Bianca Mith. Doktor muda arogan yang selalu saja mencari masalah setiap hari saat sedang bekerja. Ayahnya yang seorang pebisnis terkenal tidak tahan dengan kelakukan anaknya itu. Maka dari itu perjodohan itu diadakan.
Bianca menikah dengan Aether Beatrice. Dosen muda dari Universitas Mith. Sesuai kesepakatan awal, beberapa tahun setelah menikah, salah satu dari mereka harus mengorbankan cita-cita mereka untuk memimpin perusahaan keluarga.
Namun tepat setelah satu hari setelah pernikahan, Aether baru mengetahui bahwa ia memiliki penyakit serius pada bagian otaknya. Membuat Aether akan kehilangan sedikit demi sedikit ingatannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athena_Shou, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Festival Tahunan (2)
Bianca terpesona dengan seluruh hal yang ada di festival tahunan Desa NorthWest. Stand-stand kecil yang tertata rapi dengan hiasan dua lampion terang di setiap standnya membuat tempat itu menjadi terang benderang.
Bianca menatap ke arah Aether saat merasa ada sebuah sentuhan kecil pada bagian lengannya. Dan ia melihat Aether menggunakan sebuah ranting untuk memberikan sentuhan kecil.
"Peganglah, semakin malam tempat ini akan semakin ramai. Jika kamu terpisah dariku, aku akan kesulitan mencarimu," ujar Aether mendekatkan ujung ranting ke arah Bianca.
Ini akan terlihat aneh. Mereka sepasang suami istri. Berpegangan tangan untuk tetap bisa berjalan beriringan adalah hal yang wajar. Namun Bianca sudah menetapkan aturan untuk Aether. Tidak boleh menyentuh tubuh Bianca dan tidak boleh jatuh cinta pada Bianca.
Aether tidak melupakan hal itu. Maka dari itu, Aether mencari alternatif lain supaya mereka masih bisa terikat satu sama lain tanpa harus bersentuhan. Yaitu dengan cara memegang ranting yang sama. Aether memegang ujung ranting dan Bianca memegang ranting satunya.
Bianca memegang ranting itu. Dan Aether mulai melanjutkan langkahnya. Dengan sesekali melirik ke arah Bianca untuk memastikan istrinya itu masih memegang ranting dan tidak terpisah dengannya.
"Ada banyak kecil di sini," ujar Bianca melihat ada banyak sekali anak kecil yang berlarian.
"Tentu saja. Kebanyakan dari mereka datang bukan untuk membeli makanan atau mencoba permainan. Mereka datang untuk melihat kembang api," jawab Aether mengamati anak-anak kecil di sekitarnya.
"Ada banyak makanan juga," lanjut Bianca menatap kagum stand-stand yang berada di pinggir.
"Yang membuka stand makanan itu warga daerah di sini. Saat pagi sampai sore mereka mencari ikan di pantai yang ada di dekat sini. Dan jadi daging yang mereka gunakan untuk memasak bisa dibilang masih sangat segar. Apakah ada yang ingin kamu beli?"
"Aku tidak tau. Semuanya terlihat enak bagiku."
"Bagaimana dengan obanyaki? Itu makanan Jepang. Isinya seperti kacang merah. Aku selalu meminta itu pada ibuku saat datang ke sini."
"Apakah enak?"
"Aku rasa, kamu harus mencobanya sendiri."
Aether menghentikan langkahnya. Mengamati satu demi satu stand makanan yang ada. Mencari stand yang menjual makanan yang tadi ia maksud. Sampai pada pandangannya tertuju pada satu stand. Dengan spanduk berwarna merah dengan tulisan huruf Jepang.
Aether berjalan ke sana. Bianca yang merasa ranting kayu ditarik juga mulai melangkahkan kakinya mengikuti ke mana Aether pergi.
Sampai pada mereka salah satu stand yang memang khusus menjual makanan-makanan Jepang. Seorang laki-laki paruh baya bertubuh gemuk dengan handuk digunakan sebagai ikat kepala berdiri menyambut kedatangan Aether dan Bianca.
"Ah, Tuan Muda. Kapan kamu sampai ke sini? Kenapa kamu tidak mengabariku lebih dulu? Jika aku tau kamu datang, aku akan menyuruh para petani untuk datang ke rumahmu," ujar penjual itu dengan penuh semangat.
"Tuan Muda?" tanya Bianca menatap Aether kebingungan.
"Ah, dia salah satu pekerja di sawah yang aku beli. Aku menyisihkan sedikit gajiku untuk membeli sawah, perkebunan, dan membangun peternakan. Apakah ibuku belum memberitahumu?" tanya Aether menunjuk penjual itu dan menatap Bianca.
"Maaf, tapi aku lupa namamu," jawab Aether menatap penjual gendut itu.
"Raku. Aku yang bertanggung jawab mengelola hasil panen," ujar penjual itu membusungkan dadanya.
"Nah, dia namanya Raku," ujar Aether kembali menatap Bianca.
"Aku bisa mendengarnya bodoh. Kamu tidak perlu mengulanginya lagi," jawab Bianca sinis.
"Jadi, makanan apa yang Tuan Muda inginkan?" tanya Raku.
"Obanyaki tiga," jawab Aether menunjukkan ketiga jarinya.
"Obanyaki? Kamu sama sekali tidak berubah. Selalu saja membeli itu saat datang ke sini. Dari kecil sampai kamu sudah menikah," ujar Raku tertawa kecil.
Raku mulai membuatkan pesanan Aether. Sedangkan Aether mencoba mengamati seluruh orang yang berlalu lalang. Mereka masih memiliki banyak waktu sebelum kembang api dinyalakan. Mereka masih memiliki banyak kesempatan untuk memainkan beberapa permainan dan membeli beberapa makanan lagi.
"Apakah kalian sedang kencan?" tanya Raku.
"Bisa dibilang seperti itu. Pekerjaan kami sangat dapat setelah menikah. Ini pertama kalinya, kami liburan bersama," jawab Aether kembali memandang ke arah Raku.
"Bulan madu, 'ya? Menurutku, saat-saat seperti ini akan menjadi kenangan terindah dalam kehidupan pernikahan kalian. Menghabiskan waktu berdua dalam kondisi masih saling mencintai dan belum menemukan banyak masalah rumah tangga. Tidak ada yang menganggu kebahagiaan kalian," jelas Raku.
"Bagaimana menurutmu, Tuan Puteri? Bukankah Tuan Muda kami sangat baik? Semua petani, nelayan, dan pekerja ladang yang ada di sini sangat menghormatinya," ujar Raku tersenyum ke arah Aether.
"Dia cukup baik, jika dia menghilangkan sikap jahilnya," jawab Bianca melirik Aether.
"Dengarkan kata istrimu, Tuan Muda. Kamu sudah menikah sekarang. Kamu harus menghentikan sikap jahilmu itu," tegur Raku.
"Aku sudah seperti ini sejak lahir. Mana mungkin aku menghilangkannya," keluh Aether.
"Benarkah? Bukankah itu mudah? Kamu hanya perlu menjadi sedikit lebih dewasa dan berhenti membuang tenagamu untuk hal yang tidak perlu. Kamu sudah menikah. Kamu akan memiliki anak sebentar lagi. Kamu harus menjaganya dan mendidiknya. Anakmu akan meniru sifat jahilmu jika kamu terus seperti ini," ujar Raku.
"Benar juga," jawab Aether dengan tatapan kosong.
Anak. Tentu saja Bianca dan Aether tidak akan sampai ke titik itu. Mereka akan berpisah saat mendapatkan kesempatan. Dan mereka akan melupakan segala hal yang pernah terjadi di antara mereka.
"Ini dia, tiga obanyaki," ujar Raku mengarahkan wadah yang berisikan pesanan Aether ke arah Bianca.
"Oh, iya. Raku. Apa rumah kosong yang ada di dekat lahan peternakan sudah ada pemiliknya?" tanya Aether mengeluarkan dompetnya.
"Sepertinya belum. Aku jarang sekali ke daerah peternakan. Tapi tenang saja, aku akan memberitahumu besok pagi," jawab Raku.
"Ini untuk makanannya," ujar Aether menyerahkan dua lembar uang.
"Ah, Tuan Muda. Kamu selalu seperti ini. Memberikan banyak uang kepada kami. Terkadang aku malu jika terus menerus menerima bantuan darimu. Kasih uang yang sesuai dengan harganya saja," keluh Raku mencoba menolak pemberian Aether.
"Berikan sisanya pada anakmu saja," ujar Aether menaruh uang itu ke atas meja.
"Sampai jumpa besok," lanjut Aether melambaikan tangannya ke arah Raku.
"Bersenang-senanglah, Tuan Muda," ujar Raku dengan senyuman lebar.
Aether berasal dari keluarga miskin. Dan sampai detik ini masih ibunya masih hidup di rumah kecil. Namun semua orang yang ada di bukit itu menghormati sosok Aether dan Irene. Karena berkat kedua orang itu, orang-orang yang dulunya kehilangan pekerjaannya, kini berhasil menyambung hidupnya lagi.
Terlebih lagi, sikap sederhana ibu dan anak itulah yang membuat masyarakat semakin menyayangi mereka. Irene dan Aether bahkan tidak pernah menggunakan barang-barang mewah saat keluar dari rumah mereka. Walau sebenarnya uang yang mereka dapatkan dari hasil peternakan, perkebunan, dan persawahan sangatlah banyak. Namun mereka memilih untuk hidup sederhana. Menyatu dengan warga sekitar. Dan tidak ingin terlihat mencolok.