Liburan yang menyenangkan berakhir hancur tersapu ombak akibat hal kecil. Membuat dua orang sahabat terjebak di pulau pribadi dengan cinta penuh misteri.
Bagaimana bisa gadis miliarder yang super tengil mendadak bangkrut karena ulahnya sendiri. Dan di masa sulitnya ia bertemu pun dengan kuli kampung yang mampu memalingkan dunia penuh masalahnya.
Namun apakah dia benar-benar kuli kampung? Atau hanya bermain di atas panggung sandiwara dibalik dunia gelapnya.
••••
Novel ini pernah dibikin komik dengan judul berbeda tapi gak dilanjut lagi, kalau pernah liat itu ada di akun lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceyra Azaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
[Memotret Dirimu Secara Diam-diam]
.
Ditengah godaan abang penjual yang entah berpose seperti apa sambil mengangkat jajanan siomay, seolah ingin dipromosikan. Chai Tea pun tersenyum singkat lalu memilih pergi untuk memotret pemandangan selagi gorengannya masih berdesir di dalam minyak panas.
Kemudian, ia menaruh kameranya di atas kursi kayu sambil berfokus memaksimalkan kamera untuk memotret seekor anak penyu yang merangkak ke pesisir pantai.
Di saat sedang serius tiba-tiba terdengar suara panggilan dari belakang.
"Permisi kak!"
Dirasa asing dengan suaranya Chai Tea pun menoleh. Ternyata ada tiga gadis remaja yang kira-kira seumuran dengan Navy.
"Maaf mengganggu, kak! Kami perhatikan sepertinya kakak ini fotografer, apakah benar?" Tanya seorang gadis.
"Aku bukan fotografer, memangnya kenapa kalian bertanya?" Sahut Chai Tea.
"Oh, Begitu, ya? Sebenarnya kami ingin menyewa jasa kakak dengan akan menawarkan sejumlah uang untuk setiap satu foto yang paling bagus."
Mendengar uang yang lumayan untuk menambah jajan, Chai Tea tersenyum lebar dari dalam hatinya, bagai mendapatkan peti harta karun ia bisa mendapatkan uang semudah ini. Tanpa pikir panjang Chai Tea pun setuju tanpa tahu tugas apa yang harus ia lakukan.
"Bisa aja kok! Jadi apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" Chai Tea mulai menyiapkan lensa kamera seolah dirinya seorang profesional.
"Bisa tidak kakak memotret seorang pria secara diam-diam? Dia pujaan hati kami, jadi tolong foto dengan sempurna, ya!"
"Hah? secara diam-diam?"
"Benar! Bisa, kan?"
"Setelah merayakan pesta pembukaan musim panas, kami semua harus segera pulang untuk melanjutkan studi tambahan di luar kota."
"iya, karena itulah kami tidak ingin rasa rindu ini mengganggu studi."
"Bisa sih aku melakukannya, tapi aku takut terkena pidana pasal memotret orang tanpa izin. Larangan keras itu sudah terpampang jelas untuk paparazi." Jawab Chai Tea, buncah. Menggeleng tak setuju
"Please kak! Tolong bantu kami!"
"Tenang aja jangan takut! Kami akan melindungi kakak karena orang tua kami merupakan orang kaya berpengaruh yang kebal hukum." Bujuk salah satu gadis.
Walaupun merasa ragu akan perbincangan ini, Chai Tea pun menarik nafas panjang dan berusaha yakin bahwa dirinya dapat melakukannya, demi uang.
"Oke! Coba kita lihat dulu, kalau kakak bisa kami bakal bayar dengan sejumlah uang besar, tapi kalau tidak bisa, kami tidak akan memaksa."
Setelahnya, ketiga gadis itu membawa Chai Tea ke suatu tempat untuk menemui sang pujaan hati. Namun yang mengherankan mereka malah membawa Chai Tea kembali pada kedai itu.
Lalu salah satu gadis menunjuk kedua pria yang sedang mengangkut barang. Pria yang dimaksud adalah Sky dan Dylan, ternyata idola oleh para gadis remaja adalah kedua kuli kampung pengangkat barang.
"Owalah mereka berdua toh? Wajar aja sih kalo seganteng itu." Decak Chai Tea, mengangguk setuju.
Berhubung ia sedang krisis uang dan juga sudah menerima tawaran tersebut, dirasa pula lumayan dekat dengan Sky yang merupakan tetangga seberangnya, mungkin saja tak masalah walaupun ketahuan sekalipun olehnya.
Tapi dalam satu sisi, Chai Tea tak rela jikalau foto Sky akan disimpan oleh gadis lain, namun itu tak apa-apa, sebab bisa bermimpi belum tentu dapat memiliki.
Chai Tea bersembunyi dibalik batang pohon kelapa seperti sebelumnya, kemudian ia menyiapkan kamera lalu memfokuskannya kepada Dylan. Beberapa jepretan berhasil terambil tanpa ketahuan, terlihat juga foto itu cukup bagus.
Cowok bule itu tampak bersinar dengan rambut blondenya, sepeti model internasional.
Selanjutnya barulah Chai Tea memotret Sky yang sedang berdiri di atas bak kargo, memindahkan barang. Dengan jepretan kilatnya ia juga berhasil menjepret beberapa foto. Sky tampak mempesona dengan guyuran keringat di bawah sinar matahari.
"Yeah! Aku berhasil melakukannya."
"Jadi tidak sabar nih mau mencetaknya, pasti remaja puber itu kegirangan, hihihi." Gumamnya, tersenyum puas.
Pada saat akan membalikkan badan, entah datang darimana tiba-tiba muncul dua orang pria bersetelan jas hitam dan berkacamata gelap sudah berdiri dihadapannya, Chai Tea sadar bila aksinya telah kepergok.
Dengan jantung deg-degan ia berjalan mundur perlahan, pandangannya tak lepas dan berwaspada terhadap kedua orang itu. Dikarenakan terlalu fokus ke depan, Chai Tea pun panik saat dirinya berhasil disergap dari belakang, kameranya pun direbut paksa.
Ketika Chai Tea berusaha berontak dan berteriak meminta pertolongan, tapi salah satu dari mereka menutup mulutnya dengan serbet putih, dikira dirinya akan dibius ternyata tidak. Chai Tea masih sadar saat dibawa pergi ke sebuah bangunan kosong yang tak jauh dari sana.
Sesudah itu, barulah mereka melepaskan serbet itu dari mulut Chai Tea, kendati masih tak membebaskan pasungan di tangannya. Tak ada pernyataan seperti interogasi, semua orang diam dalam hening.
Kemudian salah satu pria menelpon seseorang dan berbicara dengan bahasa asing yang tak Chai Tea pahami, hal itu membuatnya langsung berkeringat dingin, ketakutan parah akan nasibnya.
"Dengar! Aku bukanlah paparazi seperti yang kalian kira. Aku hanyalah wisatawan biasa yang kebetulan sedang memotret." Jelasnya, kegugupan.
"Percuma saja berdalih! Semua paparazi yang tertangkap juga mengatakan hal yang sama."
"Jujur saja siapa bosmu kali ini?" Tepis salah satu pria yang tak percaya pada alasan tersebut.
"Sungguh aku bukan paparazi suruhan, ini memang aku sendiri yang melakukannya."
"Diam saja nona! Jelaskan nanti dihadapan nyonya besar."
Sulit sekali menjelaskan pada mereka yang telah menganggap Chai Tea sebagai pelaku. Beberapa kali pun berteriak untuk meminta bantuan, tetap tak ada yang datang, sia-sia saja memberontak seperti ini melawan ketiga pria berbadan besar.
Chai Tea mulai kacau ia sudah pasrah menghadapi hukuman yang telah dilanggar. Namun semua rasa buruk di dalam benaknya terpatahkan dengan datangnya seorang gadis muda yang berjalan menghampiri mereka semua.
Dengan tatapan datar tapi tajam dia melirik para pria sambil berkacak pinggang. Chai Tea mengenalnya, tak salah lagi dia merupakan teman Navy yang sempat ia lihat di kedai sebelumnya.
"Apa yang kalian lakukan? Lepaskan dia sekarang!" Dengan lantang Siren memberikan perintah, semua pria langsung melepaskan Chai Tea lalu menundukkan kepala kepadanya.
"Dia ini bukan spy, Elissa Rostova adalah tamu dari Nona Kane."
"Silahkan pergi, lakukan tugas kalian kembali!"
Merasa ada sedikit kesalahpahaman di sini, mereka pun melepaskan Chai Tea yang sempat disangka sebagai paparazi dari musuh. Tapi hukuman tetap berlaku sebab perihal memotret tanpa izin.
Sebagai tanda jera, mereka tetap menyita kamera tersebut agar Chai Tea tidak mengulanginya lagi. Barulah para pria itu pergi dari sana sesudah menundukkan sedikit kepala pada Siren.
Meski sudah selesai, tapi Chai Tea sedikit syok, ia terduduk dengan wajah muram, lalu memandangi kedua tangannya yang dipenuhi pasir. Chai Tea ingin sekali kembali ke rumahnya karena sudah terlalu lelah, bukan liburan seperti ini yang ia inginkan.
Menjadi orang susah membuat dirinya beberapa kali ditindas dan hanya bisa pasrah tak berdaya untuk melawan. Berbeda dengan versi dirinya yang dahulu, Chai Tea yang merasa tidak senang akan menampar segepok uang ke wajah orang yang berani mengejeknya.
Memiliki uang yang banyak mampu membuat orang lain tak berani melawan kehendaknya. Kini ia hanya bisa berdiam diri meratapi nasibnya yang selalu saja membuat kekacauan tanpa ada habisnya.
Bahkan sialnya kamera mahal yang baru saja ia beli pun hilang dari tangan, Chai Tea merasa rugi karena lebih baik ia jual saja kamera itu daripada harus disita, terlebih lagi ia juga gagal mendapatkan uang tambahan dari hasil jepretannya.