"Cinta bukan hanya tentang rindu dan sentuhan. Tapi juga tentang luka yang diwariskan, dan rahasia yang dikuburkan."
Kael Julian Dreyson.
Satu pria, dua identitas.
Ia datang ke dalam hidup Elika Pierce bukan untuk mencintai ... tapi untuk menghancurkan.
Namun siapa sangka, justru ia sendiri yang hancur—oleh gadis yang berhasil membuatnya kehilangan kendali.
Elika hanya punya dua pilihan :
🌹 Menikmati rasa sakit yang manis
atau
🌑 Tersiksa dalam rindu yang tak kunjung padam.
“Kau berhasil membuatku kehilangan kendali, Mr Dreyson.” — Elika Pierce
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sheninna Shen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana yang Menjadi Cinta
...❤︎...
..."Awalnya aku ingin menghancurkanmu. Tapi ternyata … aku sendiri yang hancur."...
...❤︎...
Elika masih berdiri. Tak sedikit pun bergeser dari posisinya sejak pengakuan itu dilontarkan. Anggur di gelasnya tetap utuh. Tak tersentuh. Seperti hatinya malam ini.
“Aku cuma ingin tahu satu hal,” ucapnya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup tajam untuk mengiris keheningan.
Kael mendongak. Matanya menatap Elika … tapi tak langsung menjawab. Ada sorot lelah di sana. Mata yang tadinya dingin dan tajam, kini tampak seperti menyimpan hujan yang tak pernah jatuh. Seolah pria itu … takut kehilangan satu-satunya hal yang baru saja membuatnya merasa hidup.
“Logan …,” ucap Elika. “Sejak kapan dia tahu semua ini?”
Kael tak langsung menjawab. Ia menunduk, menatap cairan merah di gelasnya yang kini terasa hambar. “Sejak kami masih anak-anak. “Sejak hari itu ... hari saat Ibu meninggal. Hari ketika hidup kami berdua berubah selamanya.”
Suara Kael lirih, tapi jelas. “Ayahnya … juga korban Conner. Dia tahu aku kehilangan segalanya. Dan kami … tumbuh bersama. Dalam diam. Dalam dendam.”
Elika diam. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan, tapi jelas sekali pikirannya sedang menimbang sesuatu. “Jadi, malam itu Logan ikut bersamamu ke Jerman?”
Kael mengangguk pelan. “Ayah Logan adalah supir keluarga kami. Dia juga jadi korban. Dia tahu terlalu banyak soal urusan Conner. Dan itu membuatnya berbahaya.”
“Jadi kalian tumbuh bersama?” tanya Elika. “Di bawah pengawasan kakekmu?”
Kael mengangguk. “Kami tumbuh dalam diam. Dalam kehilangan. Dalam rencana yang tak pernah kami ucapkan.”
“Kami tahu bahwa kami sama-sama ingin membalaskan semua luka itu,” imbuhnya.
“Dan aku?” suara Elika nyaris berbisik. “Aku bagian dari rencana itu?”
Kael menghela napas. Wajahnya tak lagi menyembunyikan rasa bersalah. “Awalnya, ya.”
Elika menutup mata sejenak, seolah mencoba mencerna kenyataan yang mengguncang hatinya.
“Tapi semuanya berubah … sejak aku menyentuhmu pertama kali,” lanjut Kael. “Sejak kau menatapku dengan mata yang seharusnya penuh kebencian, tapi justru menawarkan harapan.”
Elika membuka mata. Tatapannya dingin—tapi tidak marah. Dia tidak menghindar. Tapi dia menatap Kael dengan sangat dalam.
“Berarti aku hanya bagian dari rencana awal kalian,” ucapnya pelan. “Tapi sayangnya, aku jatuh cinta. Pada pria yang seharusnya menjadi musuhku.”
Kael melangkah pelan. Tak mendekap. Hanya mendekat. “Dan aku … jatuh cinta pada gadis yang seharusnya kubenci.”
Hening. Tapi bukan hening kosong. Hening yang penuh luka, dan kejujuran yang tak bisa dicabut kembali.
Kael menarik napas panjang.
“Ayahku, Paul Friedrich … meninggal karena Conner. Tapi mereka menutupinya sebagai kecelakaan. Mobilnya dibakar, setelah remnya dirusak. Semua seolah kecelakaan tunggal. Tapi kami tahu siapa pelakunya.”
Sorot mata Kael mengeras. “Dan ibuku ... menggantung dirinya beberapa hari setelah itu.”
Elika masih diam. Tapi bibirnya mengerucut pelan. Napasnya terdengar lebih berat. “Aku nggak tahu harus benci atau tetap bertahan,” bisiknya. “Tapi aku tahu satu hal, Kael ….”
Kael menatapnya dalam-dalam.
“Jangan pernah sembunyikan apa pun lagi dariku. Bahkan jika itu membuatku hancur.” Elika meletakkan gelas anggurnya di meja kecil di samping ranjang. Tidak meninggalkan Kael. Tapi juga belum menyentuhnya.
“Aku butuh waktu. Untuk memahami semua ini. Tapi jika aku memutuskan untuk tetap bersamamu … aku akan tahu semua hal, bahkan yang paling gelap sekalipun.”
Kael mengangguk. Diam. Tapi dari sorot matanya, dia mengerti.
Dan malam itu, tanpa pelukan, tanpa ciuman, tanpa pelarian. Cinta mereka tetap berdiri. Di atas puing-puing luka yang belum sepenuhnya usai.
Beberapa menit kemudian, Elika menarik napas panjang. “Aku mau mandi.”
Elika melangkah menuju kamar mandi. Tapi sebelum benar-benar masuk, ia menoleh sebentar. “Boleh aku pinjam bajumu?”
Kael sempat menatapnya selama beberapa detik. “Ambil saja yang kau suka.”
Gadis itu mengangguk. Lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.
Air menyala. Suara gemericik mengisi ruang yang sebelumnya penuh dengan keheningan emosional. Sementara Kael duduk di sofa panjang dekat ranjangnya. Ia menatap ke luar jendela, seolah ingin membiarkan malam berbicara lebih banyak dari dirinya.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Uap hangat keluar bersamaan dengan langkah pelan Elika yang kini hanya dibalut handuk putih besar. Dengan rambut yang masih basah dan wajah yang segar, ia berjalan ke arah ruang pakaian Kael.
Elika terpaku. Tak bisa berkata-kata. Ia menatap seisi ruang pakaian yang besar itu sesaat sebelum ia keluar untuk memanggil Kael. “Kael … sepertinya Logan berlebihan.”
Kael menoleh, lalu ia bangkit dan menghampiri. Namun saat melihat isi ruang pakaian miliknya, dia ikut terpaku.
Rapi. Sudah ditata. Dua per tiga ruangan itu diisi dengan pakaian wanita. Bukan pakaian miliknya. Ada puluhan outfit perempuan. Mulai dari piyama sutra, camisole tipis, bahkan hingga pakaian casual dan gaun-gaun indah tergantung di lemari dinding itu.
Elika menjulurkan tangan, menyentuh sebuah camisole satin berwarna ungu gelap. Lembut. Dingin. Ia mengangkatnya setengah hati, lalu buru-buru meletakkannya kembali saat menyadari bahan itu terlalu … transparan. Hampir tidak menyisakan misteri.
Pipi Elika memerah, entah karena malu atau kesal. Atau mungkin keduanya. Tangannya kembali menyapu bagian gantungan. Satu persatu pakaian yang tak pernah ia pesan, tak pernah ia bayangkan ... tapi kini tergantung di tempat yang disebut Kael sebagai miliknya.
Kael mengerutkan alis saat melihat ke beberapa pakaian berenda yang sangat vulgar. Ada berbagai macam warna dan gaya.
“Elika ….” katanya pelan. “Ini bukan aku.”
Elika menoleh cepat. “Kael—"
Belum sempat Elika menjelaskan, Kael sudah lebih dulu membalikkan tubuhnya. Pria itu berjalan ke panel dinding, lalu menekan bel otomatis yang terhubung ke lantai bawah.
Tak lama, seorang asisten rumah tangga muncul di layar kecil. “Ya, Mr. Dreyson?”
“Siapa yang mengatur ruang pakaianku?” tanya Kael dingin.
“Logan, Mr. Greyson. Dia yang mengantar belanjaan dari Mall of Berlin kemarin. Katanya ... baju-baju itu untuk Ms. Pierce.”
Kael menghela napas dalam. Sementara Elika ... wajahnya memerah karena malu. Sejak tadi ia menahan Kael karena ingin menjelaskan. Tapi, pria itu langsung pergi dan tak memberikannya kesempatan.
“Aku sudah mengatakan pada Logan untuk membeli beberapa saja. Tapi dia … dia malah memanfaatkan kartu hitam milikmu,” sesal Elika tak sedap hati.
“Besok, aku akan mengembalikan semua pakaian ini dan—”
“Biarkan saja,” potong Kael sambil berbalik badan menuju ke pintu keluar ruang pakaian. “Ruang kosong itu memang sudah kusediakan untukmu.”
Saat Elika mematung karena ucapan Kael, saat itu juga Kael menyeringai tipis. Ada sebuah senyuman lega yang menghiasi wajah tampannya. Tanpa harus bersusah payah, Logan sudah membuat khayalannya menjadi kenyataan.
“Ruang pakaian, apa itu idemu?” Kael mengirimkan pesan singkat kepada Logan.
Selang beberapa detik kemudian, ada balasan dari Logan. “Ya. Bagaimana? Kau suka?”
“Bonus bulan ini lima kali lipat.” Kael mengirimkan pesan itu sambil tersenyum sumringah.
...❤︎❤︎❤︎...
...To be continued .......
But love can also be a disaster due to the hatred and resentment that lingers....
Lagian ku merasa hidup lu ga pantas utk bersanding dengan Kael bukan..
ditambah finansial orangtua lu udh ga menunjang utk hidup hadon, pergi jauh-jauh..
support dr anak satu-satunya akan lebih dibutuhkan untuk orangtuamu..
Dan tinggalkan Kael dengan seribu penyesalan terdalam karena terlalu sibuk dengan mendendam.
Indeed Love and hate have equal emotional intensity, but opposite directions, and one can swiftly turn into the other with betrayal or heartbreak