma laut yang segar setelah hujan.

Kami duduk berdampingan di pasir yang masih lembab, menatap bintang-bintang yang mulai muncul satu per satu.

Ren menengadah, lalu berkata pelan, “Aki… kalau suatu hari waktu berhenti lagi, apa kau akan menyalakannya kembali?”

Aku tersenyum lembut. “Selama aku bisa mendengar hujan, aku akan tahu kapan harus memulainya lagi.”

Dia menatapku lama, lalu berkata, “Dan kalau aku yang berhenti?”

Aku memandangnya dalam-dalam. “Maka aku akan jadi hujannya.”

Ren tersenyum, lalu menatap laut.

“Lucu ya, dunia baru ini. Diciptakan oleh cinta, dijaga oleh waktu, dan dihidupi oleh rindu.”

Aku mengangguk. “Dan mungkin, itu alasan kenapa hujan tidak pernah benar-benar berhenti.”

Kami terdiam lama.

Hanya suara ombak, lembut, berirama seperti napas dunia.

Dan di antara hembus angin malam, aku mendengar suara yang paling kukenal, samar tapi jelas:

“Bagus, Aki… kau akhirnya menemukan arahmu.”

Aku menutup mata, tersenyum sambil membiarkan air mata terakhirku jatuh ke pasir.

Hujan berhenti, tapi di dalam diriku, waktu terus berdenyut —

karena kali ini, aku tidak lagi menjaganya sendirian.

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!