Celine, seorang wanita pekerja keras, terpaksa menikah dengan Arjuna—pria yang bekerja sebagai tukang sapu jalanan untuk menghindari perjodohan. Selama pernikahan, Arjuna sering diremehkan dan dihina, bahkan oleh keluarga istrinya sendiri. Tapi siapa sangka, di balik penampilan sederhananya, Arjuna menyimpan identitas dan kekayaan yang luar biasa. Saat rahasia itu terbongkar, kehidupan mereka pun berubah drastis, dan mulailah babak balas dendam yang elegan dan penuh drama.
Siapakah Arjuna sebenarnya? dan apa yang akan terjadi jika semua orang mengetahui identitas Aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 30
Sudah sebulan sejak Arjuna dan Celine pindah dari rumah sederhananya. Kini, mereka tinggal di sebuah rumah megah di kawasan elit—tempat di mana hanya deretan pengusaha dan tokoh besar negeri ini tinggal. Rumah itu berdiri gagah dengan pagar besi hitam tinggi dan penjagaan 24 jam.
Tak ada yang menyangka bahwa pria yang dulu dicaci sebagai tukang sapu, kini hidup sebagai taipan muda yang namanya mulai sering muncul di berita bisnis.
Namun berita terpanas minggu ini bukan tentang rumah baru mereka, melainkan satu hal yang mengguncang keluarga Celine—perusahaan milik Bagas resmi dibeli oleh Arjuna. Kesepakatan akuisisi itu tersebar di media, dan satu nama tertulis jelas di setiap berita:
> “ARJUNA PRATAMA FEDERICK RESMI MENGAKUISISI PT. NUSA PRIMA JAYA”
Bagas kalap. Ia mendatangi ibunya, Sera, dengan wajah pucat pasi.
“Ma, ini... ini bencana. Semua saham, semua kendali direksi, semuanya pindah ke dia! Ke Arjuna!” teriak Bagas panik, melemparkan koran dan dokumen ke meja.
Sera membaca cepat. Wajahnya langsung pucat. “Kita... kita benar-benar kehilangan semuanya?”
“Kita bukan siapa-siapa lagi di perusahaan itu, Ma. Bahkan aku sudah dapat pemberitahuan untuk angkat kaki dari ruang direktur! Rumah ini juga akan disita untuk melunasi sisa hutang”
Laura yang mendengar dari tangga atas, turun terburu-buru. “Kamu becanda kan? Arjuna nggak mungkin sejahat itu... dia kan cuma...”
“Cuma tukang sapu?” sahut Bagas tajam.
“Bangun, Laura. Dia bukan siapa-siapa dulu karena dia memilih begitu. Sekarang dia bisa membalikkan hidup kita semudah menjentik jari!”
"Kita harus melakukan apa?" Laura sangat khawatir.
Seketika ruangan menjadi sunyi. Untuk pertama kalinya, mereka bertiga menyadari... merekalah yang berada di bawah sekarang.
...****************...
Dua hari kemudian, mobil hitam berhenti tepat di depan rumah megah Arjuna. Dari dalam mobil Bagas, Laura, dan Sera keluar—berpakaian rapi dan menenteng bingkisan. Wajah mereka penuh senyum palsu dan harapan.
Satpam depan memandang mereka dengan tatapan curiga. “Ada keperluan apa?” tanyanya.
“Kami... ingin bertemu Tuan Arjuna. Kami keluarganya,” jawab Sera sambil menyunggingkan senyum.
Satpam itu memeriksa daftar tamu. Tak ada nama mereka.
“Tuan Arjuna tidak menerima tamu yang tidak dijadwalkan.”
Sera mulai panik. “Tolong sampaikan, kami keluarganya. Sangat penting.”
Setelah berdiskusi melalui radio, akhirnya mereka diperbolehkan masuk. Dengan langkah gugup, mereka memasuki rumah besar yang lebih megah daripada yang pernah mereka injak. Dinding marmer, lukisan mahal, lampu gantung kristal—semuanya menyilaukan. Mereka benar-benar terpana dengan rumah yang dimiliki oleh Arjuna.
Mereka duduk menunggu di ruang tamu. Tak lama, Arjuna turun dari lantai dua, mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, auranya dingin dan berwibawa. Di belakangnya, Celine melangkah anggun dengan senyuman tipis.
“Wah... tamu istimewa rupanya,” ucap Arjuna pelan, nada suaranya datar namun menohok.
Sera langsung berdiri dan tertawa kecil. “Arjuna... Mama kangen sekali. Rumahmu indah, luar biasa. Kamu hebat sekali bisa sampai di titik ini.”
Laura ikut mendekat, mengedipkan mata. “Kamu makin keren aja, Jun... eh, Kak Arjuna.”
Sedangkan Bagas hanya menunduk, tidak sanggup menatap mata Arjuna.
Arjuna tidak tersenyum. Ia duduk, lalu berkata pelan, “Langsung saja. Apa yang kalian inginkan?”
Sera tersenyum canggung. “Kami hanya ingin... memperbaiki hubungan keluarga. Kemarin itu semua hanya salah paham, Arjuna. Kamu tahu sendiri, hidup ini kadang memaksa kita bersikap keras.”
“Keras?” Arjuna mengangkat alis.
“Ny. Sera, waktu saya miskin kalian terus menghina saya, makan makanan sisa, dipermalukan setiap hari, itu bukan karena hidup yang keras. Tapi karena hati kalian yang keras.”
Sera tertawa getir. Wajahnya langsung memucat.
Laura menyela, mencoba menggoda. “Tapi sekarang kita bisa mulai dari awal, kan? Kita semua sudah dewasa. Lagipula, kamu kakak ipar kami. Kita ini keluarga kak Arjuna”
Celine melangkah maju, menatap mereka tajam. “Kalian datang karena perusahaan kalian sudah dibeli, dan kalian kehilangan semua. Kalau Arjuna tetap miskin, kalian pasti tidak akan pernah berdiri di sini.”
"Sekarang, kalian menganggap kami keluarga setelah apa yang kalian lakukan?"
"Beberapa bulan lalu, bukankah kalian sudah mengusir kami dan memutus hubungan keluarga dengan kami?" tanya Celine tajam.
Bagas akhirnya angkat bicara. Suaranya gemetar. “Maafkan kami.....kami... kami terlalu sombong. Kami buta. Sekarang kami sadar, kalian jauh di atas kami. Tolong, bantu kami, Arjuna. Jangan usir aku dari perusahaan. Aku butuh pekerjaan itu…dan tolong bantu kami melunasi hutang kami agar rumah kami tidak di sita.”
Arjuna memandangi mereka satu per satu. Dulu, mereka menginjak harga dirinya seakan dia tak layak hidup. Kini, mereka memohon dengan mata berkaca-kaca.
“Bagas,” ucap Arjuna pelan.
“Aku tidak akan membalas dendam. Tapi aku juga tidak akan mempermudah hidupmu hanya karena kamu keluarga istriku. Kamu tetap harus keluar dari perusahaan. Kalau kamu ingin sukses lagi... bangun dari bawah seperti aku dulu. Dan masalah hutangmu, itu adalah tanggung jawabmu yang sudah mengambil uang perusahaan"
Bagas menunduk dalam. Dadanya sesak. Tapi ia tahu... itulah harga dari kesombongannya dulu.
Sera mengusap air mata. “Kamu... benar-benar sudah berubah, Jun.” ucapnya dengan tangisan palsu.
Arjuna tersenyum tipis. “Bukan berubah, Ma. Saya hanya menunjukkan siapa saya sebenarnya.”
Tanpa banyak bicara lagi, ia berdiri. “Silakan keluar. Aku punya jadwal lain.”
Ketiganya terdiam. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan.
Ketika mereka melangkah keluar, mata mereka masih menatap rumah itu—simbol kekalahan mereka. Bukan karena kekayaan Arjuna saja, tapi karena harga diri mereka hancur di hadapannya.
Dan Arjuna?
Ia hanya menggenggam tangan Celine, menatapnya lembut.
“Aku tidak butuh balas dendam. Tapi kadang... membiarkan mereka melihat siapa dirimu yang sebenarnya... sudah cukup menyakitkan bagi mereka.”
Celine tersenyum. “Dan menyembuhkan untukmu.”
"Terimakasih karena masih membiarkan mereka hidup dengan normal. Mereka harus belajar dari kesalahan.... bahwa hidup tidak selamanya berada di atas. Seketika apa yang kita punya juga akan bisa menghilang dengan sekejap"
.
.
.
Bersambung.