NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Di sana, di ujung ruangan, Almaira melihatnya. Laki-laki yang saat itu membuat napasnya tercekat.

Dia tahu persis kenapa akhirnya dia terpikat oleh sosoknya. Kenapa tiap kali menatapnya, dadanya terasa bergetar.

Alasan dia bisa jatuh dalam pesona laki-laki itu setiap melihatnya adalah..

Dari awal dia sudah tahu jawabannya

Karena dia adalah laki-laki yang tampak seolah tidak pernah goyah seumur hidupnya.

Seorang suami yang bahkan jika dihadapkan dengan kesulitan apapun, tidak akan terlihat rapuh.

Sementara Almaira merasa, dia sepanjang hidupnya selalu mudah terseret arus yang tak pernah bisa dia kendalikan.

Maka, tanpa sadar, dia menjadikannya sebagai pelindung di dalam hatinya. Itu bukanlah sesuatu yang bisa dihindari.

Ketika Yaga mengulurkan tangan, seolah mengajaknya mendekat, Almaira justru diam ditempat.

"Suamiku."

Yaga menatap tangannya yang kini menggantung di udara, sebelum akhirnya menurunkannya kembali.

Dengan sedikit memiringkan kepala, dia tersenyum miring, suaranya terdengar ringan dan menggodanya.

"Kenapa wajahmu serius begitu?"

Jantung Almaira berdegup kencang.

"Ada sesuatu yang ingin Aira katakan."

Dia menatapnya. Sementara laki-laki itu terlihat menunggu. Dan kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah permintaan maaf.

"Aira minta maaf."

"Buat apa?"

Balasannya datar, tapi justru terdengar seperti interogasi tajam yang menusuk. Almaira menunduk tanpa sadar, tatapannya tertuju pada pin dasi yang terpasang rapi di kemeja suaminya.

Setelah beberapa saat, dia akhirnya mengangkat kepala lagi, tatapan mereka bertemu. Almaira berharap, dirinya tidak terlihat terlalu gemetar di hadapannya.

"Aira rasa, Aira terlalu gegabah."

"Apa yang sudah kamu rasakan sampai segegabah itu?"

"Dulu, ketika Aira dengar kalau Kak Yaga akan pergi keluar kota, Aira selalu salah paham. Aira mungkin mengira hubungan kalian lebih dari yang sebenarnya."

Suara Almaira semakin lirih saat mendekati akhir kalimatnya. Tenggorokannya terasa kering. Bibirnya nyaris mati rasa.

Dia tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Yaga.

"Pertama kali Kak Yaga pergi menemui Amera. Jujur, waktu itu… Aira merasa cemburu, seperti ada sesuatu yang diambil dari Aira."

Almaira menelan ludah.

Saat itu, dia mendengar suara tawa pelan, dari mulut Yaga

"Hm, lalu?"

"…Ya?"

"Kamu salah paham padaku, lalu apa lagi?"

"....."

"Teruskan. Aku ingin mendengarkan."

Perasaan salah paham. Kecemburuan yang kekanak-kanakan.

Meskipun Almaira berbicara dengan kata-kata yang begitu menyakini, laki-laki di hadapannya bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda emosional.

Mungkin itu sudah seharusnya.

Di luar sana, dunia menawarkan begitu banyak wanita bagi seorang laki-laki seperti Yaga.

Apa yang dikatakan seorang Almaira tentu bukan sesuatu yang bisa menggetarkan hatinya.

Perasaannya yang ambigu itu terdengar seperti lelucon.

Menghancurkan mimpinya.

Satu kata dari Amera itu membuat Almaira merasa seolah jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar.

Hubungan antara dirinya dan laki-laki ini pun rasanya hambar.

"Aira sempat merasa apakah, Aira harus menganggap semua kebohongan ini sebagai sesuatu yang ringan saja. Tidak semua orang ingin merepotkan orang yang dicintai, bukan? Tapi.. mengingat Kak Yaga yang tidak suka di bohongi. Maka_."

"Jadi, kamu terpaksa berbohong, karena aku bukan tipe suami yang bisa dipercaya? Tidak bisa di andalkan? Itu yang kamu maksud?"

Yaga menyusun semua kata-kata berantakan yang baru saja dilontarkan Almaira dalam satu kalimat yang pedas.

Almaira buru-buru menggeleng.

''Bukan begitu. Aira hanya… memilki perasaan tidak enak, untuk merepotkan orang lain."

"Tapi yang kudengar justru seperti itu."

"Tidak, Aira tidak ingin berjalan disamping Kak Yaga dengan tertatih-tatih, seperti istri yang tak berguna."

"Jangan bicara seperti itu.''

"...."

"Sekalipun kamu ingin aku mengerti, tidak perlu sampai merendahkan dirimu sendiri."

Sayangnya, meski Almaira mengatakan hal-hal yang ingin suaminya mengerti, justru dia yang merasa dirinya harus di mengerti.

Mengatur ekspresi, Almaira mencoba berbicara dengan suara setenang mungkin.

"Aira hanya mengucapkan fakta."

"Baiklah. Jadi kamu salah paham dengan perasaanmu. Kamu tidak percaya padaku, tidak ingin mengandalkan, dan aku tidak suka di bohongi, jadi kamu merasa tidak enak."

"...."

"Dan kamu tidak ingin tertatih-tatih berjalan di sampingku seperti istri tak berguna. Begitu kan?"

Dia menekankan kata "tertatih-tatih seperti istri tak berguna" dengan nada menenangkan. Seolah baru tersadar betapa memalukannya kata-kata itu, jantung Almaira rasanya bergetar, malu.

"… Ya, benar."

"Tidak ada hal lain yang ingin kamu katakan?"

"Ti-dak, itu saja. Kak Yaga pasti sibuk kan? tapi Aira malah membuang waktu untuk mengatakan bahwa Aira ingin maaf karena sudah berbohong."

"Aneh."

Langkah Yaga mendekat. Dia menatap wajah Almaira dengan perlahan, seolah ingin memastikan sesuatu.

"Almaira Nandya Utami."

"Ya?"

"Darimana kamu memberinya uang lima ratus juta?"

"… Apa?"

"Harusnya kamu sekalian mengatakan bahwa kamu memberikan uang hasil jeri payah mu selama bekerja di toko bunga."

"....."

"Baru dengan begitu aku bisa benar-benar merasa kamu perempuan yang hebat agar aku mengerti dirimu, bukan?"

Dia tersenyum.

Sebuah senyuman yang membuat Almaira semakin membeku di tempatnya.

Jadi, uang lima ratus juta itu, dia... Ya tuhan.

Almaira tidak menyangka, kalau suaminya tahu apa dia coba sembunyikan

Mungkin sekarang, dia menganggapnya sebagai perempuan yang selama ini berpura-pura hebat, tapi di belakang betapa sulitnya dia mendapati uang lima ratus juta itu.

Yaga masih tersenyum, seolah ingin mengatakan, singkirkan semua alasan-alasan tidak masuk akal itu. Kamu hanya sedang menguji kesabaran ku, bukan?

Tapi tidak ada alasan untuk membela diri. Itu memang benar. Suka atau tidak, kecewa atau tidak, amplop tebal yang dia siapkan di meja itu sudah tidak ada.

Baginya, untuk memutuskan hubungan yang bahkan sudah bertahun-tahun, jumlah itu bukanlah angka yang buruk bagi Amera. Dia tidak ingin berpikir tentang bagaimana dia bisa memberikan uang itu.

Jika uang itu bisa mengakhiri kebohongan ini, maka itu harga yang harus dibayarnya.

Perlahan, Almaira mengangkat wajahnya. Dia menelan keraguan yang tersirat di matanya, lalu menatap Yaga dengan teguh.

"Benar, Aira memberikan uang itu hasil jeri payah Aira selama bekerja di toko bunga."

"Ya, aku tahu."

Yaga menyeringai, seolah bertanya, Jadi, apa lagi yang ingin kamu akui?

Almaira menggigit bibir bawahnya. Saat bertatapan dengannya, tenggorokannya kering dan refleks menelan ludah.

"Tapi kenapa kamu begitu takut? Hanya lima ratus juta, tidak perlu khawatir. Kamu sudah lama menghabiskan waktu bersamaku, dan aku tahu kamu punya uang."

Dia mengerutkan kening, seolah benar-benar menyarankan agar uang itu dia gunakan suka-suka.

Almaira meremas jemarinya.

Lucu sekali. Di hadapan suaminya, dia bersikeras menunjukkan sikap keras kepala, tapi ketika dia sendiri yang mengatakannya, hatinya justru merasa tersindir. Harusnya dia baik-baik saja, bukan?

Menahan rasa malu di dadanya, Almaira menegakkan punggung dan berbicara setenang mungkin.

"Ya, rencananya, Aira akan gunakan uang itu untuk memutuskan hubungan dengan Amera. Jadi uang itu pasti sangat berguna."

"Oh? Haruskah aku juga memberikannya dalam bentuk uang tunai seperti mu?"

"Bukan begitu, sekarang Aira menganggap uang itu berasal dari kita berdua, sungguh."

"Menarik."

Yaga tertawa kecil, lalu ekspresinya kembali dingin. Suasana yang tenang semakin memalukan.

Bahkan saat dia berusaha terlihat tenang, keberadaan laki-laki ini benar-benar memalukannya.

Tatapannya begitu tajam, menusuk tepat ke dalam dirinya.

"Kurasa, aku sudah pernah bilang."

"Eh?"

"Kamu payah dalam berbohong."

"...."

"Kalau ingin berbohong, lakukan dengan lebih baik. Kamu bahkan gemetar saat bicara didepan ku. Tapi kamu tidak sadar."

Desahan rendahnya menggema di ruangan yang hening. Yaga menatapnya, seolah dia bisa melihat langsung ke dalam hatinya.

Almaira refleks membuka bibirnya, ingin mengucapkan sesuatu, apa saja untuk tetap menahan rasa malunya. Namun sebelum sempat bicara, suara laki-laki itu memotongnya.

"Almaira" Suara yang kali ini terdengar berbeda. "Apa kamu pernah mengatakan bahwa kamu mencintaiku?"

"… Apa?"

Cinta, katanya.

Kata itu membuat semua hal yang ingin dikatakannya lenyap begitu saja.

Jantungnya serasa jatuh ke dasar perut, matanya membelalak tanpa kendali, dan napasnya tak menentu.

Namun, laki-laki yang baru saja menjatuhkan bom di hadapannya tetap tenang, seolah hanya mengucapkan sapaan biasa.

Suaranya tidak bergetar sedikit pun. "Kamu belum pernah mengatakannya kan?"

Yaga tersenyum kecil, melihat bagaimana Almaira terdiam, seakan jiwanya sudah tercerabut dari tubuhnya.

Tentu saja belum. Itulah yang ingin dikatakan Almaira tapi dia tidak bisa mengatakannya.

Karena jika begitu, lalu apa yang disebutnya selama ini?

Malam-malam di mana dia berada dalam pelukannya, sentuhan yang begitu lembut hingga membuatnya melupakan segala bentuk kesepian yang selama ini menghantuinya, kehangatan yang terasa seolah menelan dirinya sepenuhnya.

Bagaimana mungkin itu bukan cinta?

Hanya karena kata-kata itu belum diucapkan, bukan berarti cinta itu harus di ucapkan.

Dia pun pernah mengucapkannya, bukan dengan suara, tapi dalam hembusan napas di antara malam-malam mereka.

"Meski kamu belum pernah mengatakannya, kamu pasti tahu kamu mencintaiku, kan?"

"....."

"Jadi berhentilah. Jika kamu tahu kamu mencintaiku, setidaknya jangan membohongi ku dengan cara ini."

Yaga menatapnya lekat, seperti meminta jawaban.

Semua kata-kata yang tadi dengan teguh dia lontarkan kini rasanya tak berguna. Seperti debu yang tertiup angin.

Tapi yang lebih memalukan adalah kenyataan bahwa di balik tatapan tajam itu, masih ada pemahaman. Seolah dia bisa melihat dan mengerti semua ketakutan serta pertahanannya yang rapuh.

"Almaira"

Dia menundukkan kepala.

Saat dia menutup matanya, tangan Yaga terulur. Dengan lembut, jari-jarinya mengusap bagian belakang kepalanya, menyelusup di antara helai rambutnya. Sentuhan yang menyakitkan karena begitu penuh kasih.

"Apa alasan sebenarnya? Jika kamu terpaksa harus membohongi ku. Setidaknya berikan aku alasan yang benar."

Yaga menunduk, memastikan mata mereka sejajar.

Saat Almaira tidak segera menjawab, dia bicara lagi, dengan suara tajam, tak memberi ruang untuk menghindar.

"Kata-kata itu. 'menghancurkan mimpiku' dia yang mengatakannya?"

Almaira menggigit bibir bawahnya.

Dia menggeleng perlahan, tapi Yaga hanya tertawa kecil, seolah mengerti bahwa itu adalah kebohongan.

"Kau mengganggu jalanku?"

"…"

"Karena aku sepupu mu?"

"…"

"Jika aku bersamamu, kamu takut kamu merepotkan ku? Begitu?"

Kata-kata itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan Amera. Ucapan tajam yang menekan titik lemahnya, menikam tanpa ampun.

"Dalam hatimu, kamu begitu lemah sampai bisa goyah hanya karena kata-kata seperti itu?"

"Tidak! Aira tidak begitu…"

Almaira menggeleng dengan panik, tapi Yaga hanya tertawa kecil.

"Kalau begitu, apa?"

Dia menunggu.

Bahkan di saat dia ragu, dia memberinya waktu untuk mengatur napas dan menyusun kata-kata yang akhirnya bisa mencerminkan kejujuran hatinya. Namun, ketika akhirnya dia berbicara, suaranya masih bergetar.

"Awalnya… Aira malu kalau ternyata kebenaran yang Kak Yaga maksud akan seperti ini."

"Jadi.. kamu malu padaku?"

"… Iya. Aira malu..."

Nada keraguan dalam suaranya membuat laki-laki itu tersenyum.

"Dan setelah Aira pikirkan berkali-kali, Aira menyadari bahwa Aira terlalu bodoh."

Memang benar

Memikirkannya sekarang, rasanya begitu konyol.

Bahkan Amera mungkin tidak benar-benar percaya dengan kata-kata yang dia ucapkan.

Perempuan itu hanya menggunakan kelemahannya sebagai senjata, memanfaatkan kebaikan hatinya sebagai alat untuk menggertak nya.

"Aira memang bodoh kan?"

Kali ini, suaranya lebih tenang. Karena itu adalah kebenaran yang selama ini dia coba hindari.

Orang yang akan hancur mimpinya dalam kebohongan ini bukanlah dia

Tetapi dirinya.

Dirinya adalah orang yang mudah goyah dan rapuh. Luka lama yang terus menoreh hatinya bahkan setelah tiga tahun, masih membuatnya merasa kecil hati dan tak berarti

Dia menatap Yaga, sangat di sayangkan karena hanya di saat seperti ini dia baru bisa mengakui perasaannya.

"Berbeda dengan Kak Yaga yang terlihat begitu pandai. Kuat tidak muda tergoyahkan. Tidak pernah memiliki satu pun alasan yang bisa membuat Kak Yaga lemah. Aira mencintai Kak Yaga karena itu."

"Dan sekarang?"

"Dan sekarang, melihat Kak Yaga seperti itu justru membuat Aira merasa ada kekurangan. Aira merasa tidak cukup kuat untuk berjalan di samping Kak Yaga. Karena itu.."

Hal yang membuatnya jatuh hati, kini menjadi alasan mengapa dia berbohong.

Almaira tersenyum tulus.

"Aira tidak ingin menjalani hidup ini sebagai 'istri yang tak berguna" yang terus tertatih di samping Kak Yaga. Aira sudah berjuang sejauh ini, Aira tidak ingin kembali ke sana."

"Baik dulu maupun sekarang, aku masih belum bisa tahu apa motifmu yang sebenarnya."

"Lalu apa yang harus Aira lakukan? Aira tidak begitu paham tentang semua ini."

"Kalau aku bisa memastikan, kamu tidak akan mendengar kata-kata seperti itu lagi?"

Dia tidak menjawab.

Sebaliknya, dia memilih untuk mengatakannya dengan cara lain.

"Tiga tahun lalu, Aira ingin berjalan kedepan. Ingin melihat orang-orang yang menyakiti Aira tertinggal di belakang, ingin membalas mereka. Membuat mereka menyesal."

"…"

"Tapi sekarang… Aira hanya ingin disini, ingin berjalan di samping Kak Yaga. Sampai Aira tidak ingin melihat mereka lagi."

"Kamu ingin ikut aku pergi keluar kota?"

Dia sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk pelan.

Tentu saja, dia bisa mengetahuinya.

Laki-laki yang bahkan bisa mengetahui bahwa dia membayar uang lima ratus juta rupiah.

"Jika Aira boleh ikut, Aira ingin pergi."

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka.

Mata Yaga mengunci pandangannya, meruntuhkan semua kebohongan yang dia coba pasang.

Namun, pada akhirnya, dia tersenyum kecil. Sebuah senyuman yang hangat.

Senyuman tulus yang mengisyaratkan sebuah pemahaman.

"Kurasa, itu sesuatu yang perlu kupikirkan lebih lama."

"Ah, benarkah begitu?"

"Hm, kamu bilang ingin mengantarku pergi, tapi kita hanya berdiri di sini dan mengobrol terlalu lama."

"….."

"Ayo pergi. Bukankah kamu ingin mengantarku?"

"Ah, ya.." Almaira mengangguk.

Saat dia melangkah mengikuti Yaga keluar dari ruangan itu, tangan mereka saling bertautan.

Almaira menahan napas.

Dia merasakan getaran samar di tubuhnya, tapi Yaga hanya menoleh sekilas sebelum kembali berjalan.

Mungkin, ini adalah awal mula mereka berjalan berdampingan.

Saat mereka meninggalkan rumah utama, dia tahu bahwa laki-laki itu akan berjalan lebih cepat dan meninggalkannya di belakang.

Dan akhirnya, saat dia menoleh, dia berhenti, memperlambat langkahnya dengan kecepatan yang sama, kemudian dia tersenyum lagi.

Hari ini

Di bawah sinar matahari musim semi, mereka berbagi momen kebahagiaan bersama sejenak untuk pertama kalinya.

Berjalan di bawah sinar matahari sambil bergandengan tangan.

Saling melengkapi, saling mempercayai.

Ini adalah hari keterikatan mereka, mengawali hubungan yang sempurna.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!