Lina dokter muda dari dunia modern, sang jenius harus meninggal karena kecelakaan tunggal, awalnya, tapi yang sebenarnya kecelakaan itu terjadi karena rem mobil milik Lina sudah di rusah oleh sang sahabat yang iri atas kesuksesan dan kepintaran Lina yang di angkat menjadi profesor muda.
Tapi bukanya kelahiran ia justru pergi kedunia lain menjadi putri kesayangan kaisar, dan menempati tubuh bayi putri mahkota.
jika ingin kau kelanjutannya ayo ikuti terus keseruan ceritanya, perjalan hidup sang putri mahkota
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Gemerisik suara memenuhi aula. Tapi sebelum keraguan tumbuh, Shuwan melangkah maju, menjulurkan pedang naga yang bersinar biru-perak.
“Ini bukan tentang gelar atau darah kerajaan. Ini tentang hidup dan mati. Tentang cahaya yang kita pilih untuk nyalakan, atau kegelapan yang akan memakan segalanya.”
Dan tak ada satu pun yang berani membantahnya.
Tiga hari kemudian, pasukan elit Dawei dikirim dalam diam ke titik-titik penting. Shuwan dan Feng Aoren memimpin tim pengintai untuk mencari titik terbuka menuju Gerbang Malam. Di salah satu lembah terpencil yang dulu merupakan tempat pertapaan kuno, mereka menemukan sesuatu yang mengguncang hati.
“Ini... bekas upacara pemanggilan,” kata Aoren, menggali lambang lingkaran hitam di tanah.
Shuwan berlutut, jari-jarinya menyentuh tanah hangus. “Mereka sudah memanggilnya.”
Dan saat mereka kembali ke atas bukit, kabut ungu menyelimuti lembah. Lalu, suara teriakan terdengar dari arah belakang pasukan mereka.
“Iblis bayangan!” teriak seorang prajurit.
Dari balik pepohonan, makhluk-makhluk tinggi berjubah gelap, mata merah menyala, dan cakar tajam melompat keluar. Mereka tak mengincar para pendekar... mereka mengincar anak-anak desa yang tinggal di bawah kaki bukit.
Shuwan mengangkat tangannya. Pedang naga muncul dalam cahaya. “Semua, lindungi warga sipil!”
Phoenix Api meluncur bagaikan meteor merah, menghanguskan barisan musuh. Phoenix Es melayang rendah, membekukan kaki para iblis dalam satu kepakan. Aoren melompat ke tengah musuh, satu ayunan tangan membuat tiga iblis meledak menjadi debu.
“Aku akan lindungi sisi kiri!” teriak Aoren.
Shuwan menyeruak ke depan, pedangnya membelah kabut. Setiap tebasannya mengandung cahaya murni. Teriakan iblis menggema ketika tubuh mereka terpecah menjadi percikan gelap yang menguap ke udara.
Satu per satu makhluk iblis tumbang. Tapi pemimpin mereka—berjubah merah darah, dengan tanduk melengkung dan jubah api hitam—muncul di atas bebatuan tinggi.
“Putri Cahaya,” suaranya dalam dan serak, “kau boleh menghancurkan pasukanku. Tapi aku akan datang... ketika semua orang yang kau cintai mulai lenyap satu per satu.”
Seketika, tubuhnya berubah menjadi bayangan kabut dan menghilang ke langit sebelum bisa disentuh.
Shuwan mengepalkan tangan. “Dia kabur...”
Aoren mendekat. “Kita tak bisa menangkap semuanya. Tapi kita sudah menyelamatkan mereka.”
Penduduk desa mulai berdatangan, membungkuk dalam hormat dan syukur. Anak-anak berlari ke arah Shuwan, memeluk pinggangnya.
“Terima kasih, Putri Cahaya!” seru mereka.
Dan untuk pertama kalinya sejak kembali, Shuwan tersenyum tanpa beban.
Malam itu di markas perkemahan pasukan, Shuwan duduk di dekat api unggun. Aoren duduk tak jauh darinya.
“Kau lelah?” tanyanya.
Shuwan mengangguk. “Lelah... tapi bahagia. Aku tidak menyangka melihat wajah-wajah yang kuselamatkan bisa membuatku merasa sekuat ini.”
“Karena di situlah kekuatan cahaya,” ujar Aoren. “Ia tumbuh bukan dari perang, tapi dari harapan.”
Shuwan menoleh padanya. “Kau selalu tahu kata yang tepat.”
Aoren menunduk, sedikit tersenyum. “Itulah kenapa aku ada di sini.”
Dan tanpa mereka sadari, cahaya api unggun di antara mereka seolah membentuk lingkaran hangat yang tak bisa ditembus oleh bayangan mana pun.
Fajar baru menyelimuti perkemahan pasukan. Kabut tipis belum sepenuhnya terangkat, namun markas utama sudah hidup dengan aktivitas. Shuwan berdiri di depan meja kayu besar yang dipenuhi peta dan gulungan pesan. Di sampingnya, Feng Aoren mempelajari pola pergerakan musuh yang tergambar dengan tinta merah.
“Kita sudah melumpuhkan tiga titik persembunyian mereka, tapi yang paling penting masih tersembunyi,” kata Shuwan sambil menunjuk lingkaran gelap di peta. “Gerbang Malam. Kita masih belum tahu pasti di mana letaknya.”
Han Juan, yang baru tiba dari pos pantau barat, meletakkan kantong kulit kecil di meja. “Kami menangkap salah satu pemimpin bayangan. Sebelum mati, dia sempat menyebutkan sebuah nama: ‘Danau Hitam’. Kami yakin, itu bukan hanya tempat, tapi gerbangnya sendiri.”
Feng Aoren mengerutkan dahi. “Danau Hitam… itu tempat terlarang di peta kuno. Bahkan Phoenix tidak pernah mendekat ke sana.”
Shuwan menatap ke kejauhan. “Kalau begitu, kita harus ke sana.”
Perjalanan menuju Danau Hitam bukan sekadar perjalanan biasa. Wilayah itu telah lama dilupakan, ditinggalkan, dan dikelilingi oleh hutan dengan ilusi mematikan. Bahkan waktu terasa tak berlaku di sana.
Di hari keempat perjalanan, Phoenix Api berhenti mendadak di udara. Kepaknya panik, api tubuhnya meredup.
“Ada yang tak beres,” ucapnya.
Mereka telah mencapai batas hutan kelam. Langit di atas mereka menjadi abu-abu, dan aroma logam tajam menusuk indera.
Feng Aoren menggenggam tangan Shuwan. “Jangan lepaskan aku, tidak peduli apa pun yang kau lihat.”
Shuwan mengangguk, lalu melangkah ke dalam hutan, diikuti Phoenix Api dan Es yang menyempitkan bentuk mereka menjadi lebih kecil.
Saat langkah pertama masuk, ilusi mulai memainkan peran. Tanah berubah menjadi cermin. Pepohonan menjadi bayangan. Udara dipenuhi suara-suara dari masa lalu.
“Shuwan…” suara lembut memanggil dari kejauhan.
Ia menoleh. “Itu… suara ibuku?”
Tapi Aoren menariknya cepat. “Itu bukan dia. Itu ilusi. Hutan ini mengambil bentuk dari kenangan terdalammu.”
Tak lama kemudian, Aoren sendiri mulai goyah.
“Kau gagal menyelamatkan mereka…” suara berat menggema di sekelilingnya.
Ia menggertakkan gigi. “Diam!”
Shuwan memeluknya dari belakang. “Itu bukan kenyataan. Kau bersamaku. Kau tak sendiri.”
Kedua Phoenix memutar di atas kepala mereka, lalu menyatu dalam satu kepakan besar, menciptakan gelombang cahaya yang melenyapkan ilusi untuk sesaat.
Dalam celah kebenaran itu, mereka melihatnya—Danau Hitam.
Danau itu tidak memantulkan apa pun. Permukaannya sehitam batu bara, seperti lubang tanpa dasar. Di tengah danau, terdapat gerbang batu raksasa yang mengambang di udara, terikat rantai-rantai hitam dan sihir kuno.
Shuwan menunduk, menyentuh tanah. Cahaya dari tubuhnya menyebar seperti akar emas, menyentuh danau.
“Aku bisa merasakannya. Gerbang itu… sudah retak. Mereka hanya butuh pengorbanan besar untuk membukanya sepenuhnya.”
Feng Aoren menatap danau dengan tajam. “Mereka akan mencari sesuatu yang sangat kuat… atau sangat murni.”
“Sepertiku,” gumam Shuwan.
Phoenix Api mengangguk. “Atau seseorang sepertimu dan Aoren… jika salah satu dari kalian jatuh ke tangan mereka, gerbang itu akan terbuka dengan mudah.”
Malam itu, mereka membuat perkemahan kecil tak jauh dari danau. Sinar api unggun terasa kecil dibanding kegelapan yang mengelilingi.
Feng Aoren duduk di sisi Shuwan, menatap langit yang gelap tak berbintang.
“Kau tahu,” katanya pelan, “aku dulu hidup di masa ketika cahaya dan kegelapan bertarung secara seimbang. Tapi sekarang… rasanya kegelapan terus mengejar kita.”
Shuwan menoleh padanya. “Tapi aku tidak akan lari. Aku akan terus berdiri, sampai akhir.”
Feng Aoren mengangguk. “Kalau begitu, aku akan berdiri di sampingmu. Tidak peduli seberapa gelap dunia ini, selama kau tetap bersinar, aku akan jadi pedangnya.”
Mereka saling menatap—mata cahaya bertemu mata luka. Di antara mereka, kepercayaan tumbuh tanpa perlu sumpah, tanpa janji kosong. Hanya keberanian dan hati yang sama.
Tiba-tiba, tanah bergetar.
Boom!
Ledakan hitam menyembur dari danau. Rantai-rantai gerbang mulai pecah satu per satu. Suara jeritan ribuan iblis menggema dari dalam.
“Mereka mulai membuka gerbang!” seru Phoenix Es.
Shuwan berdiri, pedang naga muncul di tangan.
“Aku tidak akan membiarkan mereka membuka jalan menuju kehancuran. Jika ini akhir dunia, maka aku akan jadi dinding terakhirnya.”
Feng Aoren berdiri di sampingnya, membentuk cahaya perisai biru di tangannya.
“Mari kita tutup gerbang malam… sekali untuk selamanya.”
Dan dengan itu, mereka melangkah maju, menuju takdir yang hanya bisa dihadapi oleh dua cahaya yang bersatu.
Bersambung
selalu suka dengan kata² nya yang indah dan ceritanya yang menarik 😍