Rela melawan dunia hanya untuk melindungi satu wanita yang bernama Aruna.
Leonardo De Satis, Pria penguasa bawah tanah, terobsesi dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan hidupnya di tengah hujan. Namun obsesinya menjadi kelemahan dan target musuh. Demi Aruna, Leonardo melawan dunia, tak memberi ampun siapa pun yang menyentuhnya. Namun kehidupan yang di isi dengan darah Akhirnya membawa luka.
Mampukah Leonardo selamanya melindungi Aruna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Yang Terbelah
Mobil hitam yang dikendarai Elena melaju menembus jalanan Roma yang basah oleh sisa hujan. Lampu-lampu kota memantul di aspal, menciptakan bayangan panjang yang berlari bersama mereka.
Aruna duduk di kursi penumpang dengan tangan gemetar. Matanya tak bisa lepas dari kaca spion, seakan setiap mobil yang mengikuti adalah bayangan De Santis yang siap mencengkeramnya kembali.
“Tenang,” suara Elena datar tapi lembut, tangannya mantap di setir. “Kita sudah di luar jangkauan mansion. Marco tidak mengejar.”
Aruna menoleh cepat. “Kau tahu Marco?”
Elena tersenyum samar. “Aku tahu semua orang yang ada di sekeliling Leonardo. Marco… orang kepercayaannya, bukan?”
Aruna menunduk, hatinya campur aduk. Marco memang membuka pintu untuknya. Tanpa pria itu, mungkin ia masih terjebak di kamar emas itu. Tapi di sisi lain, ia tahu Marco tetap bagian dari dunia Leonardo. Apakah dia akan membocorkan ini? pikirnya, hati kembali gelisah.
---
“Elena…” suara Aruna bergetar.
“Aku… aku tidak tahu apakah ini benar. Aku meninggalkannya tanpa kata. Dia pasti akan marah. Dia pasti…”
Elena memotong cepat, “Dia akan mencarimu, Aruna. Dan dia tidak akan berhenti. Itu sebabnya kau harus kuat. Aku ada di sisimu, tapi keputusan tetap ada padamu. Kau ingin hidup bebas, atau kembali ke sangkar?”
Air mata mengalir di pipi Aruna. Kata-kata Elena seperti tamparan. Ia teringat janji Leonardo: ‘Aku akan lindungi kau sampai semua musuh lenyap.’ Tapi janji itu lebih terdengar seperti penjara seumur hidup.
“Aku ingin bebas…” bisik Aruna akhirnya, hampir tak terdengar.
Elena meliriknya sebentar, lalu menginjak pedal lebih dalam. “Kalau begitu, jangan menoleh lagi ke belakang.”
---
Mobil berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dari luar tampak kumuh, tapi begitu pintu besi terbuka, di dalamnya tersusun rapi peralatan elektronik, layar besar, dan beberapa agen bersenjata.
“Selamat datang di markas bayangan,” ujar Elena, membantu Aruna turun.
Aruna melangkah masuk dengan ragu. Semua mata menatapnya, sebagian dengan rasa ingin tahu, sebagian dengan kecurigaan.
Elena segera menenangkan. “Dia bukan tahanan. Dia kunci kita.”
Seorang pria berwajah keras mendengus. “Kunci? Atau bom waktu? Jika Leonardo tahu dia ada di sini, kita semua akan jadi mayat.”
Elena menatapnya tajam. “Kalau kau tidak sanggup menanggung risiko, keluar. Operasi ini milikku.”
Pria itu mendiam. Aruna menelan ludah. Ia merasa bukan hanya Leonardo yang menakutkan, tapi juga dunia baru yang kini menjeratnya.
---
Aruna diberi kamar kecil dengan ranjang sederhana. Malam itu, ia berbaring tapi matanya tak bisa terpejam. Bayangan Leonardo memenuhi pikirannya—tatapannya, genggaman tangannya, suaranya yang berat ketika berkata “Kau segalanya bagiku.”
Air mata kembali jatuh. Aku mencintainya… tapi aku juga membencinya.
Ponselnya sudah diambil Elena. Ia tahu, jika ponsel itu masih bersamanya, ia mungkin sudah menekan nomor Leonardo. Ia ingin mendengar suaranya, ingin menjelaskan, ingin berteriak maaf. Tapi bagian lain dari dirinya berkata: Jangan bodoh. Itu artinya mati.
Di luar kamar, Elena berjaga. Ia tahu malam pertama adalah yang paling berbahaya. Jika Aruna goyah, semua rencana bisa runtuh.
---
Sementara itu, di mansion De Santis, Leonardo duduk di ruang kerja. Jam menunjukkan pukul tiga pagi, tapi matanya masih tajam, menatap kosong ke segelas anggur yang tak disentuh.
Marco masuk dengan langkah berat. “Bos… saya sudah cek. Aruna tidak ada di mansion.”
Leonardo tidak menjawab. Hanya suara detak jam antik yang terdengar.
“Bos…” suara Marco lebih lirih, “mungkin dia hanya ingin udara segar. Saya yakin dia—”
BRAK! Gelas anggur pecah di lantai. Leonardo berdiri, wajahnya pucat tapi matanya menyala penuh amarah.
“Jangan bohong padaku, Marco.” Suaranya rendah, tapi tajam seperti pisau. “Kau yang jaga malam ini. Kau yang buka pintu.”
Marco menunduk, keringat dingin menetes. Ia tidak bisa menyangkal.
Leonardo mendekat, napasnya berat. “Kenapa?”
Marco menggertakkan gigi, lalu menjawab dengan suara parau. “Karena dia bukan milik kita, Bos. Dia manusia, bukan boneka.”
Leonardo menutup mata sebentar, lalu tertawa kecil—tawa yang lebih mirip suara binatang terluka. “Pengkhianatan…” gumamnya.
---
Pagi menjelang, Leonardo sudah memberi perintah. Seluruh jaringan informannya digerakkan. Foto Elena Varga dan Aruna disebarkan. Setiap sudut Roma, setiap bandara, setiap pelabuhan—semua dipenuhi mata-mata De Santis.
“Temukan dia,” perintah Leonardo dengan suara dingin. “Hidup-hidup. Siapa pun yang menyentuh Aruna tanpa izinku, mati.”
Marco berdiri di belakang, diam. Ia tahu amarah Leonardo kali ini bukan sekadar amarah biasa. Ini obsesi yang berubah menjadi api.
---
Di markas Interpol, Aruna duduk di depan cermin kecil. Ia melihat bayangan dirinya: wajah lelah, mata bengkak, rambut berantakan. Ia hampir tidak mengenali siapa yang menatap balik.
Elena masuk, membawa secangkir teh hangat. “Minumlah. Kau butuh tenaga.”
Aruna menggenggam cangkir itu, tapi tidak meminumnya. “Elena… apa aku melakukan kesalahan? Dia pasti mencari aku. Dia pasti hancur.”
Elena menatapnya dalam. “Aruna, kau bukan penyebab kehancurannya. Dia sudah hancur sejak lama. Kau hanya jadi alasan agar dia tetap merasa hidup. Itu bukan cinta, itu belenggu.”
Aruna menggigit bibir, air matanya jatuh ke permukaan teh. Tapi aku tetap mencintainya… batinnya, namun kata-kata itu tak sanggup keluar.
---
Hari-hari berikutnya dipenuhi pelarian. Aruna dan Elena harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain: apartemen kecil di Trastevere, rumah kosong di pinggiran Florence, hingga kapal feri menuju Sisilia.
Setiap kali hampir merasa aman, selalu ada bayangan yang mengikuti. Lelaki asing yang terlalu lama duduk di kafe, motor yang melaju terlalu pelan di belakang mobil, atau suara langkah di gang sempit.
Leonardo seakan selalu satu langkah di belakang.
Aruna semakin letih. “Aku tidak kuat lagi, Elena. Aku merasa seperti buruan.”
Elena menggenggam bahunya. “Karena memang begitu. Tapi ingat, setiap langkah menjauh darinya, kau semakin dekat dengan kebebasan.”
Aruna menatapnya dengan mata kosong. “Atau semakin dekat dengan kematian.”
---
Di Palermo, Elena akhirnya memutuskan membawa Aruna ke safe house yang lebih terlindungi. Tapi Leonardo sudah mencium jejak. Salah satu informannya melaporkan keberadaan mobil hitam yang cocok dengan ciri milik Elena.
Leonardo berdiri di dermaga, angin laut menerpa jas hitamnya. Senyum dingin mengembang di bibirnya.
“Aruna… kau pikir bisa lari dariku?”
---
Safe house di Palermo berupa vila tua yang sunyi, dikelilingi kebun zaitun. Malam itu, Aruna duduk di balkon kecil, menatap bintang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa bisa bernapas sedikit lebih lega.
Namun perasaan itu tidak bertahan lama. Dari kejauhan, ia mendengar suara mesin mobil mendekat. Banyak mobil.
Jantungnya berhenti sejenak.
“Elena…” suaranya panik. “Ada yang datang.”
Elena langsung berdiri, wajahnya berubah tegang. Ia berlari ke ruang monitor. Layar menampilkan beberapa SUV hitam berhenti tak jauh dari vila.
“Itu dia…” bisik Elena.
---
Sementara itu, di salah satu SUV, Leonardo duduk di kursi belakang. Wajahnya dingin, matanya hanya tertuju ke arah vila.
Di tangannya, sebuah foto Aruna yang ia ambil dari kamar. Tangannya gemetar, bukan karena ragu, tapi karena amarah bercampur rindu.
“Aruna…” suaranya serak. “Kau sudah memilih pengkhianatan. Tapi aku akan tetap menjemputmu pulang. Bahkan jika aku harus membakar seluruh dunia ini.”
---
Di vila, Aruna berdiri di balkon, wajahnya pucat saat melihat bayangan mobil-mobil hitam berhenti.
“Elena…” suaranya bergetar. “Dia sudah datang.”
Elena menggenggam pistol di tangannya. “Maka malam ini, pertarungan kita dimulai.”
Lampu-lampu mobil menyala terang, menerangi vila tua itu seperti panggung eksekusi.
Dan di dalam SUV, Leonardo membuka pintu, melangkah keluar dengan tatapan penuh api.
Langkah-langkahnya bergema di malam sunyi, membawa satu kenyataan: pelarian Aruna hampir berakhir.