NovelToon NovelToon
Cinbarai (Cinta Dibalik Tirai)

Cinbarai (Cinta Dibalik Tirai)

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Keluarga / Romantis / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: kania zaqila

Alisya, seorang gadis muda yang lulus dari SMA, memiliki impian untuk melanjutkan kuliah dan menjadi desainer. Namun, karena keterbatasan ekonomi keluarganya, ia harus bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah keluarga kaya. Di sana, ia bertemu dengan Xavier, anak majikannya yang tampan dan berkarisma. Xavier memiliki tunangan, namun ia jatuh cinta dengan Alisya karena kepribadian dan kebaikan hatinya.

Alisya berusaha menolak perasaan Xavier, namun Xavier tidak menyerah. Orang tua Xavier menyukai Alisya dan ingin agar Alisya menjadi menantu mereka. Namun, perbedaan status sosial dan reaksi orang tua Alisya menjadi tantangan bagi keduanya.

lalu bagaimana dengan tunangannya Xavier ?

apakah Alisya menerima Xavier setelah mengetahui ia mempunyai tunangan?

bagaimanakah kisah cinta mereka saksikan selanjutnya hanya disini.

setiap masukan serta kritik menjadi motivasi bagi author kedepannya.

Author ucapkan Terimakasih bagi yang suka sama ceritanya silahkan berikan like dan komen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kania zaqila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29. Akhir dari Perjuangan

Alisya merasa dirinya ditarik ke dalam kegelapan, tapi dia berjuang untuk tetap sadar. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa sakit yang tajam di kepalanya membuatnya hampir menyerah. Suara Rachel masih bergaung di telinganya, "Aku bilang, ini baru awal."

"Xavier..." bisik Alisya, mencoba mencari Xavier di sekelilingnya yang gelap. Tapi dia tidak melihatnya. Panik mulai merayap, rasa takut yang tak terkendali membawanya untuk mencoba bangun.

Alisya berhasil duduk, memegang kepalanya yang berdenyut. Dia berada di sebuah gudang tua, dindingnya berdebu dan jendela-jendelanya tertutup papan. Xavier terbaring di sebelahnya, tidak bergerak. Alisya merangkak ke arahnya, meraba nadi di lehernya.

"Xavier, bangun! Xavier, tolong!" teriak Alisya, suaranya bergetar.

Xavier menggeliakkan mata, membuka mulutnya dengan susah payah. "Alisya... aku... aku ada," katanya dengan suara yang lemah.

Alisya menangis, rasa lega yang campur dengan sakit memenuhi dadanya. "Xavier, kita harus keluar dari sini. Aku akan cari bantuan."

Xavier mencoba mengangguk, tapi dia terlalu lemah. "Tidak... jangan tinggalkan aku. Rachel... dia gila."

Rachel muncul dari bayang-bayang, senyumnya dingin dan tidak wajar. "Kamu tidak akan pergi kemana-mana, Alisya. Ini akhir dari semuanya. Xavier akan menjadi milikku, seperti yang seharusnya."

Alisya berdiri, melindungi Xavier dengan tubuhnya, matanya penuh dengan kemarahan. "Kamu tidak akan pernah memiliki dia, Rachel. Dia cinta aku, bukan kamu."

Rachel tertawa, suara yang keras dan histeris. "Cinta? Ha! Cinta tidak ada di dunia ini. Yang ada adalah kekuasaan. Dan aku akan memiliki semuanya."

Inspektur Lee dan timnya tiba-tiba menyerbu masuk, senjata terarah ke Rachel. "Rachel, letakkan pistolmu! Sekarang!"

Rachel memandang sekeliling, matanya liar, lalu dia mengarahkan pistol ke Alisya. Xavier, dengan sisa tenaganya, melompat ke depan Alisya, melindungi dia.

"Tidak!" teriak Alisya, saat tembakan meletus.

Xavier jatuh ke lantai, darah mengalir dari bahunya. Alisya berteriak, memelangi Xavier dengan air mata. "Xavier! Tidak!"

Inspektur Lee dan timnya langsung melumpuhkan Rachel, membawanya pergi sambil berteriak-teriak. Alisya hanya fokus pada Xavier, memegang wajahnya yang pucat.

"Xavier, tolong... jangan tinggalkan aku," kata Alisya, suaranya bergetar.

Xavier tersenyum lemah, memegang tangan Alisya. "Aku... aku tidak akan... pergi... Alisya. Aku cinta kamu... dan bayi."

Paramedis bergegas masuk, membawa Xavier ke ambulans. Alisya ikut naik, tidak mau melepaskan tangan Xavier. Di ambulans, Xavier terus menggenggam tangan Alisya, matanya tidak pernah meninggalkan wajah Alisya.

"Kamu... harus kuat... untuk bayi," bisik Xavier, suaranya semakin lemah.

Alisya menangis, tidak peduli dengan air matanya. "Aku tidak bisa tanpa kamu, Xavier. Kamu harus sembuh."

Xavier tersenyum, napasnya mulai tidak teratur. "Aku... aku akan... selalu... di hati kamu..."

Suara sirene ambulans semakin keras, tapi di dalam hati Alisya, ada kesunyian yang tak terhingga. Xavier memejamkan mata, tangan Alisya masih menggenggamnya erat.

"Xavier! Xavier, tolong!" teriak Alisya, tapi tidak ada jawaban.

Doktor di rumah sakit berlari, berusaha menyelamatkan Xavier. Alisya ditahan di luar ruang operasi, menangis tanpa suara. Waktu terasa berhenti.

Jam berlalu, dokter keluar dengan wajah yang berat. "Keluarga...?"

Alisya berdiri, suaranya hampir tidak terdengar. "Saya... keluarganya. Bagaimana dia?"

Doktor memandang Alisya dengan kesedihan. "Kami sudah berusaha... tapi pelurunya mengenai arteri utama. Dia... tidak berhasil."

Alisya merasa dunia runtuh. "Tidak... tidak mungkin... Xavier..."

Ayah Xavier datang, memeluk Alisya yang menangis tanpa suara. "Alisya, aku sorry... aku sorry."

Hari-hari berikutnya adalah kabur. Alisya tidak makan, tidak tidur. Dia hanya duduk di samping jenazah Xavier, memegang tangannya yang dingin. "Kenapa?" dia terus bertanya, tidak ada jawaban.

Pada hari pemakaman, hujan turun deras. Alisya berdiri di depan kubur Xavier, air matanya bercampur dengan hujan. "Xavier, aku tidak siap. Aku cinta kamu," katanya dengan suara yang patah.

Ibu Alisya dan ayah Xavier memeluk Alisya, menangis bersama. "Kita akan melalui ini, Alisya. Untuk Xavier, untuk bayi."

Alisya memandang ke perutnya, merasakan tendangan lembut bayi mereka. Dia tahu, Xavier ingin dia kuat. Dengan napas dalam-dalam, Alisya mengangkat kepala, matanya masih merah tapi penuh tekad.

"Aku akan hidup, Xavier. Aku akan menjaga bayi kita. Aku cinta kamu."

Hujan berhenti. Di langit, ada pelangi yang lembut. Alisya tersenyum, tahu bahwa Xavier akan selalu ada, dalam hatinya.

Alisya masih duduk di samping kubur Xavier, air matanya sudah kering, tapi kesedihan itu masih membungkus hatinya seperti selimut yang tak bisa dilepas. Hujan yang turun tadi sudah berhenti, meninggalkan genangan air di tanah yang seolah menjadi cermin bagi kekosongan di dalam dirinya. Dia memegang bunga mawar putih yang dia letakkan di atas batu nisan, jari-jarinya membelai ukiran nama Xavier dengan perlahan.

Tiba-tiba, dia merasakan tendangan lembut di perutnya. Bayi mereka, yang masih dalam kandungan, seolah mengingatkannya bahwa ada kehidupan yang harus dia jaga. Alisya meletakkan tangan di perutnya, merasakan getaran kecil itu, dan untuk sejenak, kesedihannya sedikit teralihkan.

"Xavier, aku tidak tahu bagaimana aku harus melakukan ini tanpa kamu," bisik Alisya, suaranya hampir tidak terdengar di tengah kesunyian. "Tapi aku janji, aku akan kuat. Untuk dia, untuk kita."

Ayah Xavier, yang berdiri di belakangnya, mendekati Alisya dengan langkah pelahan. "Alisya, kita harus pergi sekarang. Kamu harus istirahat."

Alisya mengangguk, meski tidak ingin meninggalkan kubur itu. Dia membiarkan ayah Xavier membantunya berdiri, lalu mereka berjalan perlahan menuju mobil yang sudah menunggu. Di sepanjang jalan, Alisya tidak berkata apa-apa, pikirannya dipenuhi dengan kenangan bersama Xavier—pertama kali mereka bertemu, tawa mereka, rencana masa depan yang tak pernah terwujud.

Saat mereka tiba di rumah, ibu Alisya sudah menunggu dengan wajah yang lembut tapi penuh kesedihan. "Alisya, aku sudah siapkan makan malam. Kamu harus makan sesuatu."

Alisya memaksa dirinya tersenyum, mencoba untuk tidak membuat mereka lebih khawatir. "Terima kasih, Ibu. Aku tidak lapar, tapi aku akan coba."

Malam itu, Alisya tidak bisa tidur. Dia berbaring di tempat tidur, memelangi bantal Xavier yang masih ada aroma parfumnya, dan membiarkan air matanya mengalir lagi. Kenapa harus begini? Kenapa Xavier harus pergi?

Tiba-tiba, dia merasakan kontraksi yang lebih kuat di perutnya. Alisya langsung duduk, rasa paniknya meningkat. "Ibu!" panggilnya dengan suara yang kencang.

Ibu Alisya berlari masuk ke kamar, wajahnya penuh kekhawatiran. "Alisya, apa yang terjadi?"

"Rasa... rasanya seperti mau melahirkan," kata Alisya, suaranya bergetar.

Ayah Xavier langsung mengambil ponselnya. "Saya panggil ambulans, sekarang!"

Dalam kekacauan itu, Alisya merasakan rasa sakit yang semakin kuat, tapi dia fokus pada satu hal—bayi ini harus lahir dengan selamat. Dia menggenggam tangan ibu Alisya dengan erat, mencoba bernapas mengikuti instruksi dokter di telepon.

Saat ambulans tiba, Alisya dibawa ke rumah sakit dengan sirene yang meraung. Di dalam ambulans, dia memandang ayah Xavier yang duduk di sebelahnya, suaranya lembut.

"Ayah, beritahu Xavier... beritahu dia kita akan baik-baik."

Ayah Xavier memelainya dengan mata yang merah. "Aku akan beritahu dia, Alisya. Kamu kuat."

Saat mereka tiba di rumah sakit, Alisya langsung dibawa ke ruang bersalin. Rasa sakitnya semakin tak tertahankan, tapi dia tidak berhenti mendorong, didorong oleh keinginan untuk melihat wajah bayi mereka.

"Alisya, kamu hampir sampai!" kata dokter, suaranya tenang.

Dengan satu dorongan terakhir, Alisya merasakan kelegaan, diikuti tangisan bayi yang nyaring. "Selama-lamanya," bisik Alisya, air matanya mengalir.

Dokter meletakkan bayi itu di dada Alisya. Seorang bayi perempuan kecil, dengan mata yang besar dan kulit yang halus.

"Xia," kata Alisya, suaranya lembut. "Nama kita, Xavier."

Di tengah kesedihan yang membungkus, ada secercah keajaiban. Alisya memandang Xia, dan untuk sejenak, rasa sakitnya berubah menjadi cinta yang tak terbatas.

1
Shee Larisa
semangat thor💪💪
boleh mampir juga baca novel baru akuuu yaa🤭😄
kania zaqila: okey, Terimakasih yaa
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!