“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. SETELAH PUASA WAKTUNYA UNBOX
Renzo sudah lama menahan diri. Menghormati waktu tubuh istrinya. Malam-malam penuh sabar dilalui dengan diam, meski ada hasrat yang perlahan menumpuk. Tapi malam ini, Nadhifa kembali padanya. Dan malam ini sepenuhnya milik mereka.
Di bawah cahaya lampu tidur yang hangat, tatapan mata Nadhifa memberi isyarat yang tak butuh penjelasan. Ia menyambut pelukan Renzo tanpa ragu, jemarinya menyentuh wajah suaminya, menariknya lebih dekat.
“Sudah sepuluh hari,” bisik Renzo.
Nadhifa tertawa pelan, bibirnya masih terasa manis dari kecupan barusan. Tangannya naik ke tengkuk Renzo. “Kamu sabar sekali…”
“Sabar?” Renzo menunduk, menatapnya lekat. “Kamu nggak tahu rasanya menahan diri tiap malam.”
Nadhifa tidak menjawab. Tubuhnya justru lebih mendekat, kali ini dia yang lebih dulu menciumnya. Sebuah undangan tanpa kata, tapi jelas maknanya.
Renzo membalas dengan lembut. Membawanya erat ke dalam pelukan. Tidak ada yang tergesa. Tidak ada yang kasar.
Helai rambut Nadhifa jatuh di dadanya. Piyama Renzo terbuka, disentuh pelan oleh jari-jemari istrinya. Satu per satu batas di antara mereka runtuh. Bukan karena nafsu semata, tapi karena cinta. Cinta yang membuat Renzo ingin menyatu, sambil tetap menjaga hormat untuknya.
Di sela cumbu dan helaan nafas, Renzo terus membisikkan nama istrinya. Dan Nadhifa memeluknya lebih erat, seolah ingin dia tahu bahwa ia juga menanti momen ini.
Ketika akhirnya Renzo berada di atasnya, ia menatap wajah Nadhifa sekali lagi. Mencari ragu. Namun yang ia temukan hanyalah senyum dan kepercayaan.
“Aku sayang kamu,” ucapnya lirih.
Sebelum kembali menunduk, memeluknya lebih dalam.
Selimut sudah bergeser ke tepi ranjang. Kusut, melorot, hanya menutupi sebagian kaki mereka. Tak cukup untuk menyembunyikan betapa tubuh Nadhifa telah dibuat bergetar malam itu.
Renzo menatap istrinya dari dekat. Nadhifa terbaring di bawahnya, mata setengah terpejam, nafas masih belum teratur. Kulitnya berkilau oleh keringat, rambut panjangnya mengembang di atas bantal, beberapa helai menempel di dahi dan pelipis.
Renzo menyeka peluh dari wajahnya, lalu menunduk, menyandarkan dahinya di pundak istrinya yang naik-turun pelan.
Satu ronde selesai.
Tapi ia belum puas.
Wajah itu. Semua membuatnya tersadar bahwa Nadhifa bukan hanya cantik. Ia miliknya. Sepenuhnya.
Senyum kecil terbit di bibir Renzo. Ia mengecup sisi pipinya yang panas. “Nafasmu masih berat,” ucapnya rendah, menggoda. “Apa ini baru hitungan ronde satu?”
Nadhifa hanya mengerling sambil menggigit bibir, tanpa menjawab. Namun sorot matanya jelas tak menolak.
Renzo tertawa pelan, lalu mencium lagi. Lebih dalam, lebih lama. Tangannya menggenggam jemari Nadhifa yang masih gemetar.
“Kalau kamu nggak bilang cukup,” bisiknya di telinganya, “aku anggap ini baru pemanasan.”
Nadhifa duduk memeluk leher Renzo erat, seolah tubuhnya tak tahu harus bersandar ke mana selain padanya.
Renzo hanya duduk tegak di ranjang, membiarkannya merapat. Selimut yang melingkupi mereka terus merosot setiap kali ia bergerak, tapi tak ada yang peduli.
“Masih kuat?” bisik Renzo, nyaris tanpa suara.
Nadhifa tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, menggenggam lehernya lebih erat.
Pelukan Renzo tidak kendur, seolah enggan melepaskannya kembali ke dunia luar.
“Mas kuat banget sih …,” gumam Nadhifa, kepalanya bersandar di dada Renzo yang masih naik-turun.
Renzo terkekeh, mengecup ubun-ubunnya singkat. “Baru dua, itu namanya pemanasan.”
Nadhifa mendesah kecil. “Nggak tahu ini hebat atau nyusahin.”
“Kalau nyusahin, tadi kamu nggak bakal minta peluk terus,” balasnya ringan.
“Mungkin … nanti. Setelah aku bisa nafas normal lagi.”
Renzo tertawa, lalu menarik selimut menutup mereka berdua. “Deal. Tapi jangan tidur dulu. Aku masih punya waktu buat bikin kamu senyum lagi.”
Nadhifa hanya menggeleng kecil, tapi senyumnya melebar.
Nadhifa tengkurap di ranjang, tubuhnya masih lemas. Renzo duduk di tepinya, jari-jarinya mengusap rambut istrinya yang sedikit berantakan. Wajah itu jelas letih, namun ada senyum kecil yang tak bisa disembunyikan.
Ia menunduk, mengecup pundaknya singkat. Lalu tubuhnya menyusul, mendekap Nadhifa dari belakang. Ia membiarkan detak jantung mereka bertemu, menyatu dalam keheningan kamar.
“Mas … belum tanya,” gumam Nadhifa. Tangannya sempat memukul pelan lengan Renzo, seperti protes manja.
Renzo tertawa kecil, pelukannya justru mengerat. “Maaf, tapi kamu kelihatan siap.”
“Siap ngelawan rasa capek, maksudnya,” balasnya sambil sedikit berbalik. Rona merah di pipinya membuat Renzo tak bisa menahan senyum.
Renzo menunduk ke telinganya. “Kalau masih kuat … aku temani sampai pagi.”
“Mas ini … jangan nyesel kalau aku tidur duluan.”
Tapi, seperti biasa, Renzo selalu berhasil merusak intensitas dengan dramanya sendiri saat mereka sedang serius bermain. Ia mengangkat tangan tinggi-tinggi ke udara, mendesah berlebihan seolah aktor sinetron yang sekarat.
“Tuhan … kuatkan aku menghadapi istriku sendiri…”
Nadhifa sontak berhenti. Tawa lepasnya memenuhi kamar, membuat semua intensitas menguap begitu saja. Ranjang bahkan ikut berderit karena ia bergerak tak karuan sambil tertawa.
“Kamu tuh …,” ujarnya sambil menyeka air mata di sudut mata. “Selalu tahu cara bikin aku gagal fokus.”
Renzo menariknya turun, memeluk erat. “Karena kamu cantik banget kalau tertawa, aku jadi lupa sedang berjuang.”
“Aku tuh belum sepenuhnya pulih, tau,” gumamnya pelan, menyembunyikan senyum di lekuk bahu Renzo.
“Makanya,” Renzo berbisik di telinganya, “ini bagian pemulihan…”
Tangannya meluncur pelan ke arah yang tak perlu dijelaskan. Spontan, Nadhifa memukul tangannya yang nakal.
“Mas Renzo!”
Bukannya berhenti, Renzo malah tertawa. Tangannya kembali berulah, membuat Nadhifa memukul lagi.
“Udah ah!” protesnya, meski nadanya tak sepenuhnya marah. Ia terlalu lelah untuk benar-benar serius, dan Renzo terlalu pintar membaca batas.
“Ini refleks, Nadhifa … tanganku punya kehendaknya sendiri.”
Nadhifa mendengus sambil kembali memukul lengannya. “Kalau aku yang refleks, bisa-bisa kamu kutendang dari kasur.”
Renzo malah tertawa makin keras.
Nadhifa menghela napas panjang, menyembunyikan senyum di balik lengannya. “Nggak capek, Mas?”
“Capek,” jawab Renzo ringan. “Tapi lebih capek kalau jauh dari kamu.”
Deg!
Sekuat apa pun Nadhifa mencoba menahan diri, kalimat sederhana itu langsung meluluhkan hatinya.
Ia mendekat, mengecup pipinya singkat. “Tidur, sebelum tangan kamu mulai berulah lagi.”
“Gak janji,” gumam Renzo malas.
Nadhifa memukul lengannya sekali lagi, tapi kali ini tangannya benar-benar berhenti di tempatnya.
“Tidur dulu, Nadhifa,” bisiknya, suara masih serak tapi lembut. “Aku mau kamu istirahat.”
“Gak … aku cuma mau pastiin kamu bener-bener santai,” jawab Nadhifa, menatap mata Renzo yang setengah terpejam. “Kamu … kelihatan capek.”
Renzo menghela napas panjang. “Capek? Gak masalah kalau kamu di samping aku. Lagian … ini bagian aku yang paling suka.”
Nadhifa tersenyum tipis. Tangannya menjangkau dada Renzo, merasakan detak jantungnya yang mulai stabil.
Renzo tiba-tiba menarik Nadhifa lebih dekat, menatap matanya serius. “Dengar, Nadhifa … aku mau kamu jadi istri yang tegas. Jangan takut untuk mengingatkanku, menegur aku kalau aku mulai khilaf sama wanita lain. Aku … laki-laki yang bisa terbuai, tapi aku gak mau itu terjadi sama aku. Aku butuh kamu jadi batasanku.”
Nadhifa menatapnya dalam-dalam, jantungnya berdetak lebih kencang. “Aku gak akan biarin kamu tersesat, Mas. Aku akan selalu mengingatkanmu. Aku cuma mau kamu utamakan aku.”
Renzo tersenyum tipis. “Bagus. Itu yang aku mau dengar. Kamu bikin aku tenang dan aman.”
Nadhifa membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu. “Aku juga, Mas. Aku merasa aman sama kamu. Selalu.”
“Kalau gitu, aku boleh peluk kamu terus?” bisiknya lirih.
Renzo menutup matanya, mencondongkan kepala. “Tentu. Aku gak bakal lepasin kamu. Seberapa lama pun kamu mau.”