Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SANDIWARA SEGERA DIMULAI
Gunadi setengah berlari menuju rumahnya, ia ingin segera sampai sebelum ponselnya berdering. Gunadi membuka pintu rumahnya dan langsung menuju kamarnya. Dia ingin membangunkan Astuti dan memberitahu istrinya itu jika ia akan menerima telepon dari Mursyidah. Jangan sampai Astuti terbangun dan tahu saat dia tengah berbicara dengan Mursyidah di telepon. Bisa-bisa Astuti akan mengamuk dan ribut sepanjang hari.
Gunadi tidak mau itu terjadi, karena itulah dia membangunkan Astuti guna meminta ijin pada istrinya tersebut.
"Dek, dek bangun dek. Sayang ayo bangun dulu!"
Gunadi menepuk-menepuk pelan lengan Astuti sambil berbisik lembut. Astuti yang belum lama tertidur menggeliat dan berusaha membuka matanya yang terasa berat.
"Ada apa sih mas? Kamu pengen? Besok aja deh aku lagi capek nih!"
Astuti mengerjapkan matanya beberapa kali lalu kembali terpejam. Wanita itu berniat meneruskan tidurnya.
"Dek bangun dulu, mas mau ngomong." Gunadi menahan tangan Astuti yang hendak membelakanginya.
"Ngomong apa sih! ngomong aja sekarang!" Sentak Astuti. Perempuan itu kembali menggeliat dan menggaruk punggungnya yang terasa gatal.
"Aliya mau menelepon mal--"
"Siapa!" potong Astuti cepat.
"Eh maksud mas, bundanya Amar mau menelepon --"
"Ya udah nelpon aja, apa urusannya sama aku!"
Belum sempat Gunadi menjelaskan pada Astuti, ponsel yang ada di tangannya sudah bergetar dan kembali menyala karena ada panggilan video dari Mursyidah.
"Nah itu perempuan itu telpon kenapa nggak diangkat?" Astuti mengintip tulisan Bunda Amar pada ponsel suaminya.
"Vidio call dek, vidio call," sahut sahut Gunadi gusar.
"Baguslah dia vidio kol, aku jadi bisa lihat orangnya," balas Astuti angkuh.
"Nanti dia bisa lihat kamu dek," sahut Gunadi dongkol.
"Kenapa kamu bodoh sekali mas, ganti kamera belakang." Astuti tak kalah dongkol dengan Gunadi. Wanita itu langsung menggeser ikon berwarna hijau dan kebetulan saat itu memang kamera belakang yang sedang on.
Seketika dalam layar ponsel Gunadi tampak seorang bercadar dengan kacamata hitam yang menutupi matanya. Tawa Astuti menyembur seketika.
"Ninja dari mana yang menelepon kamu --"
Kalimat Astuti berhenti seketika saat terdengar suara protes dari seberang telepon.
"Lho kok kamera belakang? Terus tadi itu suara siapa mas? Kamu lagi sama seseorang? Kamu nggak lagi di rumah?" tanya Mursyidah mencecar dari balik cadarnya. Wanita itu memang sengaja memakai cadar hitam dan juga kacamata agar Gunadi tidak melihat ekspresi wajahnya.
"I-iy-iya dek, ini mas ganti kamera depan." Gunadi tergagap menjawab. Gugup seketika, takut jika kebohongannya selama ini akan terbongkar.
Gunadi memutar duduknya hingga sekarang jadi berhadapan dengan Astuti, Lelaki itu mengode Astuti agar tidak bersuara. Astuti melotot marah, tapi tetap mengikuti perintah Gunadi.
"Nggak ada siapa-siapa di sini dek, hanya mas sendiri," jelas Gunadi setelah dia menukar kamera depan. Ia tersenyum pada wajah yang bercadar itu.
"Masa sih mas? Kok aku tadi denger suara ya? kayak suara perempuan. Kamu nggak selingkuh kan mas?"
"Ng-nggak dek." Gunadi kembali tergagap. Lelaki itu memutar ponsel yang ada di tangannya, sementara tangan yang lain mendorong Astuti agar tidak terlihat dalam layar ponselnya.
"Tuh lihat, nggak ada siapa-siapa kan?" ujar Gunadi dengan tersenyum semanis mungkin.
Pria itu terus berputar dengan ponselnya dan Astuti yang ada di depannya pun ikut bergeser. Mereka berdua sudah seperti dua aktor yang terlatih dalam sandiwara rumit, memainkan peran masing-masing dengan sempurna di depan kamera. Gunadi terus tersenyum dan menunjukkan ekspresi bahagia seakan-akan sedang menikmati waktu bersama istri pertamanya itu. Sementara itu Astuti di depannya berusaha menutupi dirinya dengan gerakan halus dan hati-hati agar tidak terlihat. Meski demikian Astuti membesarkan matanya sambil menunjukkan kepalan tangannya pada Gunadi.
Awas nanti kamu!
"Oh nggak ada siapa-siapa ya?" Mursyidah tersenyum sinis dari balik cadarnya. "Baiklah, sandiwara segera dimulai," ujar Mursyidah di dalam hati.
"Dek kenapa kamu pakai cadar dan juga kacamata hitam? Buka dek, mas mau lihat wajah kamu, Mas kangen... awh."
Gunadi mengaduh saat tangan Astuti mencubit pinggangnya. Sementara Mursyidah kembali tersenyum mengejek suaminya itu. Kangen? selama ini suaminya itu tidak pernah mau melakukan video call dengan dirinya. Ada saja alasan yang diberikan Gunadi dan menelepon pun kalau ada butuhnya saja. Lalu sekarang dia bilang kangen? Bullshit!
"Aku juga kangen kamu mas," sahut Mursyidah dengan nada semanja mungkin. "Tapi sekarang aku nggak bisa buka cadarnya, soalnya aku sedang perawatan wajah
Biar cantik. Kamu pasti senang kan mas punya istri cantik. Dua bulan lagi kontrak kerjaku kan habis, jadi nanti saat pulang aku mau tampil cantik di depan kamu mas. Aku jamin kamu pangling dan nggak kenal aku mas."
"Nggak perlu begitu dek. Nggak perlu merubah penampilanmu untuk mendapatkan cinta mas, dek. Mas selalu cinta dan sayang sama kamu kok... awh."
Gunadi kembali mengaduh saat cubitan berikutnya mendarat di perutnya. Mursyidah pura-pura tidak mendengar Gunadi mengaduh. Cinta dan sayang? Pret!
Mursyidah mencibir dari balik cadar.
"Beneran mas? Aku jadi nggak sabar ingin cepat pulang dan bertemu kamu mas."
"Iy-iya dek... Sayang ini sudah lebih tiga minggu loh dari jadwal kamu mengirim mas uang. Kenapa dek?"
"Masa sih mas? Kok aku lupa ya?"
"Iya dek, kirimin cepat ya... Mas lagi butuh banget nih!" Gunadi memasang wajah memelas.
"Untuk apa mas? Bukankah mas juga sudah bekerja?
Mas kan bisa pakai uang mas dulu. Tanggung kalau aku kirim sekarang mas, nanti saja pas aku pulang aku kasih. Nggak lama lagi kok." Mursyidah mengamati raut wajah Gunadi yang terlihat kecewa dan juga kesal. Lelaki itu terlihat berusaha menahan amarahnya.
"Tapi dek --"
"Mas, aku nggak suka ya tiap kali menelepon hanya
Uang yang kamu bicarakan! Sebenarnya kamu betulan kangen atau nggak sama aku? Ya sudah aku tutup saja teleponnya," gerutu Mursyidah.
"Ja-jangan dek! Jangan ditutup dulu teleponnya. Mas masih kangen sama kamu," cegah Gunadi cepat.
Lelaki itu menahan kekesalan hatinya. Biarlah saat ini dia mengalah. Dia tidak akan menanyakan kiriman Mursyidah dulu apalagi tentang perpanjangan kontrak kerja wanita tersebut.
"Mas, aku kangen tempat tidur kita. Coba kamu kasih lihat ke aku mas, aku nggak sabar untuk bisa tidur lagi di situ. Dipeluk sama kamu terus dikelonin. Ayo mas kasih lihat ranjang kita!" Mursyidah merajuk manja.
Gunadi menggeser Astuti dengan mendorong istrinya itu untuk menjauh dari tempat tidur. Astuti tidak bergeming sama sekali. Matanya melotot tajam pada Gunadi.
"Ngapain ngomong lama-lama? Langsung minta uang," geram Astuti lirih dengan geraham yang bergemeretak karena beradu.
Mursyidah yang berada di seberang telepon masih saja mengoceh memancing cemburu dan amarah Astuti.
"Mas, aku kangen masa-masa pengantin baru kita dulu. Kamu memanjakan aku banget, cuma aku yang ada di hati kamu. Aku wanita tercantik di mata kamu mas. Aku masih ingat kata-katamu yang bilang kalau aku punya mata yang sangat indah. Romantis banget ya mas waktu itu."
Dibalik cadarnya, Mursyidah bukan sedang senang membayangkan masa-masa indah itu, melainkan dia sedang meratapi rasa sakitnya karena pengkhianatan Gunadi.
"Ini loh dek tempat tidur kita." Gunadi memperlihatkan kasur yang sedikit berantakan.
"Kamu habis tidur mas?"
"Nggak dek. Kenapa?" sahut Gunadi agak bingung.
Ada sedikit rasa cemas takut ada hal yang mencurigakan tertinggal di tempat tidur tersebut. Gunadi reflek mengamati kasur.
"Kok agak berantakan? Itu ada dalaman perempuan, punya siapa mas?"
Mati! Gunadi tertegun mendengar pertanyaan Mursyidah. Matanya kembali menyapu permukaan kasur dan berhenti pada tumpukan kain berwarna hitam.
I-itu... Kenapa ada di situ?
aku suka cerita halu yg realitis.