Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Berita
Shailendra tidak langsung menjawab. Ia bangkit dari kursinya perlahan, langkahnya tertahan sejenak sebelum akhirnya berjalan menuju jendela tinggi yang menampilkan lanskap kota London yang suram dan berkabut. Tangan kirinya bertumpu di sandaran kursi, sementara tangan kanannya mengepal di sisi tubuh. Ia menatap keluar, namun pikirannya melayang jauh ke arah lain.
Sebuah napas kasar lolos dari hidungnya, bukan karena lelah—melainkan resah. Ia tahu betul siapa Ayla. Perempuan yang dulu ia anggap tak layak. Namun keadaan kini tak sesederhana itu. Ayla tengah mengandung anak Bayu. Cucu kandungnya. Satu-satunya darah murni dari garis keturunan keluarga Shailendra yang masih bisa diwariskan.
"Perempuan itu..." gumamnya lirih, tapi sarat beban. "Sekotor apa pun latar belakangnya, dia sedang mengandung harapan terakhir keluarga ini."
Ia menoleh pada Armand. Sorot matanya masih tajam, tapi ada keraguan samar menyelinap di baliknya. "Aku benci mengakuinya, tapi aku tak bisa mengabaikan kenyataan itu."
Armand diam, menanti.
Shailendra kembali memandang ke luar jendela. "Kita tetap harus awasi mereka. Jangan biarkan Bayu kehilangan akal karena cinta. Tapi jangan sentuh Ayla… atau anak itu."
Ia menatap Armand, dingin namun mantap. "Lindungi darahku. Sekalipun aku harus menelan harga diriku demi itu."
Armand mengangguk perlahan, memahami bahwa kali ini, perintahnya lebih rumit daripada sekadar memisahkan dua insan yang dicap tak pantas bersatu. Ada nyawa kecil yang kini mengubah segalanya.
----
Di sebuah kamar hotel mewah di pusat kota Bern, suasana remang-remang masih beraroma keringat dan parfum mahal. Tirai dibiarkan setengah terbuka, menampakkan gemerlap lampu malam Swiss yang memantul di jendela.
Ellen menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang berlapis satin, rambut ikalnya tergerai acak, rokok ramping terselip di jari. Matanya menatap kosong ke arah layar ponsel yang sunyi. Tidak ada pesan. Tidak ada laporan. Tidak ada kabar.
Ia menghela napas kasar, lalu melempar ponselnya ke sisi ranjang. Dentuman pelan tak cukup meredam kemarahan yang mulai mendidih di dadanya.
"Kenapa belum ada kabar darinya?" gumamnya geram. “Terlalu lama.”
Dari balik kamar mandi, suara gemericik air berhenti. Seorang pria muda keluar—tinggi, bertubuh atletis, dengan rambut pendek yang masih basah dan handuk tersampir di pinggang. Tak ada lagi riasan. Tak ada wig. Tak ada topeng bernama Lia. Yang tersisa hanya Leo—sosok asli yang selama ini tersembunyi di balik perintah Ellen.
Tatapan Leo kosong. Lelaki itu seperti bayangan yang terperangkap terlalu lama dalam siluet milik wanita lain.
Ellen melirik sekilas, kemudian mendengus. “Kau lihat ponselku? Masih tidak ada kabar.”
Leo hanya diam. Ia mengambil kemeja dari kursi dan mengenakannya pelan, seolah setiap gerakan dilakukan dengan jeda.
“Seharusnya dia sudah lapor sejak tadi pagi. Minimal mengirim gambar. Atau pesan.”
Nada suara Ellen semakin tajam, namun Leo tak menanggapi. Ia berjalan ke arah jendela, memandangi lampu kota dengan wajah tanpa emosi.
Ellen melempar bantal ke arahnya. “Kau dengar aku bicara, Leo?”
Akhirnya pria itu berbalik. Mata mereka bertemu—dan untuk sesaat, Ellen melihat sesuatu yang tak biasa dalam sorot mata Leo. Sebuah kehampaan. Sebuah perlawanan yang selama ini tak pernah muncul.
“Apa kau pikir dia... sengaja tidak kembali?” bisik Ellen lebih pada dirinya sendiri. "Atau..."
Ia bangkit dari ranjang. Langkahnya pelan namun mengancam. Tangannya mencengkeram dagu Leo, memaksanya menatap.
“Aku sudah terlalu sering kehilangan kendali belakangan ini. Bayu. Ayla. Dan sekarang kau...”
Leo tetap diam. Mulutnya tertutup, tapi matanya bicara. Tatapan itu seperti bayangan dendam yang tak pernah padam.
Ellen mengeratkan cengkeramannya—lalu mendekat, membisikkan dengan suara serak, “Jangan berani-berani berpikir meninggalkanku. Kau tahu apa yang bisa kulakukan.”
Leo menutup mata sesaat. Menghela napas panjang, seolah menelan seluruh kenyataan pahit hidupnya dalam sekali tegukan.
Di luar, salju mulai turun pelan-pelan. Tapi di dalam kamar itu, badai sedang mulai bangkit. Tak terlihat... tapi terasa.
Dan Ellen tahu—sebuah pengkhianatan tak selalu datang dari luar.
-----
Pagi itu, mentari baru saja mengintip dari balik jendela saat Ayla duduk bersandar di kepala ranjang, tubuhnya masih berselimut tipis, dan Bayu baru saja keluar dari kamar mandi. Suara notifikasi ponselnya berdering tanpa henti sejak subuh. Tapi ia abaikan—hingga sebuah pesan dari temannya membuat jantungnya mencelos.
"Ayla, ini kamu, 'kan? Ya Tuhan..."
Dengan tangan gemetar, ia membuka tautan berita yang dikirimkan. Layar ponsel menampilkan halaman depan portal berita hiburan dan ekonomi yang dikenal luas. Judulnya mencolok:
"CEO Pewaris Keluarga Shailendra Gugat Cerai Istri Sah Setelah Dua Dekade, Tertangkap Mesra dengan Wanita Lain di Bandara!"
Tubuh Ayla langsung membeku. Perlahan, ia menggulir layar.
Di sana—jelas terlihat foto dirinya dan Bayu. Di bandara. Bayu sedang merengkuhnya. Keningnya dicium. Wajah mereka terlihat damai… terlalu mesra untuk bisa disangkal.
Ada juga kutipan isi gugatan cerai yang dibocorkan ke media, lengkap dengan narasi yang jelas-jelas menyudutkan Ayla.
“Seorang wanita dari masa lalu muncul kembali dan menghancurkan rumah tangga yang telah dibangun puluhan tahun. Sumber terpercaya menyebutkan bahwa hubungan terlarang ini sudah berjalan cukup lama secara diam-diam.”
Tak hanya foto-foto mesra di bandara yang tersebar luas, media juga memajang hasil USG yang menunjukkan Ayla tengah mengandung. Nama lengkapnya terpampang jelas di sudut bawah gambar hitam putih itu, menjadi bahan empuk untuk menyulut spekulasi.
Berita-berita sensasional mulai bermunculan—mengaitkan kehamilan itu sebagai taktik murahan untuk menjerat pewaris tunggal keluarga Shailendra. Beberapa artikel bahkan secara terang-terangan membandingkan Ayla dengan adiknya, Sherin, yang dulu merebut suami Ayla sendiri, Edward, dengan cara yang sama—mengaku hamil.
“Apakah ini taktik keluarga?” tulis satu media gosip dengan judul provokatif. “Dulu sang adik merebut suami kakaknya dengan kehamilan, kini sang kakak mencoba menjebak pengusaha kaya raya dengan cara yang sama.”
Sebuah kalimat terakhir menusuk lebih dalam:
“Dikenal sebagai wanita dari keluarga yang penuh skandal, Ayla dinilai bukan pasangan yang pantas untuk pewaris keluarga Shailendra.”
Ponselnya terjatuh. Ayla menutup mulutnya, menahan sesak yang tiba-tiba menyerbu dadanya.
"Ayla?"
Bayu menghampiri, matanya langsung menangkap perubahan di wajah Ayla yang mendadak pucat.
Ia mengambil ponsel itu dari lantai, membaca cepat isi beritanya—rahangnya langsung mengeras.
"Dia benar-benar nekat..." desisnya, penuh amarah tertahan.
Ayla menunduk, suaranya hampir tak terdengar, "Dia ingin dunia membenciku…"
Bayu menangkup wajahnya. "Dengar aku." Suaranya dalam dan tegas. "Aku janji akan menyelesaikan ini. Semuanya."
"Bayu… publik akan berpikir aku—"
"Tidak peduli. Biar mereka bicara apa pun. Yang penting aku tahu kebenarannya, dan kau tahu."
Ayla tertunduk tanpa kata. Tapi tak satu pun air mata jatuh. Rasa sakitnya sudah terlalu dalam untuk diurai air mata.
Bayu memeluknya erat. "Aku harus ke London hari ini. Aku akan bertemu dengan tim legal. Aku akan bersihkan namamu dan nama kita." Ia mencium kening Ayla—untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini, ada gemetar di bibirnya.
"Aku akan kembali. Tunggu aku," ucapnya, sebelum akhirnya bersiap pergi.
Ayla hanya mengangguk pelan, masih duduk di tepi ranjang. Dunia mungkin sedang menghujatnya, tapi ia tak akan lari. Ia akan tetap berdiri di tempat yang sama—menanti Bayu kembali, dan menuntaskan semua ini.
Berita itu masih bergema di seluruh media. Foto-foto Bayu memeluk Ayla di bandara menghiasi layar besar ruang kamar hotel. Tak hanya itu—salinan gugatan cerai Bayu terhadapnya, yang disusun rapi dan tersebar di berbagai kanal berita, juga telah ia atur dengan cermat agar memosisikan dirinya sebagai korban.
Di balik gaun satin merah marun, Ellen merebah santai di sofa panjang, menyesap wine mahal sembari tersenyum puas.
“Pasti sekarang dia menangis...,” bisiknya. “Sendirian, hancur...”
Ia tertawa kecil. Mata elangnya menyipit saat menatap layar, menikmati gemuruh kekacauan yang ia ciptakan.
Namun suara dari balik ruangan mematahkan kesempurnaan sore itu.
“Apa kau yakin Bayu tidak bisa membersihkan nama Ayla?”
Suara itu datar. Tenang. Tapi dingin, menusuk.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
berhadap Ayla Dan debaynga Selamat Ellen yg hancur kalau g di penjara seunir hidup bisa meninggal Karna tertembak
lanjut kak....