" Apa maksud dari keluarga mu bicara seperti itu mas? Apakah aku kalian anggap orang asing selama ini? Apa bakti ku pada suami serta keluarga ini tidak berarti apa apa?" Ria berkata dengan suara yang bergetar karena menahan tangis.
Selama ini ia hanya dianggap orang asing oleh keluarga suami nya sendiri padahal dia lah yang selalu ada untuk suaminya ketika sedang terpuruk bahkan dia rela menjadi tulang punggung mencari rezeki demi sesuap nasi karena suami yang dicintainya di PHK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maharanii Bahar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Langit sore mulai merunduk, menyelimuti kota dalam semburat jingga yang sendu. Di dalam sebuah kafe mewah di pusat kota, Putri duduk anggun dalam balutan dress merah darah. Tapi di balik senyumnya, hati Putri panas membara.
Sudah hampir satu tahun sejak dia dipecat dari kantor Ria—secara mendadak, tanpa penjelasan yang dianggap adil. Dia masih ingat bagaimana Ria memanggilnya ke ruangannya, menatapnya tajam, lalu dengan suara tenang namun dingin berkata:
"Saya nggak bisa tolerir karyawan yang menyebarkan fitnah dan mengakses data pribadi atasan tanpa izin. Kontrak kamu saya putus hari ini, Putri."
Putri nyaris membanting meja waktu itu. Tapi dia hanya menunduk, menahan air mata. Harga dirinya hancur. Di depan semua staf, dia keluar dengan kepala tertunduk. Bukan karena rasa bersalah—tapi karena harga dirinya diinjak-injak.
Hari ini, dia duduk bersama Bu Lila, wanita tua elegan yang menyimpan ambisi sebesar gunung.
“Putri,” ucap Bu Lila sembari menyeruput teh, “Aku tahu kau punya dendam pribadi ke Ria. Aku juga punya urusan dengannya—dan dengan perempuan murahan itu, Winda.”
Putri menoleh cepat. “Winda? Bukannya dia lagi hamil, Bu?”
“Justru itu. Anak dalam kandungannya akan jadi pewaris keluarga kami… kalau dia memang benar hamil dari Riyan,” jawab Bu Lila dengan nada tajam. “Aku nggak percaya sepenuhnya. Lagipula, perempuan seperti Winda… terlalu gampang dimanipulasi. Dan terlalu berisik.”
Putri memutar cangkirnya pelan. Ia bisa mencium arah pembicaraan ini. Bu Lila tidak sedang bercerita—ia sedang merekrut.
“Apa yang Ibu inginkan dariku?”
Bu Lila tersenyum tipis. “Aku ingin dia tergelincir. Dan kamu yang bantu. Tidak usah sentuh dia langsung. Cukup giring dia ke arah yang salah.”
Putri menggigit bibir bawahnya. Otaknya bekerja cepat.
"Aku tahu Winda suka curhat di grup WhatsApp arisan. Kalau aku bisa dorong dia buat buka aib keluarga sendiri di situ… mungkin bisa digunakan melawan dia?"
“Bagus.” Bu Lila mengangguk pelan. “Buat dia terlihat tidak stabil. Kita bisa sebar screenshot ke Riyan. Aku akan pastikan anak itu—kalau memang anak Riyan—lahir di tempat yang lebih layak.”
Putri diam. Ia tahu ia sedang bermain api. Tapi jika ia berhasil… mungkin Bu Lila akan membantunya kembali masuk ke lingkaran kekuasaan. Mungkin... Julio akan memandangnya lagi.
Oh Julio… pikir Putri getir. Sahabat Ria itu pernah menolongnya ketika ia depresi karena dipecat. Tapi dia terlalu setia pada Ria. Bahkan saat Putri mengirim sinyal, Julio hanya membalas datar.
---
Sementara itu, di rumah keluarga Riyan, Winda duduk termenung di kamar tamu. Perutnya mulai terlihat membuncit, tapi pikirannya semakin tidak tenang. Sudah dua hari Riyan pulang larut dan tak menyentuh makanan. Bahkan pagi tadi, Riyan hanya melirik perut Winda tanpa satu kata.
“Dia makin jauh…” bisik Winda.
Sejak Ria kembali ke kehidupan mereka, Winda merasa ada yang berubah. Ia bisa menerima kenyataan Riyan punya masa lalu. Tapi tidak dengan sikap dingin dan tak acuh yang sekarang.
Ponselnya berdering. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal:
> “Hati-hati, suamimu disabotase ibunya sendiri. Jangan percaya siapa pun.”
Winda menegang. Tangannya gemetar. Siapa yang mengirim pesan ini? Apakah ini bentuk ancaman? Atau pertanda bahwa dia memang sedang dijebak?
Dia ingin mengadu pada Riyan. Tapi rasa takut membuatnya diam. Jika dia terlihat terlalu curiga, Riyan bisa makin menjauh.
---
Di sisi lain kota, Riyan sedang duduk di ruang kerja bersama ibunya. Tapi bukan untuk bicara hangat—melainkan sebuah sesi tekanan batin.
“Riyan, kamu yakin itu anakmu?” tanya Bu Lila tanpa basa-basi.
“Ibu, saya udah bilang… saya tanggung jawab.” Suaranya datar.
“Kau tanggung jawab untuk apa? Masa depan keluarga ini? Atau untuk perasaanmu sesaat?”
“Ibu—”
“Kau pikir aku akan membiarkan wanita kelas dua itu membesarkan anak dari garis keluarga kita?” Suara Bu Lila naik satu oktaf. “Kalau perlu, aku akan tes DNA. Sebelum semua ini jadi skandal.”
Riyan memejamkan mata. Ia tahu ibunya keras kepala. Tapi kali ini berbeda. Bu Lila tak lagi sekadar cerewet—ia seperti punya rencana sendiri.
“Dan Putri akan bantu,” tambah ibunya. “Dia setia. Pintar. Bisa dipercaya.”
Riyan menoleh cepat. “Putri? Yang pernah kamu buang karena bikin masalah dengan Ria?”
“Ia sudah berubah. Dan dia sangat loyal.”
Riyan tak menjawab. Tapi batinnya bergolak. Ia mulai merasa seperti pion dalam catur yang tak pernah ia mainkan.
---
Sementara itu, di ruang kerja pribadi Ria, suasana jauh berbeda. Ria baru saja menerima kabar bahwa surat gugatan perdata yang datang kemarin… kemungkinan besar palsu. Julio sedang melacak asal-usulnya.
“Gugatan itu gak masuk akal,” ucap Julio di telepon. “Mereka pakai nama pengacara fiktif. Tapi motifnya belum jelas. Hati-hati, Ria. Kayaknya ini bukan urusan bisnis doang.”
Ria mengangguk pelan. Matanya menerawang. Sejak kembali ke dunia korporat, ia sudah siap dengan tekanan dan intrik. Tapi kali ini, rasanya lebih pribadi. Lebih… jahat.
Dan ia bisa menebak siapa dalangnya.
“Bu Lila…” gumamnya. “Permainanmu dimulai, ya?”
Putri diam. Ia tahu ia sedang bermain api. Tapi jika ia berhasil… mungkin Bu Lila akan membantunya kembali masuk ke lingkaran kekuasaan. Mungkin... Julio akan memandangnya lagi.
Oh Julio… pikir Putri getir. Sahabat Ria itu pernah menolongnya ketika ia depresi karena dipecat. Tapi dia terlalu setia pada Ria. Bahkan saat Putri mengirim sinyal, Julio hanya membalas datar.
Putri menarik napas pelan, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Bu Lila. “Kalau aku bantu Ibu, aku dapat apa?”
Bu Lila menatapnya lama. Lalu senyum tipis terbentuk.
“Kamu bisa kembali ke perusahaan. Dengan posisi baru, lebih tinggi dari dulu. Aku akan bicara ke Riyan.”
Putri tersenyum miring. “Dan Ria akan melihatku kembali berdiri lebih tinggi darinya.”
Suaranya rendah, penuh dendam yang lama terpendam. “Baik, Bu. Saya ikut permainan ini.”
---
Di sisi lain, Bu Lila berdiri di balik jendela besar rumahnya malam itu, menatap ke halaman kosong. Di tangannya tergenggam sebuah foto keluarga lama: dirinya, suaminya yang telah tiada, dan Riyan kecil.
“Anak itu harus melanjutkan darah keluarga ini. Bukan dengan sembarang perempuan,” gumamnya.
Dia mengangkat ponsel, mengetik sebuah pesan cepat ke salah satu kenalannya yang bekerja di rumah sakit.
> “Aku butuh seseorang yang bisa menyusup ke ruang medis. Pastikan perempuan bernama Winda itu diobservasi secara mental. Kita lihat apakah dia waras atau tidak.”
Jari-jarinya bergerak cepat.
Permainan ini baru dimulai.
disisi lain Winda mulai bergumam " aku harus lebih hati hati , karna aku yakin ibu dan putri pasti merencanakan sesuatu yang buruk, dan aku hanya perlu berpura pura agar mereka berfikir aku bodoh,"