NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 2

Beginning And End Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Misteri / Cintapertama / Balas Dendam / Romansa Fantasi / Anime
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan dari Beginning And End.

Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.

Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.

Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.

Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30 : End In a Beginning.

Beberapa menit kemudian, Danton dan Rinne hampir tiba di lokasi yang telah Reina berikan. Lampu-lampu neon yang berwarna-warni memantul di wajah mereka, menciptakan ilusi kegembiraan di tengah malam yang kelam. Danton menyeringai lebar, membayangkan tumpukan uang yang akan segera ia dapatkan, cukup untuk membeli pulau pribadi dan menghilang dari peradaban. "Keponakanku..." ucapnya dengan nada penuh semangat, merangkul Rinne dengan erat. "Kita sebentar lagi akan kaya... hahaha..."

Rinne, dengan rambut panjangnya berwarna putih dan gradasi biru muda dan ungu muda yang indah, menatap Danton dengan mata berbinar, namun ada sedikit keraguan yang tersembunyi di balik senyumnya. "Wah..." ucapnya dengan suara riang, namun sedikit dipaksakan. "Paman juga sangat senang ya..."

Tiba-tiba, Rinne yang sedari tadi melirik ke arah jajanan kaki lima, berhenti di depan sebuah gerobak yang menjual makanan Rusia. Aroma roti yang baru dipanggang, sup hangat, dan kopi yang harum menusuk hidungnya, membuatnya menelan ludah. Ia bisa merasakan perutnya keroncongan, dan ia tidak bisa menahan diri lagi. Danton menyadari ketertarikan Rinne dan berkata dengan nada menggoda, "Apakah kamu mau, Rinne?"

Rinne mengangguk dengan antusias, matanya memohon. "Iya..." ucapnya dengan nada memohon, menarik-narik lengan Danton. "Aku akan membelinya untuk paman dan Nona Edna... Paman duluan aja sana..."

Danton mengusap kepala Rinne dengan sayang, namun matanya memancarkan ketidaksabaran. Ia ingin segera sampai di lokasi dan mendapatkan uangnya. "Baiklah, keponakanku..." ucapnya dengan nada sedikit memaksa. "Jangan lama-lama..."

Rinne mengangguk dan berlari ke arah jalanan kaki lima itu, meninggalkan Danton sendirian di tengah keramaian. Setelah Rinne sampai, ia terkejut melihat bahwa yang menjaga jajanan tersebut adalah Mike dan Helena. Mereka berdua tampak ramah dan menyambutnya dengan senyuman yang tulus.

"Wah..." ucap Rinne dengan nada kagum, matanya berbinar melihat berbagai macam makanan Rusia yang lezat. Ia menunjuk ke setiap hidangan dengan jari telunjuknya. "Sepertinya enak ya... Kakak-kakak... Berapa harga roti isi ini dan kopi cappucino ini... Wah... lalu sup hijau ini juga berapa harganya!"

Mike, dengan sopan santun yang dibuat-buat, menjawab dengan senyuman yang menawan. "Ini semua gratis untuk pembelian pertama... Karena kami berdua dari Rusia dan sepertinya makanan kami juga banyak diinginkan oleh orang Jepang..."

Rinne mengangguk dengan antusias, matanya berbinar. "Iya! Aku melihatnya di televisi dan menonton film orang barat... Memangnya makanan orang barat tak nasi ya sebagai makanan pokok?"

Helena menjawab dengan ramah, mengusap kepala Rinne dengan lembut. "Kamu benar gadis manis... Orang barat mengonsumsi roti dan gandum sebagai makanan pokok mereka..."

Rinne dengan mata berbinar berkata, "Wah... aku tidak percaya akan mencoba makanan orang luar yang sangat lezat ini... Gratis pula!! Baiklah... aku pesan yang aku sebutin tadi dan masing-masingnya tiga buah ya!"

Mike dan Helena mulai membuat pesanan Rinne dengan cekatan, gerakan mereka terkoordinasi dengan sempurna. Sementara itu, Helena menekan tombol kecil di bawah meja, memberikan isyarat kepada Reina bahwa jebakan untuk mengalihkan Rinne sementara telah selesai.

Di tengah-tengah gudang yang luas dan gelap itu, Reina berdiri dengan tegar, tubuhnya tegang seperti busur yang siap dilepaskan. Matanya menyala dengan tekad dan amarah, namun ada sedikit keraguan yang tersembunyi di balik tatapannya. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar kencang di dadanya, dan tangannya mengepal erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan mengendalikan emosinya, namun sia-sia.

"Baiklah..." gumamnya pelan, suaranya bergetar karena amarah yang tertahan dan dendam yang membara. "Aku akan siap-siap... untuk membunuh pengacau kehidupan lamaku dengan Kei, Hanna, Kenzi, Lynn, Andras, Yumi, Emi.... dan yang lainnya... semuanya..."

Reina menatap langit-langit gudang yang tinggi dan gelap, bayangan masa lalu menari-nari di benaknya. Ia bisa melihat wajah teman-temannya yang telah menjadi korban kejahatan Danton, wajah mereka penuh dengan kesakitan dan ketakutan. "Aku akan membalas dendam kalian semua..." bisiknya dengan suara penuh tekad, air mata mulai mengalir di pipinya.

Beberapa menit kemudian, Danton telah tiba di depan gerbang gudang yang tampak usang dan menyeramkan, seperti mulut neraka yang siap menelannya. Ia menelan ludah dengan susah payah, jakunnya bergerak naik turun dengan gugup, merasakan firasat buruk yang tiba-tiba menghantuinya, merayapi tulang belakangnya seperti es yang membekukan setiap sarafnya. Alice, yang melihat dari monitor di helikopter yang terbang di atas gudang, berkata kepada Reina melalui earphone dengan nada tegang dan mendesak, "Reina... target telah memasuki gudang..."

Reina, yang berdiri di tengah kegelapan gudang yang luas dan dingin, dengan jantung berdebar kencang seperti genderang perang yang siap meledak, menjawab dengan suara dingin dan penuh tekad, namun ada sedikit getaran yang tidak bisa ia sembunyikan, mengkhianati emosi yang berkecamuk di dalam dirinya, "Sekarang!! Tutup gudangnya dan kunci dengan rapat!!"

Saat Danton melangkah masuk ke dalam gudang, pintu besi besar itu otomatis tertutup dengan suara bergemuruh yang memekakkan telinga, seperti pintu penjara yang menutup rapat di belakangnya, mengubur semua harapan untuk melarikan diri. Ia terkejut dan panik, matanya membulat karena ketakutan, mencoba membuka pintu itu dengan sekuat tenaga, mendorong dan menendang pintu besi itu dengan sia-sia. Namun, pintu itu tetap kokoh dan tidak bergerak sedikit pun. Pintu itu terkunci rapat dengan sistem monitor milik Alice, yang mengendalikan segalanya dari kejauhan, seperti dewi kematian yang sedang memainkan takdirnya. Alice berkata kepada Jimmy dan Alisiya melalui earphone dengan nada sinis dan sadis, "Kalian berdua, sekarang!! Putar musik elegan Reina dan rekaman suara Reina!!"

Alisiya dan Jimmy, yang berada di helikopter, segera memutar alunan instrumen khas Reina yang melankolis dan menghantui, memenuhi gudang itu dengan suasana yang mencekam dan menakutkan. Alunan biola yang merdu bercampur dengan dentingan piano yang dingin, menciptakan simfoni kematian yang sempurna, membuat bulu kuduk Danton meremang. Kemudian, suara rekaman dari Reina terdengar, mengucapkan kata-kata yang dingin dan penuh dendam, seperti bisikan iblis di telinga Danton, "Aku akan membalaskan nya... Aku akan membalaskan nya... Aku akan membalaskan nya..."

Danton semakin panik, keringat dingin mulai membasahi dahinya, membasahi pakaiannya yang mahal, dan jantungnya berdebar semakin kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tidak berujung, di mana tidak ada jalan keluar dan tidak ada harapan. "Ada apaan ini..." gumamnya dengan suara bergetar, mencoba menenangkan diri, namun sia-sia. Tangannya gemetar saat merogoh saku jasnya, mencari ponselnya, namun ia teringat bahwa Reina telah mengambilnya. "Kenapa pintunya tiba-tiba dikunci, dan kenapa suara anak haram itu terdengar dari tadi... Dan alunan lagu ini... seperti alunan instrumen kesukaan anak haram itu..."

Tiba-tiba, lampu sorot menyala dengan tiba-tiba, menerangi Reina seorang yang masih mengenakan topeng kucing hitam yang elegan, menyembunyikan wajahnya yang penuh amarah dan dendam, namun matanya memancarkan kebencian yang membara. Danton melihat ke belakang dengan terkejut, lalu berjalan mendekati Reina dengan langkah ragu, kakinya terasa berat seperti dipenuhi timah, setiap langkahnya terasa seperti siksaan. "Nona Edna..." ucapnya dengan nada bingung dan sedikit takut, suaranya bergetar karena ketakutan yang luar biasa. "Ada apa ini... Kenapa pintunya dikunci... Dan setahuku... rambut nona berwarna putih?"

Reina tertawa lepas dengan suara Edna yang dibuat-buat, namun ada nada sinis dan mengejek yang tersembunyi di dalamnya, membuat bulu kuduk Danton meremang dan membuatnya menggigil ketakutan. Ia bisa merasakan aura kematian yang menguar dari Reina, membuatnya semakin panik. "Oh... hahaha... Papa... Papa... Kamu sangat bodoh sekali ya..."

Danton terkejut dan pucat pasi, matanya membulat karena ketakutan yang luar biasa, seperti melihat hantu di siang bolong. Ia mundur selangkah, kakinya gemetar, dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. "S... siapa kau..." ucapnya dengan suara bergetar, nyaris tidak terdengar, seperti bisikan angin. "Papa... apa maksudnya itu..."

Reina mendengus jijik, lalu berkata dengan nada merendahkan dan penuh kebencian, "Cih... aku lupa melepaskan topeng ini." Dengan gerakan anggun dan mematikan, Reina melepaskan topeng kucing itu dan melemparkannya ke atas, membiarkannya berputar-putar di udara sebelum jatuh ke lantai dengan suara gemerincing yang memekakkan telinga. Suara rekaman dan alunan musik Reina masih mengalun memenuhi gudang itu, menciptakan suasana yang semakin mencekam dan menakutkan, membuat Danton merasa seperti berada di neraka. Mata Danton membulat karena tidak percaya, ketakutan menyelimuti dirinya seperti selimut yang dingin dan menyesakkan, membuatnya tidak bisa bernapas dan berpikir jernih.

Reina berkata dengan nada dingin dan penuh dendam, menatap Danton dengan tatapan yang menusuk jiwa, seperti pisau yang mengiris jantungnya, "Hai Papa... Aku anak harammu loh... Bukan hantu... tapi aku asli..."

Danton mundur selangkah lagi, kakinya semakin bergetar, dan wajahnya pucat seperti mayat yang baru keluar dari kubur. Ia merasa seperti mimpi, namun ia tahu bahwa ini adalah kenyataan yang mengerikan. "Kau!!... B... bukannya... k... kau sudah mati..." ucapnya dengan suara tercekat, nyaris tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Air mata mulai mengalir di pipinya, mencampur dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya. "Apa-apaan ini... Kau... seharusnya mati!! Kenapa kau masih hidup!!!"

Reina menepuk-nepuk tangannya dengan nada mengejek, lalu mulai menari dengan gerakan yang anggun dan mematikan, seperti penari balet yang sedang mempersiapkan diri untuk membunuh. Setiap gerakannya

Tentu, ini kelanjutan cerita Anda:

Reina menepuk-nepuk tangannya dengan nada mengejek, lalu mulai menari dengan gerakan yang anggun dan mematikan, seperti penari balet yang sedang mempersiapkan diri untuk membunuh. Setiap gerakannya memancarkan aura kematian yang membuat Danton semakin ketakutan. "Wah, wah, wah... Papa lupa ya... Aku ini masang imortal dengan freeze, lalu makai item rose gold loh..."

Reina berhenti bercanda dan menyebutkan item-item dari game mobile legends, lalu berkata dengan nada dingin dan menusuk, menatap Danton dengan tatapan yang penuh kebencian, "Yaa... aku masih hidup... Bang Reiz dan Tia membawaku ke Rusia setelah aku beberapa menit tak bernyawa... Lalu jantungku telah diubah menjadi jantung robot... Sangat keren bukan!!" Reina menyeringai sinis, lalu mengetuk dadanya dengan jari telunjuknya. "Tidak ada lagi cinta dan kasih sayang di sini... Hanya ada kebencian dan dendam..."

Danton mundur selangkah lagi, kakinya semakin bergetar, dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, membuatnya menggigil ketakutan. Ia merasa seperti berada di neraka, di mana iblis sedang mempermainkannya. "Kau... mengapa... mengapa!!" ucapnya dengan suara putus asa, seperti orang yang tenggelam dan tidak bisa meraih apa-apa. Air matanya mengalir semakin deras, membasahi wajahnya yang pucat.

Reina tertawa kembali, tawa yang dingin dan menusuk seperti pisau yang mengiris kulit, lalu duduk di kursi kayu yang reyot dengan gaya yang angkuh dan merendahkan, seperti ratu yang sedang menghakimi rakyatnya. Ia menyilangkan kakinya dengan elegan, lalu menatap Danton dengan tatapan yang merendahkan. "Aduh aduh... Kenapa Papa... sampai bergetar begitu... Padahal ga ada gempa loh..."

Reina berdiri dengan gerakan tiba-tiba, lalu berkata dengan nada serius dan penuh tekad, menatap Danton dengan tatapan yang penuh kebencian dan dendam, "Kei... Hanna... Kenzi... Lynn dan semuanya masih belum tahu bahwa aku masih hidup." Ia menatap lampu sorot yang menerangi dirinya, matanya berkaca-kaca, namun air mata itu tidak jatuh, karena hatinya telah membeku menjadi es. "Hah... sepertinya ini takdirku... Mama sudah meninggal... dan dunia memberikan aku kesempatan..."

Dengan gerakan cepat dan mematikan, Reina mengeluarkan pisau panjang dari saku rok gaun hitamnya yang elegan. Pisau itu berkilauan di bawah cahaya lampu, memancarkan aura kematian yang membuat Danton semakin ketakutan. Reina mengangkat pisau itu tinggi-tinggi, lalu menatap Danton dengan tatapan yang penuh kebencian dan dendam.

"UNTUK MEMBUNUH MU!! DANTON!!" teriaknya dengan suara yang menggema di seluruh gudang.

Dengan gerakan cepat dan mematikan, Reina mengeluarkan pisau panjang dari saku rok gaun hitamnya yang elegan. Cahaya lampu yang redup memantul pada bilah pisau, menciptakan kilauan yang menakutkan, seolah pisau itu sendiri haus akan darah. Reina mengangkat pisau itu tinggi-tinggi, lalu menatap Danton dengan tatapan yang penuh kebencian dan dendam yang membara, matanya menyala seperti bara api. "UNTUK MEMBUNUH MU!! DANTON!!" teriaknya dengan suara yang menggema di seluruh gudang, memecah kesunyian yang mencekam.

Reina tidak menunggu lama, ia melemparkan pisau itu dengan gerakan cepat dan terarah, mengincar paha Danton dengan presisi yang mematikan. Danton yang panik, terkejut dengan kecepatan serangan Reina, tak sempat menghindar. Pisau itu menancap dalam di pahanya, menembus daging dan ototnya dengan mudah. Ia berteriak kesakitan, suaranya memilukan dan penuh penderitaan, "Sakit!!!"

Reina berjalan mendekat dengan langkah pelan dan tenang, seringai sinis menghiasi wajahnya yang cantik namun mematikan. Setiap langkahnya mendekatkan Danton pada kematian. "Hahaha... sakit kata kau!!" ejeknya dengan nada mengejek yang merendahkan, suaranya dingin seperti es. "Lalu apa yang telah kau perbuat satu tahun yang lalu denganku... menculikku lalu kau dan Alexander memasukkan zat ke dalam nadiku... itu lebih menyakitkan!! Kau merenggut kebebasanku, kau menghancurkan hidupku!!" Reina semakin mendekat ke arah Danton, kepalan tinjunya telah siap dilayangkan, siap menghantam wajahnya dengan kekuatan penuh.

Danton yang ketakutan mencoba berlari sekuat tenaga, namun kakinya terasa berat dan sulit digerakkan karena luka di pahanya. Rasa sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia terhuyung-huyung mencoba menjauhi Reina, namun Reina dengan cepat menendang sebuah box kayu yang menghalangi jalannya. Danton tersandung dan hampir terjatuh, namun ia berhasil menyeimbangkan diri dengan susah payah.

"Untuk apa kau kabur, Papa!!" teriak Reina dengan nada mengejek yang kejam, matanya menyala dengan amarah yang membara, seperti api neraka yang siap membakar segalanya. "Tidak ada jalan keluar di sini!! Kau terjebak bersamaku!! Kau akan membayar semua perbuatanmu!!"

Danton yang putus asa berteriak histeris sambil menarik pisau yang masih menancap di pahanya. Darah segar mengalir deras dari lukanya, membasahi celananya dan lantai di sekitarnya. Rasa sakit yang luar biasa membuatnya kehilangan akal sehat. "Diam!! Diam kau!!" teriaknya dengan suara bergetar, lalu dengan sisa tenaganya ia naik ke atas box tinggi itu dan melemparkan pisau itu ke arah Reina, berharap bisa menghentikannya.

Namun, lemparan Danton tidak akurat, menunjukkan keputusasaannya. Bukannya melukai Reina, justru Reina dengan gerakan cepat dan terampil menangkap gagang pisau itu dengan tanganNya, seolah ia telah melatih gerakan itu selama bertahun-tahun. Ia tersenyum sinis, bibirnya melengkung membentuk seringai yang menakutkan, lalu berkata dengan nada mengejek yang merendahkan, "Wah... Papa baik sekali... Makasih ya sudah ngasih pisau untuk membunuhmu..."

Dengan gerakan cepat dan kuat, Reina menendang box itu dengan sangat keras, membuat Danton kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembab ke tanah dengan suara keras. Tubuhnya menghantam lantai dengan brutal, membuatnya mengerang kesakitan.

Danton yang terkapar di tanah, berusaha merangkak menjauhi Reina, namun kakinya terasa lemas dan tidak bisa digerakkan. Ketakutan terpancar jelas dari matanya, matanya membulat karena ngeri, dan ia berteriak dengan suara putus asa, memohon ampun, "Tolong!! Semuanya tolong!!"

Reina mendekat dengan langkah tenang, setiap langkahnya seperti langkah kematian yang semakin mendekat. Ia menatap Danton dengan tatapan dingin dan tanpa ampun, tidak ada sedikit pun rasa kasihan di matanya. Lalu, dengan gerakan yang sengaja diperlambat, Reina menginjak punggung Danton dengan kakinya.

"Ini untuk punggung Andras yang diinjak oleh Alexander!!" teriak Reina dengan nada penuh dendam yang membara, suaranya menggema di seluruh gudang, memenuhi ruangan dengan kebenciannya. Lalu, Reina menginjak punggung Danton dengan keras, memberikan tekanan yang luar biasa pada tulang belakangnya. Danton menjerit kesakitan, suaranya memilukan dan penuh penderitaan, namun Reina tidak peduli. Ia terus menginjak punggung Danton dengan keras, memuaskan dendamnya yang telah lama terpendam.

Reina yang amarah yang membara di dalam dirinya seperti api neraka yang siap membakar segalanya, menarik rambut Danton dengan kasar, membuatnya terduduk dengan paksa. Danton meringis kesakitan, air mata mengalir di pipinya, mencoba melepaskan cengkeraman Reina yang kuat, namun sia-sia. Reina menatapnya dengan tatapan penuh kebencian yang membara, matanya menyala seperti bara api, lalu berkata dengan suara keras dan penuh amarah yang menggema di seluruh gudang, "Ini untuk tendangan para bawahanmu yang dengan yakin menendang Hanna, sahabat kecilku!!! Kau tahu betapa berartinya dia bagiku!! Kau tahu betapa sakitnya melihatnya terluka!!"

Tanpa ampun, Reina menendang kepala Danton dengan sangat keras, kakinya mendarat dengan telak di wajahnya. Danton jatuh kembali ke tanah dengan suara keras, darah segar mengalir dari luka di kepalanya, mewarnai lantai gudang yang kotor. Ia mengerang kesakitan, mencoba melindungi dirinya, namun Reina tidak memberinya kesempatan.

Danton berusaha untuk berdiri, namun Reina dengan cepat mencekiknya dengan sangat keras, menghalangi napasnya dan membuatnya terbatuk-batuk. Ia mencengkeram tangan Reina, mencoba melepaskan cengkeramannya, namun sia-sia. Wajahnya memerah, matanya melotot, dan ia kesulitan bernapas. "Dan ini untuk rasa sakit hati Kei, kekasih kesayanganku yang hancur karena kematianku!! Kau tahu betapa kami saling mencintai!! Kau tahu betapa hancurnya dia saat aku pergi!!" ucap Reina dengan suara tercekat, air mata mulai mengalir deras di pipinya, mencampur dengan keringat dan darah.

Dengan gerakan cepat dan tanpa ampun, Reina menusuk pisau panjangnya ke perut Danton. Pisau itu menembus daging dan organnya dengan mudah, menciptakan luka yang mengerikan. Danton menjerit kesakitan, suaranya memilukan dan penuh penderitaan, menggema di seluruh gudang yang sunyi. Reina mencabut pisau itu dengan kasar, lalu melemparkan Danton ke tanah dengan agak jauh. Danton terkapar di tanah, memegangi perutnya yang berdarah, dan berkata dengan suara lemah dan putus asa, "Sakit!! Aduh!! Sakit sekali!!! Tolong!!"

Rinne, yang baru saja selesai berbelanja dan membawa kantong penuh jajanan untuk menyenangkan pamannya, tiba-tiba mendengar suara teriakan pamannya yang memilukan. Ia terkejut dan menjatuhkan kantong jajanan yang dibawanya, makanan dan minuman berhamburan di tanah. "P... paman!!" ucapnya dengan suara gemetar, air mata mulai mengalir di pipinya, lalu berlari sekuat tenaga ke arah gudang, hatinya dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran.

Rinne tiba di depan gerbang gudang yang terkunci rapat. Ia mengetuk gerbang baja tersebut dengan panik sambil menangis, memohon agar seseorang membukakan pintu. "Paman!! Ada apa!!! Buka pintunya!!" teriaknya dengan suara yang memilukan, air mata mengalir semakin deras di pipinya.

Danton, yang terbaring lemah di tanah, mendengar suara Rinne dan berteriak dengan sisa tenaganya, berharap Rinne bisa menyelamatkannya. "Rinne, lari!! Panggil Khaou!! Jangan mendekat!!"

Namun, Rinne tidak mempedulikan perkataan Danton. Ia tahu bahwa pamannya dalam bahaya, dan ia tidak bisa meninggalkannya. Ia mencari celah untuk melihat ke dalam gudang, memanjat tumpukan barang yang ada di dekat gerbang dan melihat ventilasi. Ia terkejut melihat pisau yang tertancap di perut Danton, darah segar mengalir deras dari lukanya. Ia berteriak dengan histeris, "Paman!!! Lari!! Selamatkan diri!!" Lalu, ia seketika terkejut melihat Reina yang masih hidup, berdiri di dekat Danton dengan pisau berlumuran darah di tangannya. "Kak Reina... hei Reina... JANGAN BUNUH PAMAN KU.... JANGAN!!!!"

Reina, yang mendengar teriakan Rinne, tidak peduli. Ia terus berjalan mendekat ke arah Danton, tatapannya kosong dan tanpa ekspresi, seolah ia tidak melihat atau mendengar apa pun. "Kehidupanku... yang dulunya dipenuhi tawa dan kebahagiaan, Kei yang selalu mencintaiku dan membuatku merasa istimewa... Andras yang selalu menasehati dan mengajariku disiplin, membimbingku di jalan yang benar... Hanna yang menjagaku dan melindungiku, selalu ada untukku... dan Emi yang selalu mengajariku memainkan alat musik, membuatku jatuh cinta pada musik... semuanya hilang..." ucap Reina dengan suara lirih dan kosong, air mata mengalir semakin deras di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat. "Hilang setelah kejadian satu tahun yang lalu... Kau merenggut segalanya dariku..."

Reina memandang Danton dengan tatapan dingin dan tanpa ampun, seolah Danton hanyalah serangga yang menjijikkan di matanya. Tidak ada sedikit pun rasa kasihan atau penyesalan yang terpancar dari wajahnya. "Papa tahu... itu rasanya sakit sekali..." ucapnya Dengan suara bergetar, namun ada nada sinis yang tersembunyi di dalamnya. Air mata terus mengalir di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat, namun ia tidak menghapusnya, membiarkannya mengalir seperti sungai yang melambangkan kesedihannya yang tak berujung. "Kau merenggut orang-orang yang kucintai, kau menghancurkan hidupku, kau membuatku menderita... Sekarang, giliranmu merasakan penderitaan yang sama..."

Reina menekankan pisau itu lebih dalam ke perut Danton, memberikan tekanan yang luar biasa pada lukanya. Danton menjerit kesakitan, suaranya memilukan dan penuh penderitaan, menggema di seluruh gudang yang sunyi. Rinne yang melihat kejadian itu dari ventilasi berteriak histeris, air mata mengalir deras di pipinya, "REINA!!! JANGAN!!! KUMOHON, HENTIKAN!!!"

Reina tidak menghiraukan teriakan Rinne. Ia sudah terlalu jauh untuk kembali. Ia menatap Danton dengan tatapan kosong, seolah jiwanya telah meninggalkan tubuhnya. Lalu, ia berkata dengan suara lirih, namun setiap kata yang diucapkannya mengandung racun yang mematikan, "Kenapa... kenapa... kenapa kau hancurkan kehidupanku!! Aku tidak pernah meminta apa pun darimu. Aku hanya ingin hidup bahagia bersama orang-orang yang kucintai. Kalau kau mau menjalankan bisnis ini, silahkan!! Aku juga tidak peduli!! Asalkan... asalkan kau tidak merenggut kehidupan indahku bersama Kei, cinta sejatiku!!! Kau tahu betapa kami saling mencintai, kau tahu betapa hancurnya aku saat dia pergi..."

Reina menangis terisak-isak, tubuhnya bergetar hebat karena emosi yang meluap-luap. Air matanya membasahi wajahnya, membasahi pakaiannya, bahkan menetes ke lantai gudang yang kotor. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menahan rasa sakit yang tak tertahankan di hatinya, namun sia-sia. "Papa... teganya kau... teganya kau!!!" ucapnya dengan suara lirih, penuh kepedihan dan kekecewaan.

Reina semakin menekankan pisau itu ke perut Danton, memberikan tekanan yang luar biasa pada lukanya. Danton merintih kesakitan, tubuhnya kejang-kejang di tanah. Darah segar mengalir deras dari lukanya, membasahi pakaiannya dan lantai di sekitarnya, menciptakan genangan darah yang mengerikan.

"Mama telah tiada..." ucap Reina dengan suara bergetar, air mata terus mengalir di pipinya, seolah air mata itu tidak akan pernah habis. "Aku tak sempat melihat wajahnya yang terakhir kalinya, mewujudkan cita-citaku sebagai dokter dan membahagiakan Mama... Aku ingin membuatnya bangga... Mama... Mama... maafkan aku, Mama... aku tak sempat membahagiakanmu dan membalas semua kebaikanmu... aku anak yang jahat kan, Mama... Aku telah mengecewakanmu..." Reina menatap langit-langit gudang yang gelap dan kotor, seolah mencari sosok ibunya di sana, berharap ibunya bisa melihatnya dan memaafkannya.

Danton, dengan suara yang serak dan lemah, mencoba berbicara, namun setiap kata yang diucapkannya terasa seperti siksaan. "Reina... kau..."

Reina dengan cepat menancapkan pisau itu lebih dalam ke perut Danton, membungkam suaranya untuk selamanya. Ia tidak ingin mendengar apa pun lagi dari Danton. Ia hanya ingin Danton merasakan penderitaan yang sama seperti yang ia rasakan. "SIAPA YANG NYURUH KAU BERBICARA!!!" teriaknya dengan suara penuh amarah dan kepedihan, suaranya menggema di seluruh gudang yang sunyi.

Danton menjerit kesakitan, tubuhnya kejang-kejang di tanah, lalu terdiam. Rinne yang melihat kejadian itu dari ventilasi memukul-mukul ventilasi itu dengan putus asa, air mata mengalir deras di pipinya, dan ia berteriak dengan suara yang memilukan, "REINA!! SUDAH CUKUP!! AKU MOHON!! JANGAN RENGGUT KELUARGA SATU-SATUNYA YANG KUMILIKI!!!"

Reina, dengan tatapan dingin dan tanpa emosi yang terpancar dari matanya, kembali berkata, suaranya datar dan tanpa nada yang menunjukkan penyesalan sedikit pun, "Lihatlah... ponakanmu menyaksikan kematianmu yang sebentar lagi akan ku ambil... betapa ironisnya takdir ini mempermainkan kita." Ia menunjuk ke arah ventilasi tempat Rinne bersembunyi, di mana air mata terus mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat karena ketakutan dan kesedihan. "Padahal... di saat Rinne pergi menemui aku dan Yumi... aku selalu menguatkannya untuk tidak mempercayaimu karena kau itu sangat licik dan penuh dengan kebohongan... aku tidak mau Rinne dikelilingi orang seperti kalian... aku tidak mau dia menjadi korban manipulasi dan kebohongan kalian... tapi semua nya sia sia...dia juga ikut menolong mu dalam penyerangan gudang yang dilakukan oleh Kei dan semua keluarga SMA Kyoko dan SMA Terinis... aku tidak membenci nya... karena aku tahu Rinne telah di hasut oleh kau!! Kau telah meracuni pikirannya dengan kebohongan dan manipulasi, membuatnya melakukan hal yang seharusnya tidak dia lakukan!!"

Dengan amarah yang meluap-luap seperti gunung berapi yang siap meletus, Reina memukul wajah Danton dengan keras, tinjunya mendarat dengan telak di wajahnya. Danton terhuyung ke belakang dan terbaring tak berdaya di tanah, darah segar mengalir dari hidung dan mulutnya. Rinne menangis histeris, memohon agar Reina menghentikan aksinya yang mengerikan, "Sudah cukup... Reina... CUKUP!!! Aku mohon, jangan lakukan ini lagi!! Hentikan semua ini!!"

Reina berdiri tegak, tubuhnya bergetar hebat karena emosi yang berkecamuk di dalam dirinya seperti badai yang dahsyat. Ia menatap sekelilingnya dengan tatapan kosong dan hampa, seolah jiwanya telah meninggalkan tubuhnya. Lalu, ia berkata dengan suara yang menggema di seluruh gudang yang sunyi dan mencekam, "Semua nya!! Dendam kalian telah ku balaskan!! Kematian Danton akan segera di laksanakan... Aku akan mengakhiri semua ini!! Aku akan mengakhiri lingkaran setan ini!!"

Reina berjalan mendekat ke arah Danton dengan langkah pelan dan pasti, setiap langkahnya mendekatkan Danton pada kematian yang tak terhindarkan. Ia berjongkok di dekat Danton, menatapnya dengan tatapan dingin dan tanpa belas kasihan, seolah Danton hanyalah sampah yang tidak berharga. "Ada kata kata terakhir.... Hasane Danton? Sebelum kau menghembuskan napas terakhirmu dan pergi ke alam baka?"

Danton, dengan suara yang serak dan lemah, mencoba berbicara, setiap kata yang diucapkannya terasa seperti siksaan yang menyayat hatinya. "Reina... kau menganggap kehidupan ini selalu bahagia dan penuh dengan kesenangan... tapi kau salah... di jalan... ke... depan nya... kau akan merasakan rasa sakit mencari uang dan berjuang untuk bertahan hidup... dan kau terlalu be... senang senang dan terlena dengan kemewahan... kau seharusnya menjauhi keluarga Haruto dan tidak dekat dengan Kei... kau masih kekanak-kanakan untuk menghadapi dunia yang kejam ini... huhu... Reina... sampai kapan kau akan seperti ini dan terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu... padahal setelah mendengar kematian mu... aku tidak akan menganggu sahabat dan pacar mu... karena dendam ku telah terbalas karena mendengar kematian mu... Aku telah merelakan segalanya..."

Reina mengangguk pelan, air mata terus mengalir di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat dan dingin. "Kau berkata seperti itu... ya itu memang benar... tapi berdasarkan survei ku dan informasi yang telah aku kumpulkan... mereka akan membalas beberapa kali lipat untuk menjatuhkan kalian semua dan menghancurkan segalanya yang telah kalian bangun... lebih baik... aku saja yang menyelesaikan nya dan mengakhiri semua ini, aku rela tidak bertemu dengan mereka dan mengorbankan kebahagiaanku supaya mereka tidak merasakan luka dan penderitaan ini... biar kan tangan ku yang menghancurkan kau dan menghancurkan semua kejahatanmu... biar lah tangan ku berlumuran darah dan dosa... ini semua... demi mereka... dan Mama... Aku rela mengorbankan segalanya demi melindungi mereka dari kejahatanmu..."

Danton tertawa kecil, suaranya serak dan lemah, namun ada nada sinis yang tersembunyi di dalamnya. "Huhu... ternyata kau sudah bisa berpikir seperti orang dewasa yang haus dengan balas dendam dan tidak ragu untuk melakukan apa pun demi mencapai tujuanmu... itulah salah satu hal yang ku takuti dari dulu... Kau telah menjadi monster yang haus akan darah dan tidak akan berhenti sampai kau mendapatkan apa yang kau inginkan..." Lalu, Danton melihat ke arah Rinne yang masih menangis histeris melihat Danton dari ventilasi, air mata terus mengalir di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat dan ketakutan. Dengan sisa tenaganya, Danton berkata, "Rinne... aku akan pergi... selamatkan diri mu dan pergilah dari sini... tinggal kan aku bersama anak kandung ku ini... Jangan biarkan dirimu terjerumus ke dalam kegelapan yang sama dan menjadi korban balas dendam yang tak berujung..."

Rinne menggelengkan kepalanya dengan keras, air mata terus mengalir di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat dan ketakutan. "Tidak paman... jangan berkata seperti itu... aku mohon... Jangan tinggalkan aku sendirian di dunia yang kejam ini..."

Danton kembali melirik Reina, lalu berkata dengan suara yang semakin lemah dan hampir tidak terdengar, "Reina... mendekat lah..."

Danton mengulurkan tangannya yang berlumuran darah dengan gemetar, lalu mengelus pipi Reina dengan lembut, seolah ia sedang membelai seorang anak kecil yang polos dan tidak berdosa. Sentuhan lembut itu kontras dengan kekejaman yang baru saja terjadi, menciptakan suasana yangIronis dan menyayat hati. "Kulitmu masih sama seperti di saat waktu kecil... di saat aku melarang kamu dan Kei bertengkar karena masalah sepatu, aku mencubit pipimu yang masih lembut dan chubby... ternyata kelembutan itu masih sama ya... Walaupun kau telah menjadi monster yang haus akan darah dan penuh dengan kebencian, aku masih bisa merasakan kelembutanmu di dalam dirimu... Aku tahu di dalam hatimu yang paling dalam, kau masihlah anak kecilku yang dulu..."

Reina hanya mengangguk pelan, air mata terus mengalir di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat dan dingin. Air mata itu adalah simbol dari penyesalan dan kesedihan yang mendalam, menunjukkan bahwa di balik kekejaman yang telah ia lakukan, masih ada sisi manusiawi di dalam dirinya. "Papa... itu aku yang dulu... bukan aku yang sekarang... Aku telah berubah menjadi orang yang berbeda, orang yang penuh dengan kebencian dan dendam yang telah membutakan hatiku..."

Danton tertawa lagi, suaranya semakin lemah dan hampir tidak terdengar, namun tawa itu mengandung nada pasrah dan penerimaan. "Aku tau... baiklah... akhiri hidupku sekarang... aku telah merelakan kematianku dan aku siap untuk menghadapinya... Reina... walaupun kau telah membunuhku dan aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu sepenuhnya... jangan sakiti Rinne... rangkul dia dan lindungi dia dari kejahatan dunia ini... dia butuh keluarga yang menyayanginya dan membimbingnya ke jalan yang benar... jangan biarkan dia melakukan hal sama yang telah kau lakukan kepada ku... Jaga dia, Reina... Lindungi dia dari kejahatan dunia ini dan berikan dia kebahagiaan yang tidak pernah kau dapatkan..."

Reina menunduk, air mata menetes ke lantai gudang yang kotor, menciptakan noda darah yang semakin memperburuk suasana yang mengerikan. Ia tidak berani menatap mata Danton, karena ia merasa malu dan bersalah atas apa yang telah ia lakukan. "Baiklah... Papa... wasiatmu akan aku pegang teguh dan aku akan melaksanakannya dengan segenap hatiku dan jiwaku... karena aku adalah anak kandungmu dan aku akan selalu menghormatimu sebagai ayahku... dan Papa... selamat tinggal... hidup tenang lah di sana bersama Mama dan yang lainnya... Semoga kau mendapatkan kedamaian yang abadi dan kebahagiaan yang tidak pernah kau rasakan di dunia ini..."

Danton tersenyum tipis, matanya perlahan-lahan tertutup, seolah ia telah menemukan kedamaian di saat-saat terakhirnya. Reina memegang gagang pisau tersebut yang masih menusuk perut Danton, dengan gerakan cepat dan tanpa ragu ia menggorok perut Danton sampai ke dada, mengakhiri hidupnya untuk selamanya dan membebaskannya dari penderitaan yang tak tertahankan. Danton telah mati, tubuhnya tergeletak tak bernyawa di lantai gudang yang kotor, dikelilingi oleh genangan darah yang mengerikan.

Rinne yang melihat kejadian itu dari ventilasi berteriak histeris, air mata mengalir deras di pipinya, membasahi wajahnya yang pucat dan ketakutan. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia saksikan. Pamannya, satu-satunya keluarga yang ia miliki dan yang selalu menyayanginya, telah dibunuh dengan brutal di depan matanya oleh Reina, orang yang pernah ia kagumi dan cintai seperti seorang kakak perempuan.

"TIDAK!!! PAMAN!!! JANGAN TINGGAL KAN AKU!! REINA!!! KAUU, KENAPA... KENAPA KAU MELAKUKAN INI!!!!" teriak Rinne dengan suara yang memilukan dan penuh dengan keputusasaan, suaranya menggema di seluruh gudang yang sunyi dan mencekam. Ia memukul-mukul ventilasi itu dengan putus asa, mencoba masuk ke dalam gudang untuk menyelamatkan pamannya atau setidaknya memeluknya untuk terakhir kalinya, namun sia-sia. Ia terjebak di luar, tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan kematian pamannya yang mengerikan dan tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya.

Reina melihat mata Danton yang masih terbuka, menatapnya dengan tatapan kosong dan tanpa ekspresi, seolah jiwanya telah meninggalkan tubuhnya. Reina menutup mata Danton dengan pelan, dia tidak merasa bersalah atau menyesal atas apa yang telah ia lakukan. Ia merasa puas dan lega karena telah membalaskan dendamnya dan mengakhiri penderitaannya. Danton pantas mendapatkan kematian ini, dan ia tidak menyesal telah menjadi algojonya.

Reina duduk di samping Danton dan dengan dingin menutupi mata Danton dengan tangannya yang berlumuran darah, seolah ia ingin menghapus semua kenangan buruk tentangnya. "Papa... kau pantas mendapatkan ini. Kau telah menghancurkan hidupku dan merenggut semua orang yang ku cintai. Aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu atas semua kejahatan yang telah kau lakukan. Beristirahatlah dengan tenang di neraka, Papa... Semoga kau merasakan penderitaan yang sama seperti yang kurasakan..." ucap Reina dengan suara dingin dan tanpa emosi, air mata yang mengalir di pipinya.

Reina berdiri dan menunduk, bukan karena ia menikmati penderitaan Rinne, melainkan karena ia tak sanggup melihat wajah adiknya yang hancur. Ia tahu, di balik kebencian yang akan terpancar dari mata Rinne, ada kesedihan yang mendalam, dan ia tak yakin bisa menahannya. Ia tak ingin melihat adiknya terluka, meski ia tahu, luka itu disebabkan olehnya.

Rinne berteriak dengan suara yang memilukan dan penuh dengan kebencian yang membara, tubuhnya gemetar karena amarah yang tak terkendali, "REINA!! AKU AKAN MEMBALAS KEMATIAN PAMAN KU!! AKU AKAN MEMBUNUH MU!! AKU AKAN MEMBUNUH MU KAKAK!! Kau akan membayar atas apa yang telah kau lakukan!! Aku bersumpah, aku akan membuat hidupmu menjadi neraka!!"

Reina semakin menunduk, air mata mulai membasahi pipinya. Ia tak ingin membalas tatapan Rinne yang penuh dengan amarah dan dendam, karena ia tahu, di balik tatapan itu, ada kekecewaan yang tak terhingga. Ia berjalan keluar dari gudang dengan langkah yang tenang dan pasti, seolah ia tidak peduli dengan ancaman Rinne, padahal hatinya hancur berkeping-keping. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia mengangkat pisau nya yang berlumuran darah ke arah ventilasi tempat Rinne bersembunyi, mata nya memancarkan kegelapan dan kepedihan yang tersembunyi, dan berkata dengan suara dingin dan mengancam, "Pergilah... Rinne... dan jangan pernah kembali. Jika kau kembali, aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu... demi kebaikanmu sendiri."

Rinne berteriak dengan histeris, air mata mengalir deras di pipinya, "TIDAK AKAN!!! TIDAK AKAN!!! Aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja. Aku akan membalas dendam!! Aku akan menghancurkanmu!!"

Reina yang tidak punya pilihan lain dan tidak ingin membunuh Rinne, namun juga tidak ingin Rinne menghalangi jalannya, melemparkan pisau itu ke arah ventilasi dengan sengaja tidak kena, karena ia hanya ingin menakuti Rinne dan membuatnya pergi. Rinne yang melihat pisau itu melayang ke arah nya, terjatuh dari tumpukan barang dan berteriak kesakitan, "Sakit... sakit... Aku akan membunuhmu, Reina!! Aku akan membuatmu menyesal telah lahir!!" Lalu, Rinne berdiri dan berlari sekuat tenaga menuju ke rumah nya sambil menangis histeris, hatinya dipenuhi dengan amarah, dendam, dan rasa sakit yang tak tertahankan.

Reina menatap Rinne yang telah pergi dengan tatapan kosong. Ia tidak merasa bersalah atau menyesal atas apa yang telah ia lakukan, namun hatinya terasa hancur dan kosong. Ia merasa bahwa ia telah kehilangan segalanya, termasuk adiknya sendiri.

Reina segera menghubungi Mike, Jimmy, Alice, Alisiya dan Helena melalui jam tangannya, suaranya datar dan tanpa nada, "Kalian, segera menuju ke helikopter... misi telah selesai... Kita akan segera pergi dari sini. Pastikan tidak ada jejak yang tertinggal... dan jangan pernah menyebut nama Rinne lagi."

Setelah itu, Reina berjalan ke arah bensin yang sudah dia sediakan sebelumnya, lalu menyirami tubuh Danton dengan bensin tersebut, memastikan bahwa ia akan terbakar habis dan tidak ada yang tersisa darinya. Ia ingin menghapus semua jejak Danton dari dunia ini, termasuk kenangan tentangnya. Kemudian, Reina menyalakan korek kayu dan melemparkannya ke arah tubuh Danton, dan api dengan cepat menyebar dan membakar tubuh Danton hingga menjadi abu.

Reina berjalan keluar dari gudang sambil menekan tombol di jam nya, dan pintu gudang itu terbuka secara otomatis. Ia tidak ingin berada di sana lebih lama lagi, karena ia merasa bahwa gudang itu telah tercemar oleh kematian Danton dan kesedihan Rinne.

Reina yang telah berada di luar, menyaksikan gudang itu telah terbakar hebat bersama mayat Danton di dalamnya. Api menjulang tinggi ke langit, menciptakan pemandangan yang mengerikan dan menakutkan, namun Reina hanya memejamkan matanya, tak sanggup melihatnya. "Selesai... semuanya selesai... Akhirnya, aku bisa membalas dendam atas kematian orang-orang yang ku cintai dan menghapus semua kejahatan Papa dari dunia ini. Tapi... dengan harga yang terlalu mahal," bisiknya lirih, air mata mengalir semakin deras di pipinya.

Reina berbalik dan berjalan menjauh dari gudang yang terbakar itu dengan langkah yang gontai, seolah ia membawa beban yang sangat berat di pundaknya. Ia tahu, ia telah kehilangan segalanya, termasuk adiknya sendiri. Ia telah menjadi monster yang menakutkan, dan ia tak tahu apakah ia pantas mendapatkan kebahagiaan lagi.

Saat Reina tiba di helikopter, Mike, Jimmy, Alice, Alisiya dan Helena sudah menunggunya dengan wajah khawatir. Mereka tahu, misi ini telah mengubah Reina menjadi orang yang berbeda.

"Apakah semuanya baik-baik saja, Reina?" tanya Mike dengan hati-hati.

Reina hanya menggelengkan kepalanya dan masuk ke dalam helikopter tanpa menjawab pertanyaan Mike. Ia duduk di dekat jendela dan menatap langit yang gelap, pikirannya dipenuhi dengan kesedihan dan penyesalan.

Helikopter itu lepas landas dan terbang menjauh dari gudang yang terbakar itu, meninggalkan Reina dengan semua luka dan traumanya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun ia bertekad untuk melanjutkan misinya dan menghancurkan bisnis narkoba Papa, meskipun ia harus menghadapi Rinne dan semua musuhnya sendirian.

Di dalam helikopter, Reina mengeluarkan sebuah foto dari sakunya. Foto itu adalah foto dirinya, Rinne, dan Yumi berdiri di atas pentas konser pembukaan mall baru, tersenyum cerah dan saling berpegangan tangan. Mereka bertiga terlihat bahagia dan bersinar, baru saja menyelesaikan lagu ciptaan mereka bersama. Reina menatap foto itu dengan tatapan sedih, air mata terus mengalir di pipinya. Kenangan akan kebersamaan mereka, kebahagiaan yang pernah mereka rasakan bersama, kini terasa begitu jauh dan tak mungkin terulang kembali.

"Maafkan aku, Rinne... Yumi," bisiknya lirih. "Aku melakukan ini untuk kebaikan kalian. Aku harap kalian bisa mengerti suatu hari nanti..."

Reina mencium foto itu dan menyimpannya kembali ke dalam sakunya. Ia memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur, namun pikirannya terus dihantui oleh kenangan tentang Danton, Rinne, dan Yumi. Ia tahu, ia tak akan pernah bisa melupakan masa lalu, namun ia harus terus maju dan berjuang demi masa depan, demi bisa menebus semua kesalahannya.

Saat helikopter itu mendarat di markas mereka, Reina keluar dari helikopter dengan wajah yang tegar dan tanpa emosi. Ia tahu, ia harus bersiap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar lagi. Ia adalah Reina, sang pembunuh bayaran yang tak kenal ampun, dan ia tak akan membiarkan siapa pun menghalangi jalannya.

Namun, di dalam hatinya yang paling dalam, ia tetaplah seorang kakak dan sahabat yang merindukan kebersamaan. Ia berharap, suatu hari nanti, ia bisa bertemu dengan Rinne dan Yumi dan meminta maaf atas semua kesalahannya. Ia berharap, suatu hari nanti, mereka bisa kembali bersama dan menciptakan lagu-lagu yang indah seperti dulu.

Namun, ia tahu, harapan itu hanyalah sebuah ilusi. Ia telah melakukan terlalu banyak kesalahan, dan ia tak tahu apakah ia pantas mendapatkan pengampunan. Ia hanya bisa berharap, suatu hari nanti, Rinne dan Yumi akan mengerti dan memaafkannya.

Reina menarik napas dalam-dalam dan berjalan menuju ke markas mereka, meninggalkan masa lalu di belakangnya. Ia harus fokus pada masa depan dan melanjutkan misinya, meskipun ia harus melakukannya sendirian. Ia adalah Reina, dan ia tak akan pernah menyerah.

...Chapter "End in a beginning"...

...Complete....

...----------------...

^^^New Chapter "Darkness After The Start"^^^

^^^Continued...^^^

1
Riri
ini bukan maha karya, ini sebuah wahyu yang di tulis dengan tinta jiwa dewa author 🤓🙀
secret: wihhh 😭🙏🙏
total 1 replies
Rezaa..
semoga season dua lebih bagus dari season satu... no momy Andras 😭
secret: gapapa... nanti Andras muncul lagi kok... tapi nunggu lama ya wkwkw
total 1 replies
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
secret: rasis dulu sebelum membantai /CoolGuy/
total 1 replies
esere
Serius... cerita ini walaupun panjang, tapi seru... karakter karakter nya unik sama narasi nya hidup gitu... pokok nya setia dari s1 🔥
secret: yoi dong 🤝
total 1 replies
esere
hampir kenak parani gara gara Reina mati 😭😭
secret: Dawg... mereka lansung putus asa baca waktu Reina mati 🤣
total 1 replies
Author Sylvia
semangat,moga rame yang baca/Smile/
secret: makasih ya author... kamu juga!!
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!