Desa Tirto Wening adalah sebuah desa yang ada di pelosok sebuah wilayah Kabupaten. Dipimpin oleh seorang pemimpin berdarah biru yang merupakan keturunan bangsawan keraton, desa itu terkenal dengan kemakmuran warganya.
Mahesa Narendra, pria tampan yang di gadang - gadang akan menjadi penerus kepemimpinan sang Ayah di Desa Tirto Wening, di minta untuk menikahi seorang gadis, putri dari sahabat Ayahnya.
Pak Suteja, sahabat sang Ayah, meminta Raden Mas Mahesa untuk menikahi putrinya yang bernama Anaya Tunggadewi. Semua itu Pak Suteja lakukan untuk melindungi putri semata wayangnya dari keluarga yang sedang memperebutkan harta waris.
Bagaimanakah romansa di antara keduanya?
akankah mereka berdua hidup bahagia?
apakah Anaya akan betah tinggal bersama suaminya di desa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GoodHand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Kebun Teh
Pagi - pagi, Raden Mas Mahesa mengajak Anaya untuk berjalan - jalan. Menikmati udara sejuk sambil melihat sekitar kebun mereka. Beberapa wanita tampak sudah mulai bekerja memanen pucuk daun teh.
Anaya memperhatikan cara para pekerja memanen pucuk daun teh itu. Dengan ramah, Anaya dan Raden Mas Mahesa bercengkrama bersama para pemanen pucuk teh.
Setelah puas mengobrol, mereka kembali berjalan menyusuri kebun teh. Sesekali, Raden Mas Mahesa diam - diam memotret Anaya dengan ponselnya.
Keberadaan Anaya dan Raden Mas Mahesa cukup mengundang perhatian dari pemetik teh yang belum mengetahui siapa mereka. Hal itu pasti karna Raden Mas Mahesa yang juga sangat jarang mengunjungi kebun teh.
"Kamu mau buah Murbey, Dek Ayu?" Tawar Raden Mas Mahesa saat melihat deretan pohon buah Murbey.
"Memangnya enak?" Tanya Anaya yang belum pernah melihat buat Murbey.
"Rasanya manis." Jawab Raden Mas Mahesa.
Raden Mas Mahesa kemudian memetik buah dari pohon yang tidak tinggi itu. Raden Mas Mahesa mulai menikmati buah Murbey yang tumbuh dengan lebat. Buah dengan warna kehitaman jika sudah masak itu, memang terasa sangat manis.
"Cobalah." Titah Raden Mas Mahesa.
Dengan jahilnya ia memberikan buah yang berwarna merah cerah pada Istrinya yang polos. Warna merah cerah, menandakan kalau buah itu belumlah masak.
"Aaarrrkkh! Asam sekali. Raden Mas mengerjai aku ya!" Seru Anaya saat mencicipi buah pemberian suaminya.
Raden Mas Mahesa tertawa geli melihat ekspresi Anaya yang keasaman.
"Maaf... Maaf... Coba yang ini, Dek Ayu." Raden Mas Mahesa kemudia memberikan buah yang berwarna kehitaman pada istrinya.
"Tidak mau. Pasti buah busuk." Tolak Anaya dengan bibir cemberut karena di kerjai suaminya.
"Mboten, Sayang. Ini buah yang sudah masak, memang warnanya kehitaman kalau sudah masak." Jawab Raden Mas Mahesa.
"Awas ya kalau bohong, aku liburkan jatah Raden Mas selama satu bulan." Ancam Anaya dengan tatapan sinis.
"Astaghfirullah, ancamanmu ngeri banget to, Dek? Mana bisa aku libur satu bulan? Menunggu kamu selesai haid yang gak lebih dari seminggu aja berat." Keluh Raden Mas Mahesa.
"Makanya jangan macam - macam." Sahut Anaya.
"Sendiko dawuh, Raden Ayu. Kulo nyuwun ngapunten, njih. (Siap jalankan perintah, Raden Ayu. Aku minta maaf, ya.)" Ujar Raden Mas Mahesa sambil mengatupkan kedua tangannya dan menempelkannya di dahi.
Anaya sendiri hanya bisa tertawa lirih melihat tingkah suaminya yang seperti Abdi Dalem sedang melakukan kesalahan.
"Ini cicipi, aku gak bohong kali ini." Ujar Raden Mas Mahesa sambil memberikan beberapa buah Murbey masak.
Dengan ragu, Anaya mencicipi buah Murbey kehitaman yang di berikan oleh suaminya. Benar saja, buah itu terasa sangat manis hingga Anaya menjadi ketagihan memakannya.
Raden Mas Mahesa tersenyum melihat istrinya yang menikmati buah Murbey seperti anak kecil. Anaya terus mengambil buah Murbey masak yang banyak menempel di dahan.
"Jangan terlalu banyak, Dek Ayu. Nanti kamu sakit perut." Raden Mas Mahesa mengingatkan istrinya.
"Ini masih sedikit kok, Raden Mas. Raden Mas gak mau makan buah ini lagi?" Ujar Anaya sambil memasukkan buah ke dalam mulutnya.
Raden Mas Mahesa meraih tengkuk Istrinya lalu melumat bibir sang Istri yang nampak sangat menggemaskan baginya. Ia pun turut mencicipi rasa manis buah Murbey yang ada di mulut Anaya.
"Raden Mas! Jangan ngawur, disini banyak orang." Ujar Anaya sambil memukul dada suaminya setelah Raden Mas Mahesa melepaskan ciumannya.
"Aku sedang mencicipi buah Murbey yang manis." Kekeh Raden Mas Mahesa dengan tanpa dosa.
"Sudah ayo, jangan banyak - banyak. Nanti kamu sakit perut." Raden Mas Mahesa menarik tangan istrinya dan membawa Anaya menuju ke aliran anak sungai kecil berada tak jauh dari deretan pohon Murbey.
Keduanya mencuci tangan mereka yang berbercak merah karena buah Murbey. Mereka juga membasuh wajah dengan air sungai yang begitu jernih.
"Wuuah! Segar sekali." Ujar Anaya setelah membasuh wajahnya. Mereka berdua kemudian duduk di tepi sungai sembari menikmati hangatnya sinar matahari pagi yang menerpa tubuh.
"Ternyata luas sekali kebun teh ini. Baru jalan sebentar saja sudah capek." Keluh Anaya sambil menyelonjorkan kakinya di atas rerumputan.
"Kita kesini, sebenarnya bukan hanya untuk liburan. Aku berencana memperluas kebun teh milikmu." Imbuh Raden Mas Mahesa sambil melihat hamparan kebun teh di hadapannya.
"Memangnya kebun teh ini ada yang mau di jual?" Tanya Anaya.
"Iya. Menurut info dari Pak Min, kebun yang berbatasan dengan milikmu, menuju ke arah timur. Itu semua mau di jual pemiliknya yang sedang butuh dana." Jawab Raden Mas Mahesa.
"Berapa luasnya, Raden?" Tanya Anaya.
"Sekitar dua puluh tujuh hektar." Jawab Raden Mas Mahesa yang membuat Anaya tercengang.
"Semuanya mau Raden Mas beli?" Tanya Anaya.
"Iya, atas namamu." Jawab Raden Mas Mahesa tanpa ragu.
"Kenapa tidak nama Raden Mas saja? Punyaku kan sudah sangat luas, tiga puluh hektar itu sudah lebih dari cukup." Kata Anaya yang berusaha menolak. Namun, Raden Mas Mahesa menggelengkan kepalanya.
"Aku memang berniat membelinya untukmu, Dek Ayu. Jangan menolak, Suamimu ini sedang memancing rezeki." Jawab Raden Mas Mahesa sambil mengusap kepala istrinya.
Anaya yang mengerti dengan maksud suaminya itu, akhirnya mengangguk pasrah menerima keputusan Raden Mas Mahesa. Toh uang yang ia dapatkan dari dua perkebunan pemberian Suaminya, bisa ia gunakan suatu saat jika Suaminya membutuhkan suntikan dana untuk Pabriknya.
...****************...
Di sore hari, Raden Mas Mahesa, Anaya, di temani Pak Min dan pemilik tanah, melihat - lihat tanah yang akan di beli oleh Raden Mas Mahesa.
Tak berjalan kaki, mereka mengendarai motor trail untuk menyusuri batas perkebunan yang akan di jual. Anaya sendiri tampak menikmati perjalanan mereka.
Sedari tadi ia tak banyak bicara, hanya mendengarkan obrolan antara Suaminya, Pak Min dan orang yang akan menjual tanahnya. Anaya hanya akan bersuara saat Suaminya itu meminta pendapatnya.
"Pripun, Pak Min? (Bagaimana, Pak Min?)" Tanya Raden Mas Mahesa yang meminta pendapat pada pria yang lebih paham mengenai perkebunan teh.
"Cukup bagus, Raden Mas. Tanamannya juga bagus, sepertinya rutin di pupuk dan perawatannya maksimal." Jawab Pak Min.
"Gimana, Sayang?" Raden Mas Mahesa meminta pendapat istrinya.
"Kalau menurut pakarnya bagus, Njih monggo kerso, Raden Mas." Jawab Anaya.
"Baiklah kalau begitu. Kita urus pembayaran sekaligus balik nama bersama notaris yang akan datang besok." Jawab Raden Mas Mahesa pada Bapak yang akan menjual kebun tehnya.
Anaya dan Raden Mas Mahesa kembali berjalan bersama Pak Min dan pemilik kebun teh. Si Pemilik menjelaskan banyak hal mengenai kebun teh miliknya. Mulai dari perawatan hingga penghasilan yang ia dapat perbulannya.
Saat sedang asyik mengobrol, netra Raden Mas Mahesa tak sengaja melihat ular yang ada di pohon teh, dekat Istrinya berdiri. Ular itu nampak bersiap mematuk, mungkin karna merasa terancam dengan keberadaan Anaya di sebelahnya.
"Raden Ayu! Awas ada ular." Seru Raden Mas Mahesa sambil melindungi lengan Istrinya.